Konten dari Pengguna

Dari Emotional Contagion ke Empati Sejati: Peran Mindfulness dalam Kehidupan

Xonia Addriani Angelyn Asteresanauli Manurung
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
8 Desember 2024 12:51 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Xonia Addriani Angelyn Asteresanauli Manurung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mempelajari psikologi mindfulness merupakan suatu hal yang cukup baru bagi saya namun memberi saya pandangan baru. Mindfulness kerap dianggap sebagai optimis, berserah, kuat, bahkan mati rasa. Namun sebenarnya mindfulness bukan seperti itu. Alidina (2010) mendefinisikan mindfulness sebagai memperhatikan secara sengaja, di saat ini, dengan kasih sayang, rasa ingin tahu, dan penerimaan. Melalui mindfulness, kita belajar bagaimana hidup di saat ini dengan cara yang menyenangkan, daripada khawatir mengenai masa lalu atau mencemaskan masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Aplikasi pada mindfulness cukup beragam, mulai dari kesehatan, performa, relasi interpersonal, hingga komunitas dan organisasi. Saya mempelajari adanya emotional contagion, yang jika diterjemahkan berarti penularan emosi. Ini dapat terjadi misalnya ketika menonton video di media sosial, seseorang bisa turut serta merasakan energi dari video yang ditontonnya.
Melalui mindfulness pula, seseorang bisa meminimalisir perilaku menyalahkan diri sendiri saat mengalami kegagalan terhadap sesuatu, juga ketika berhubungan dengan orang lain. Melalui mindfulness, seseorang belajar untuk menerima pengalaman dan emosi apa adanya tanpa penilaian. Dengan demikian, ia lebih mampu menyadari bahwa kegagalan adalah bagian dari proses, bukan cerminan diri yang mutlak. Pendekatan ini mengurangi kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri, menggantinya dengan rasa belas kasih dan pemahaman terhadap diri sendiri serta orang lain, yang terkait dengan rasa empati. Sesuai dengan kalimat “life is unknown”, sejatinya hidup ini penuh dengan ketidaktahuan. Hal-hal yang kita ketahui belum tentu sepenuhnya kita tahu, dan apa yang kita pikir baik belum tentu benar-benar baik. Kita tidak perlu merasa khawatir akan ketidaktahuan dengan yang akan terjadi masa depan, kita dapat memikirkan apa yang sedang terjadi dan apa yang ada sekarang saja.
ADVERTISEMENT
Aplikasi mindfulness ini juga terlihat pada prinsip slow living. Dalam konteks mindfulness, ini bukan memaknai "hidup lambat" secara harfiah, tetapi dimaknai dengan here-now/disini-kini. Fokus slow living terdapat pada apa yang dilakukan, dirasakan saat ini, dibading mengkhawatirkan apa yang belum terjadi. Sehingga orang yang mindful akan sadar bahwa hidup bukan kompetisi, tetapi batin kita selama ini sangat terkondisi kaku bahwa hidup segala sesuatu yang "paling".
Mindfulness memiliki peranan penting dalam banyak sisi kehidupan dengan menciptakan kesadaran tentang pikiran, emosi, dan tindakan, baik secara individu, sosial, maupun lingkungan. Dalam hal lingkungan, mindfulness mendorong tindakan berkelanjutan dan konsumsi yang sadar, sedangkan dalam konteks keserakahan dan materialisme, ia berfungsi sebagai penghambat psikologis untuk perilaku konsumtif dan impulsif. Selain itu, mindfulness mendukung individu dalam menghadapi perubahan identitas akibat reverse culture shock dengan menerima ketidaknyamanan dan mengembangkan cara adaptasi yang sehat. Dengan mengaitkan aspek psikologis, sosial, ekonomi, dan lingkungan, mindfulness membuka peluang untuk penelitian lintas disiplin yang menekankan perubahan gaya hidup dan pola pikir yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Secara pribadi, saya berkeinginan meningkatkan kesadaran emosional dan menggali empati, yang terkadang masih terbatas pada emotional contagion. Sebagaimana diketahui, memiliki emosi tidak selalu berarti individu tersebut berempati. Sebagai contoh, ketika kita melihat sekelompok orang seperti pendemo yang menyuarakan sesuatu, kemudian muncul keinginan untuk ikut serta, hal tersebut mungkin bukan karena empati melainkan akibat terbawa suasana dari penularan emosi. Empati sendiri melibatkan respons afektif, mentalisasi, regulasi emosi, dan respons perilaku (Bayot et al., 2020). Menariknya, penelitian Borghi et al. (2023) menunjukkan bahwa kesadaran emosional memediasi hubungan antara mindfulness dan empati, dengan efek yang lebih kuat pada self-regulated attention (SRA) dibandingkan orientation to experience (OTE).
Sumber: https://www.pexels.com/photo/crop-woman-tapping-shoulder-of-frustrated-female-friend-6383158/
Target utama dari pengaplikasian mindfulness adalah peningkatan kesadaran emosional dan penggalian empati. Tujuan peningkatan kesadaran emosional ini untuk membantu individu membedakan antara respons empatik yang sejati dengan reaksi emosional yang hanya disebabkan karena penularan emosi. Dengan demikian, individu dapat mengembangkan empati yang melibatkan respons afektif, mentalisasi, regulasi emosi, dan respons perilaku yang lebih sehat dan terarah.
ADVERTISEMENT
Langkah-langkah konkret pengaplikasian mindfulness ini yaitu:
ADVERTISEMENT
Dengan langkah-langkah di atas, harapannya akan dapat membantu individu mencapai tingkat kesadaran emosional dan empati yang lebih baik, serta memanfaatkan mindfulness untuk meningkatkan kualitas hubungan interpersonal.
Referensi:
Aldina, S. (2010). Mindfulness for dummies. West Sussex: John Wiley & Sons.
Bayot, M., Vermeulen, N., Kever, A., & Mikolajczak, M. (2020). Mindfulness and Empathy: Differential Effects of Explicit and Implicit Buddhist Teachings. Mindfulness, 11, 5-17. https://doi.org/10.1007/S12671-018-0966-4
Borghi, O., Mayrhofer, L., Voracek, M., & Tran, U.S. (2023). Differential associations of the two higher-order factors of mindfulness with trait empathy and the mediating role of emotional awareness. Scientific Reports, 13. https://doi.org/10.1038/s41598-023-30323-6