Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Industri Hiburan Tanah Air Tidak Mendidik?
19 Juni 2021 5:24 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Zul Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Segmen Sinema Elektronik atau yang lebih familiar dengan istilah sinetron memiliki sejarah tersendiri bagi dunia pertelevisian di Indonesia dan juga sinetron hingga saat ini masih menjadi program siaran dengan magnet paling besar untuk mendapatkan perhatian publik. (KPI, 2021).
ADVERTISEMENT
Namun sejak lama permasalahan yang ditemui dalam segmen hiburan ini cenderung sama, tidak jauh-jauh dari masalah “karya” yang disajikan para Production House ini tidak berkualitas. Dikatakan tidak berkualitas setelah secara terang-terangan melanggar UU penyiaran serta Pedoman Perilaku dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang Independen memilik wewenang atas kegiatan siaran dan pers di Indonesia dan menjadi salah satu yang bertanggung jawab atas pengawasan program yang ditayangkan di televisi.
KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya terdiri dari staf pegawai negeri sipil serta staf professional non PNS (KPI, 2019) Adapun dalam menjalankan tugas dan fungsinya, KPI membuka diri untuk menerima komplain atau keluhan dari masyarakat luas yang dalam hal ini merupakan konsumen dari stasiun TV baik milik negara maupun milik swasta sebagai wujud menjalankan fungsinya untuk menjadi wadah aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Program – program yang dikembangkan hingga akhir kerja harus selalu memperhatikan tujuan yang diamanatkan undang-undang No 32 tahun 20021 pasal 3, yang berbunyi: "Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia." (KPI, 2019).
Dikutip dari siaran pers KPI (KPI, 2014), Catatan panjang sepak terjang KPI dalam mengawasi dan membina Production House hingga saat ini seringkali menjumpai permasalahan yang sama seperti pemberian judul provokatif seperti: Aku Dibuang Suamiku Seperti Tisu Bekas, catatan Hati Istri, aku Hamil Suamiku Selingkuh, dan juga pelanggaran lain yakni terhadap UU Penyiaran dan Pedoman PErilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), antara lain :
ADVERTISEMENT
1. Tindakan bullying (intimidasi) yang dilakukan anak sekolah.
2. Kekerasan fisik seperti memukul jari dengan kampak, memukul kepala dengan balok kayu, memukul dengan botol kaca, menusuk dengan pisau, membanting, mencekik, menyemprot wajah dengan obat serangga, menendang, menampar dan menonjok.
3. Kekerasan verbal seperti melecehkan kaum miskin, menghina anak yang memiliki kebutuhan khusus (cacat fisik), menghina orang tua dan Guru, penggunaan kata-kata yang tidak pantas “anak pembawa celaka, muka tembok, rambut besi, badan batako”.
4. Menampilkan percobaan pembunuhan.
5. Adegan percobaan bunuh diri.
6. Menampilkan remaja yang menggunakan test pack karena hamil di luar nikah.
7. Adanya dialog yang menganjurkan untuk menggugurkan kandungan.
8. Adegan seolah memakan kelinci hidup.
9. Menampilkan seragam sekolah yang tidak sesuai dengan etika pendidikan.
ADVERTISEMENT
10. Adegan menampilkan kehidupan bebas yang dilakukan anak remaja, seperti merokok, minum-minuman keras dan kehidupan dunia malam.
11. Adegan percobaan pemerkosaan.
12. Konflik rumah tangga dan perselingkuhan.
Masih dari sumber yang sama, respons KPI terhadap para pelanggar sudah cukup tegas di mana KPI memberikan putusan menyatakan bahwa :
1. Stasiun televisi segera memperbaiki sinetron dan FTV tersebut.
2. Production House (PH) agar tidak memproduksi program sinetron dan FTV yang tidak mendidik.
3. Kepada orang tua tidak membiarkan anak menonton program-program tersebut.
4. Anak-anak dan remaja agar selektif dalam memilih tayangan TV dan tidak menonton sinetron dan FTV yang bermasalah.
5. Lembaga pemeringkat Nielsen agar tidak mengukur program siaran hanya berdasarkan pada penilaian kuantitatif semata.
ADVERTISEMENT
6. Perusahaan pemasang iklan agar tidak memasang iklan pada program-program bermasalah tersebut.
Kendati KPI sudah memberikan peringatan yang tegas dengan menyatakan KPI akan memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran dalam program-program tersebut. Terhitung sejak release ini dikeluarkan, KPI Pusat akan menindak tegas stasiun televisi yang tidak melakukan perbaikan.
Kami meminta pertanggungjawaban pengelola televisi yang meminjam frekuensi milik publik agar tidak menyajikan program-program yang merusak moral anak bangsa (KPI, 2014), masih ada saja kasus pelanggaran.
Seperti yang terjadi bulan Juni 2021 ini, media social gempar dengan tayangan sinetron berjudul “Suara Hati Istri : Zahra” di mana alur ceritanya menunjukkan bahwa ada satu figure suami yang sudah memiliki 2 orang istri dan masih menikah lagi. Bagi penulis Permasalahan pertama sebenarnya muncul di mana tayangan ini seolah mengglorifikasikan kehidupan poligami dan menunjukkan over power yang dimiliki sosok suami di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Meskipun pada kenyataannya memang kehidupan poligami masih dianggap hal lumrah terjadi di Indonesia. Namun masalah menjadi lebih besar ketika masyarakat mengetahui pemeran dari Zahra yang menjadi istri ketiga adalah aktris yang masih di bawah umur. Sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) SPS KPI 2012 menyebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak dan/ remaja (KPI, 2021).
