Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Eksistensi Hutan Sangeh dalam Konservasi dan Budaya
21 Juni 2021 13:24 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Gd Wawan Setiadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sangeh merupakan hutan yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai “alas pala” yang berarti hutan pala. Pala yang dimaksud bukanlah yang dikenal umum sebagai bumbu dapur, tapi sebutan untuk tumbuhan yang memiliki nama latin Dipterocarpus haseltii. Hutan ini memiliki kelimpahan jenis yang sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Sansekerta kata pala artinya melindungi, sedangkan kata phala artinya buah. Untuk penyebutan nama pohon di Sangeh ini, apa pala atau phala, tidak lah jelas asal-usulnya. Jika digunakan kata pala, memang pohon besar dan tinggi tersebut terkesan makna sebagai pohon pelindung.
Pohon pala tertua diperkirakan berumur lebih dari 350 tahun, masih kokoh berdiri, tidak jauh dari pura. Pohon-pohon pala yang tinggi tersebut meneduhi Pura Pucak Bukit Sari yang ada di tengah hutan. Pura yang dibangun pada abad ke-17 ini adalah tempat suci yang diwariskan kepada Desa Sangeh oleh Kerajaan Mengwi.
Dipterocarpus hasseltii merupakan salah satu kelompok jenis pohon komersial dari suku Dipterocarpaceae. Pohonnya berbanir, dapat mencapai tinggi 45 m dengan diameter sampai 1,5 meter. Jenis ini terdapat di Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Borneo, Jawa, Bali dan Filipina. Dalam kegiatan perdagangan kayu, jenis ini dikenal dengan nama keruing.
ADVERTISEMENT
Kayunya digunakan sebagai bahan konstruksi, lantai dan bantalan. Jenis ini selain sebagai penghasil kayu, juga memiliki damar bermutu bagus. Kulit batangnya, potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan obat anti kanker (Muhtadi dkk., 2006). Di Bali buah dari kayu pala ini digunakan sebagai sarana upacara dan pengobatan tradisional. Meskipun jenis ini merupakan penghasil kayu niaga, sampai kini belum pernah dibudidayakan.
Mitos Hutan Sangeh
Konon pohon yang ada di hutan Sangeh itu berjalan dari arah timur, tepatnya dari Gunung Agung menuju suatu tempat di arah Barat. Karena ada orang yang melihat, akhirnya rombongan pohon tersebut berhenti di suatu tempat yang sekarang dikenal sebagai "Sangeh".
Berdasarkan mitologi yang diyakini oleh masyarakat Sangeh dan sekitarnya, nama Sangeh erat kaitannya dengan keberadaan pohon yang berasal dari dua kata, “sang“ berarti “orang“ dan “ngeh“ berarti “melihat“, jadi Sangeh artinya orang yang melihat.
ADVERTISEMENT
Di tengah hutan berdiri bangunan Pura Pucak Bukit Sari. Menurut sejarah, pura ini dibangun Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, anak angkat Raja Mengwi, Tjokorda Sakti Blambangan. Konon, Anak Agung Anglurah Made Karangasem Sakti, sejak kecil melakukan 'tapa rare' yaitu bertapa seperti tingkah laku anak-anak. Setelah kesaktiannya makin kokoh, beliau juga mendapat bisikan gaib, agar membuat pelinggih (tempat sembahyang). Sejak itulah, Pura Pucak Bukit Sari ini ada di tengah hutan Pala.
Hutan ini ini juga dihuni oleh ratusan kera abu ekor panjang (Macaca fascicularis). Keberadaannya tidak terlepas dari keyakinan masyarakat yang menganggap mereka adalah jelmaan para prajurit yang diubah bentuknya menjadi penghuni hutan. Hingga saat ini masyarakat sekitar tidak akan berani mengganggu keberadaan mereka, karena mereka dianggap kera suci yang disakralkan dan membawa berkah. Sangeh dianggap sebagai hutan keramat oleh masyarakat sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Mitos turun-temurun yang disampaikan dari generasi ke generasi itu telah membuat pohon pala dan monyet di hutan Sangeh tetap lestari dan menjadi satu objek wisata alam unggulan Kabupaten Badung, Bali.
