Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perspektif : Polri vs Konflik SARA
29 Desember 2020 14:05 WIB
Tulisan dari Baginda Sunan Hilmy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Reformasi birokrasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan program dan kegiatan revitalisasi organisasi dan sumber daya Polri (struktur, penguatan, pembenahan, pembinaan dan pengembangan) untuk mencapai kinerja yang efektif dan efisien. Namun pada kenyataannya reformasi yang dilaksanakan belum sepenuhnya terlaksana.
ADVERTISEMENT
Dengan perkembangan dinamika sosial, globalisasi dunia dan tuntutan reformasi birokrasi nasional, masyarakat menuntut Polri untuk melaksanakan pelayanan publik yang bertanggung jawab, tanggap, dan berorientasi profesional. Pelayanan harus transparan, mudah, murah, cepat dan sederhana.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia tingkat kepercayaan masyarakat pada Polri tahun 2019 berada di angka 72,1 persen. Sedangkan pada tahun 2018 survei LSI menunjukan angka kepercayaan masyarakat mencapai angka 82,3 persen. Jika ditarik Kembali ke belakang Secara berturut-turut, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Polri pada tahun 2015 sd tahun 2018 sebesar: 65,92%; 68,99% 80,31%, dan 82,32 %. Hal tersebut menunjukan bahwa sejak tahun 2015-2018 terdapat peningkatan secara signifikan terhadap tingkat kepercayaan masyarakat pada Polri.
Setelah menunjukan penurunan drastis di tahun 2019, Polri berhasil meningkatkan Kembali tingkat kepercayaan masyarakat pada tahun 2020 di angka 75,3 persen. Angka tersebut menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat karena beberapa kalangan merasa Polri belum berhak untuk mendapatkan angka sebesar itu, dimana banyak sekali pelanggaran yang belum diproses oleh pihak kepolisian. Terutama dalam menangani kasus pelanggaran SARA oleh beberapa oknum.
ADVERTISEMENT
Contoh Pelanggaran SARA yang dipandang sebelah mata :
Dalam diskusi ‘Papuan Lives Matter’ (Nyawa Orang Papua itu Penting), Jumat (5/6) siang, Joice mencontohkan kasus rasisme di Surabaya pada 2019 lalu. Sejumlah mahasiswa di asrama mahasiswa Papua hanya ingin menyuarakan berbagai pelanggaran di Bumi Cenderawasih malah mendapatkan ujaran merendahkan. Bahkan, mereka dituding sebagai pembuat onar.
“Padahal yang mengeluarkan ujaran rasial, ujaran kebencian itu adalah orang-orang di Surabaya. Ada ormas dan ada pihak dari kepolisian yang merupakan institusi negara ada di situ, dan mereka yang mengeluarkan ujaran rasial,” Kata Joice Etulding Eropdana pada diskusi tersebut.
Yuliana Yabansabra dari Elsham Papua mengatakan, dalam kejadian di Surabaya, pelaku ujaran kebencian hanya dihukum 7 bulan.
ADVERTISEMENT
“Tri Susanti itu mendapat hukuman hanya tujuh bulan. Dia tuntutannya itu 12 bulan, putusannya tujuh bulan . Itu sangat tidak adil,” tambahnya.
Dari Hal tersebut berbagai pihak memandang bahwa Hukum di Indonesia terbang pilih sehingga Amnesty International Indonesia akan mengangkat berbagai pelanggaran HAM dan rasisme itu ke PBB.
Pelaku berinisial TS merupakan salah seorang guru SMAN 58 Jakarta yang mengintervensi muridnya untuk memilih Calon Ketua Osis berdasarkan Agama. Hal tersebut diperkuat dengan TS dilaporkan oleh sejumlah pelajar yang tergabung dalam komunitas Pelajar Bhineka Tunggal Ika ke polisi.
"Penyidik masih melakukan penyelidikan," kata Wakasatreskrim Polres Jakarta Timur, AKP Suardi Jumaing, saat dihubungi, Rabu (11/11/2020).
ADVERTISEMENT
"Pelapor sudah diperiksa. Semoga dalam minggu ini rilisnya keluar," tambah dia.
Sementara itu, Wakapolres Jakarta Timur AKBP Steven Tamuntuan mengatakan pasal disangkakan dalam kasus ini adalah Pasal 28 ayat 2 UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) no 11 tahun 2008, juga pasal 156 dan 157 KUHP.
Kasus tersebut masih menjadi pertimbangan besar bagi pihak kepolisian mengingat sejumlah masyarakat meminta pihak kepolisian untuk menggandeng UU No 40 tahun 2008 tentang Diskriminasi RAS dan Etnis sebagai salah satu dasar hukum untuk pelanggarannya.
Dari kasus-kasus tersebut masyarakat semakin tegas mempertanyakan fungsi Polri sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang langsung berada di bawah pimpinan presiden bahwa kasus SARA tersebut seharusnya dapat segera diselesaikan menggunakan seluruh undang-undang yang sudah ditetapkan sejak merdekanya tanah air tercinta ini.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Yanuarsasi, P. D., Ribawanto, H., Rengu, S. P., Publik, J. A., Administrasi, F. I., & Brawijaya, U. (2010). ( Studi pada Polres Tulungagung ). 2(1), 182–188.
Kusumawati, M. P., Hukum, F., Islam, U., Publik, K., & Publik, E. (2019). Harmonisasi antara etika publik dan kebijakan publik. 6(1), 1–23.
Suwondo, D. (2020). Analisis Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Kinerja polri. Puslitbang-Polri.e-journal. https://puslitbang-polri.ejournal.id/LitbangPOLRI/article/view/103
Tuasikal, R. (2020). Rasisme Terhadap Orang Papua Akan Diangkat Ke PBB. VOA. Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/rasisme-terhadap-orang-papua-akan-diangkat-ke-pbb/5452645.html
Maulana, N. R. (2020). Menunggu Sanksi Untuk Guru SMAN 58 Jaktim Yang Bertindak Rasial. Megapolitan.Kompas. https://megapolitan.kompas.com/read/2020/11/12/08143001/menunggu-sanksi-untuk-guru-sman-58-jaktim-yang-bertindak-rasial?page=all