Didukung juga dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 68 mengatur syarat pekerja anak (saptoyo, 2021) menguatkan protes masyarakat terhadap Indosiar selaku stasiun televisi yang menyiarkan juga kepada Production House yang mengerjakan untuk mengevaluasi kembali tayangan mereka.
Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, secara jalan cerita sebenarnya sudah bisa dikategorikan sebagai pelanggaran karena menyajikan tayangan berupa konflik keluarga, namun masyarakat menjadi lebih concern dengan pemain Zahra, karena secara eksplisit ditampilkan adegan yang kurang pantas dilakukan oleh anak usia 15 tahun dengan pria 39 tahun.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran akan tersampaikannya secara tidak langsung mengenai kampanye pedofilia juga perlu dipikirkan dengan serius. Mengingat bagaiman saat ini Indonesia sedang gencar – gencarnya mengkampanyekan penghapusan pernikahan dini guna melindungi generasi penerusnya masih banyak mengalami kesulitan.
Kementerian Pemberdayaan perempuan dan perlindungan Anak (Kemeneg PPPA) yang selanjutnya dikutip KPI menyampaikan data ada sekitar 36,62 persen anak perempuan menikah untuk pertama kali pada usia 15 tahun atau kurang.
Kemudian yang menikah di usia 16 tahun ada 39.92% dan 23,46 persen menikah di usia 17 tahun (KPI, 2021). Dari data di atas bisa dilihat bahwa tingkat pernikahan dini di Indonesia masih tinggi, dampaknya bagi anak – anak yang mengalaminya pn tidak main – main yakni hilangnya akses pendidikan dan berujung pada rendahnya kualitas kehidupan.
ADVERTISEMENT
Menindak lanjuti laporan dari masyarakat dan panggilan KPI, pihak Indosiar dan Production House yang memproduksi Mega Series ini sepakat dan menyanggupi untuk mengganti peran untuk episode selanjutnya sehingga diperbolehkan kembali tayang setelah sempat dihentikan izin tayangnya.
Namun meskipun demikian masih ada hal yang seharusnya perlu dibenahi baik bagi tim produksi Suara Hati Istri secara khusus maupun kepada seluruh pelaku industri pertelevisian di Indonesia yakni kualitas tayangan yang disajikan bagi masyarakat.
Data di lapangan menunjukkan minat masyarakat akan tayangan sinetron itu tinggi, sehingga hal ini bisa dijadikan peluang untuk menanamkan nilai – nilai positif dan berguna bagi masyarakat.
Dibandingkan menyajikan prahara kehidupan rumah tangga yang tidak mendidik seperti pertengkaran orang tua dan anak, menantu dan mertua, antar tetangga, perselingkuhan, KDRT, rencana jahat, balas dendam, kenakalan remaja dan realita sosial yang sudah menjadi permasalahan di dunia nyata alangkah lebih baik apabila tayangan yang disajikan memberikan pesan moral yang bisa membangun kehidupan masyarakat. Terlebih lagi apabila bisa menjadi bantuan jawaban atas permasalahan yang dihadapi.
ADVERTISEMENT
Tidak heran, apabila saat ini pemuda pemudi yang melek ilmu dan bisa secara kritis menilai tayangan mana yang berbobot dan berguna bagi kehidupan mereka justru memilih lari pada tontonan luar negeri, seperti contohnya Drama Korea.
Jika dibandingkan kualitas tayangan dari segi alur cerita, topik pembahasan dan juga nilai kehidupan yang diangkat jelas tayangan televisi Indonesia masih kalah jauh. Sesimpel bagaimana cara menyebrang bagi pejalan kaki, bagaimana cara memilah sampah yang baik dan benar, kampanye hidup sehat dengan berjalan kaki dan selalu minum air putih, hingga etika dan tata karma terhadap orang tua. Lebih lagi tayangan – tayangan hiburan tersebut dijadikan wadah untuk mempromosikan wisata lokal atau juga kebudayaan.
Lebih jauh lagi melihat bagaimana karakter penggerak Industri Hiburan Indonesia yang cenderung lebih mendukung tayangan tidak berbobot atau yang hanya mencari sensasi belaka tanpa membawa contoh yang baik sebagai public figure tentu perlu diperbaiki.
ADVERTISEMENT
Masih membandingkan dengan negara Korea selatan, secara general tanpa perlu menggali data lebih dalam bisa dilihat bagaimana reaksi media terhadap public figure yang melakukan tindakan tercela seperti bullying, narkoba, asusila, bahkan hingga etika di depan publik menjadi perhatian, jika kedapatan melakukan hal tersebut maka dijamin akan mendapatkan sanksi social yang mengakibatkan kehancuran bagi karier mereka. Berbeda 180 derajat dengan yang terjadi di Indonesia, asal viral entah berbobot atau tidak langsung debut di televisi dan menjadi “selebritis”.
Melalui tulisan ini, diharapkan akan ada evaluasi dan perbaikan bagi pertelevisan di Indonesia. Dengan kualitas tayangan yang baik bisa mendorong perubahan hidup masyarakat menjadi lebih baik. Karena disadari maupun tidak apa yang kita konsumsi sehari – hari , itulah yang membentuk kepribadian manusia.
ADVERTISEMENT