Konten dari Pengguna

Bengkulu dalam Jerat Korupsi: Potret Suram Kepemimpinan di Bengkulu

Wahyu Wulandari
Peneliti di Center of Muslim Politics and World Society (COMPOSE) Univesitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Mahasiswa S2 Ilmu Politik, Universitas Islam Internasional Indonesia
25 November 2024 15:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyu Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Ilustrasi dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Ilustrasi dari Pexels
ADVERTISEMENT
Menjelang pencoblosan pilkada Bengkulu, masyarakat justru dihebohkan dengan berita OTT (Operasi tangkap Tangan) Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah yang sekaligus menjadi salah satu kandidat pasangan calon Gubernur periode 2024. Rohidin ditangkap oleh KPK pada Sabtu (23/11) terkait dugaan pemerasan dan gratifikasi. Selain Gubernur Bengkulu, KPK menetapkan 2 tersangka lainnya yaitu Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu Isnan Fajri (IF), dan Ajudan Gubernur.
ADVERTISEMENT
Pemerasan dan gratifikasi tersebut disinyalir berkaitan dengan adanya kebutuhan dana kampanye yang dilakukan rohidin sebagai salah satu paslon. KPK mengatakan, pada Juli 2024, Rohidin Mersyah menyampaikan membutuhkan dukungan berupa dana dan penanggung jawab wilayah dalam rangka pemilihan Gubernur Bengkulu pada Pilkada Serentak bulan November 2024. "Sekitar bulan September-Oktober 2024, Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu Isnan Fajri (IF) mengumpulkan seluruh ketua OPD dan Kepala Biro di lingkup Pemda Provinsi Bengkulu dengan arahan untuk mendukung program Rohidin Mersyah (RM) yang mencalonkan diri kembali sebagai Gubernur Bengkulu," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (25/11/2024).
Adapun barang bukti yang berhasil di amankan oleh KPK yakni berupa uang tunai sebesar Rp 7 miliar dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di lingkungan Pemprov Bengkulu, Sabtu (23/11/2024). Uang tersebut diamankan dari empat lokasi yaitu, pertama, uang tunai sebesar Rp 32,5 juta ditemukan dari mobil Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Bengkulu Syarifudin. Kedua, uang tunai sebesar Rp 120 juta diamankan dari rumah Kepala Biro Pemerintahan dan Kesra Provinsi Bengkul Ferry Ernest Parera. Ketiga, uang tunai sejumlah Rp 370 juta dari mobil Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah. Keempat, uang tunai Rp 6,5 miliar dalam mata uang rupiah, dollar Amerika (USD), dan dollar Singapura (SGD) dari rumah dan mobil Ajudan Gubernur, Evriansyah (E).
ADVERTISEMENT
Penangkapan ini semakin menambah daftar panjang kasus korupsi di kalangan pemimpin Bengkulu. Tercatat, ini adalah kasus korupsi keempat yang melibatkan gubernur Bengkulu dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mendasar: Apa yang salah dengan pemerintahan di Bengkulu?
Fenomena Sistemik Korupsi Kepala Daerah Bengkulu
Sejak reformasi mengalami puncak kelahiran pada tahun 1998, korupsi tampak seperti menemukan ruang subur untuk berkembang biak. Serangkaian OTT kepala daerah Bengkulu, termasuk gubernur bisa dianalogikan seperti “virus yang menjamur”. Kejadian ini tentu menggambarkan adanya masalah sistemik yang terus melanda provinsi ini. Pasalnya jika kita flasback, terdapat 4 orang yang gubernur yang sudah menjadi tersangka kasus korupsi, mencerminkan pola yang berulang.
ADVERTISEMENT
Tahun 2017, penahanan dilakukan KPK kepada Eks Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti dan istrinya Lilly Martiani Maddari setelah terjaring OTT. Dalam hal ini, Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pembangunan jalan di Bengkulu. Sebelumnya, pada periode Gubernur Bengkulu periode 2005-2012, Agusrin Maryono Najamuddin, juga terbukti bersalah melakukan korupsi dana Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta bea perolehan hak atas tanah bangunan di tahun anggaran 2006, yang merugikan negara hingga Rp 21,3 miliar. Kemudian Junaidi Hamzah yang menjabat gubernur pada periode 2012-2015 juga ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pembayaran honor tim pembina di RSUD M Yunus pada tahun 2015 oleh Bareskrim Polri.