Hutan Keramat
Dari zaman kerajaan, masa penjajahan Belanda hingga sekarang hutan sangeh ditetapkan sebagai kawasan lindung yang mewajibkan semua pihak menjaga, serta memeliharanya. Keberadaan Pura Bukit Sari, pohon pala serta kepercayaan terhadap mitos sebagai kearifan budaya lokal turut pula berperan menjaga tindak-tanduk masyarakat sekitar. Masyarakat lokal percaya hutan Sangeh adalah hutan keramat.
Hutan keramat dilestarikan atas dasar agama, kepercayaan dan praktik budaya masyarakat lokal. Kepercayaan pada hutan keramat dapat ditemukan diberbagai belahan dunia kecuali di antartika. Ke semuanya melibatkan kepercayaan agama besar. Hutan keramat memainkan peran penting dalam konservasi keanekaragaman hayati dan biasanya merupakan hutan tua (Frascaroli dan Verschuuren, 2016).
ADVERTISEMENT
Hutan keramat menjadi salah satu jalan tambahan untuk pengelolaan keanekaragaman hayati dan memasukkannya ke dalam jaringan perlindungan hutan yang telah banyak diusulkan dari satu dekade yang lalu (Bhagwat and Rutte, 2006), hal tersebut mendorong International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) untuk merilis pedoman yang komprehensif untuk situs hutan keramat yang memenuhi kebutuhan budaya masyarakat lokal dan peran mereka dalam konservasi (Wild dkk., 2008).
Alih fungsi lahan dan pengelolaan sumber daya yang salah dapat mengancam eksistensi hutan keramat. Oleh karena itu, kegagalan untuk melestarikan hutan keramat tidak hanya menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, terutama spesies yang terancam, tetapi juga hilangnya warisan budaya dan kesejahteraan manusia (Griffiths dkk., 2020).
ADVERTISEMENT
Konservasi dan Budaya
Hutan Sangeh yang keramat menawarkan jalan yang potensial untuk menggabungkan konservasi spesies pohon yang terancam sejalan dengan pelestarian budaya.
Pulau Bali dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu, mempertahankan budayanya yang kaya di tengah gempuran modernisasi. Di Bali umum dijumpai pohon yang dihiasi kain hitam-putih (Bahasa Bali: poleng) pada pangkal batang yang mengidentifikasi jika pohon tersebut sakral. Daun, bunga, buah, dan biji secara teratur dipakai dalam kegiatan upacara ritual.
Keberadaan hutan sangeh sebagai kawasan konservasi yang sejalan dengan budaya masyarakat lokal, sangat signifikan berjalan seiring dan saling melengkapi. Menurut Ni Kadek Erosi Undaharta, Peneliti Ekologi Kebun Raya Bali-LIPI, dalam artikel di Jurnal Forest Policy and Economics, hal tersebut menjadi kombinasi efektif antara konservasi keanekaragaman hayati dan konservasi budaya meliputi tiga faktor: (1) penatalayanan yang jelas, (2) budaya dengan identitas yang kuat, dan (3) ekowisata (Undaharta dan Wee., 2020)
ADVERTISEMENT
Hutan Sangeh dengan Pura Pucak Bukit Sari memiliki sekitar 400 pohon dewasa, dikelola dengan kerja sama yang unik antara Badan Konservasi Sumber Daya Alam Bali (pemerintah) dan masyarakat lokal. Hutan ini tercatat sebagai salah satu hutan lindung yang dikelola oleh BKSDA Bali. Pengelolaan hutan yang jelas tidak hanya memperkuat peran masyarakat lokal sebagai penjaga, tetapi juga membantu mencegah pelanggaran. Selain itu, spiritualisme dan kepercayaan Bali menjunjung tinggi keharmonisan. Hubungan harmonis dengan alam (Filsafat Tri Hita Karana), tercermin dalam banyak aspek kehidupan orang Bali. Telah menjadi identitas budaya yang diwariskan turun-temurun ke lintas generasi dan status sosial, memastikan kesinambungan praktik pelestarian hutan keramat. Terakhir, ekowisata menjadi pendukung ekonomi dan menjadi insentif untuk konservasi pohon pala beserta kawanan monyet yang hidup di sana. (IGWS)
ADVERTISEMENT