Jika kita telaah bersama, dalam konteks ini, Gubernur merupakan pemimpin daerah dengan otoritas tertinggi dalam struktur pemerintahan. Kekuasaan ini kerap kali menjadi celah bagi penyalahgunaan sumber daya oleh segelintir individu, terlebih jika tidak ada mekanisme kontrol yang efektif. Menurut formulasi Klitgaard, korupsi terjadi ketika terdapat monopoli kekuatan (monopoly of power) yang didukung oleh keleluasaan besar (discretion of official) tanpa diimbangi oleh pengawasan yang memadai (minus accountability). Artinya, semakin tinggi monopoli dan keleluasaan dalam membuat keputusan tanpa adanya pengawasan yang memadai, maka akan meningkatkan kemungkinan timbulnya korupsi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, menurut penelitian oleh Bara Brelian Atmaja dan Drs. H. Suharyanto, korupsi acapkali dipicu oleh politisasi birokrasi, di mana pejabat politik seringkali mengintervensi birokrasi demi kepentingan pribadi atau partai. Praktik ini kemudian menciptakan subordinasi antara pejabat politik dan birokrasi, yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Mereka mencatat bahwa setiap kekuasaan besar cenderung menghasilkan korupsi, terutama ketika ada dominasi yang kuat dalam struktur kekuasaan. Dalam konteks pemilihan umum, praktik korupsi juga terlihat melalui penggunaan sumber daya kekuasaan untuk memenangkan pemilu. Istilah seperti ‘patron and client’ seringkali menggambarkan bagaimana calon pemimpin memanfaatkan kekuasaan untuk mempertahankan posisi mereka. Tentu hal ini menciptakan lingkungan di mana korupsi menjadi bagian dari strategi politik untuk meraih dukungan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kecilnya hukuman yang diterima para koruptor di Indonesia, tampaknya juga menjadi alasan fenomena ini terjadi terus-menerus. Sejalan apa yang disampaikan Ramirez Torres dalam kajian Maslikah (2012:79), bahwa korupsi adalah kejahatan yang didasarkan pada kalkulasi keuntungan dan risiko (crime of calculation), dan seseorang cenderung melakukan korupsi jika manfaat yang diperoleh lebih besar daripada risiko tertangkap atau hukuman yang diterima.
Fenomena di atas tentu saja telah mencoreng nama baik provinsi Bengkulu dari waktu ke waktu Terlebih saat ini Bengkulu masih menjadi urutan ke-7 provinsi termiskin di Indonesia berdasarkan data BPS 2023, dan menjadi salah satu dari dua provinsi termiskin di sumatera setelah Aceh dengan angka yang cukup tinggi, yakni menyentuh 14,34%. Korupsi yang terus berulang tidak hanya merusak integritas dan wibawa pejabat publik, tetapi juga mengancam stabilitas pembangunan di daerah. Di sisi lain, masyarakat tentu akan semakin skeptis sehingga kepercayaan terhadap pemerintah akan terkikis, sebagai akibat proses demokrasi yang seringkali diselewengkan oleh praktik politik transaksional.
ADVERTISEMENT
Kejadian ini tentu mengingatkan kembali untuk para pemilih Bengkulu agar lebih selektif dan bijak dalam menentukan pilihan politik. Jika kita mengutuk perbuatan korupsi yang dilakukan para pejabat, maka idealnya kita juga mengutuk praktik-praktik korupsi kecil dilingkungan kita, termasuk budaya money politik dan suap menyuap. Di sisi lain, penguatan pengawasan publik mestinya juga menjadi agenda prioritas ke depan demi mencegah praktik korupsi yang terus berulang. Kejadian ini tentu menjadi bahan refleksi kita semua, terutama masyarakat Bengkulu. Melalui kejadian ini, masyarakat Bengkulu dihadapkan pada pertanyaan besar: Apakah Pilkada tahun ini benar-benar menjadi momentum perubahan? Atau hanya sekeder ceremony yang akan melahirkan koruptor-koruptor selanjutnya?