Konten dari Pengguna

Tantangan Nyata Perempuan Indonesia Menuju Kesetaraan Politik di Balik Angka 30%

Sulistiawati
Sulistiawati merupakan mahasiswa S1 pada program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Penulis memiliki ketertarikan pada bidang sosial khususnya pada pemenuhan hak-hak anak dan perempuan.
26 November 2024 14:33 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sulistiawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Edit: Canva dari Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Edit: Canva dari Penulis
ADVERTISEMENT
Sulistiawati*
Perempuan Indonesia tidak lagi terpenjara dalam kegelapan intelektual. Perempuan yang sebelumnya gelap akan hak intelektual, namun saat ini tidak lagi. Perempuan telah terang untuk mendapatkan hak intelektualnya. Perempuan Indonesia dahulu tidak diperkenankan sekolah alias tidak memiliki hak untuk berpendidikan. Perempuan saat itu, cukup untuk pandai membersihkan rumah, memasak, dan mengurus anak. Namun, saat ini perempuan Indonesia dapat mencicipi akses pendidikan untuk bersekolah hingga setinggi-tingginya serta berhak mendapatkan pekerjaan yang layak. Peran dan tanggung jawab perempuan bukanlah hanya menjadi pelengkap isi rumah tangga. Namun, perempuan juga seharusnya dapat andil memiliki hak dalam menentukan arah kemajuan bangsa Indonesia. Perempuan juga harus merdeka.
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita mendengar istilah politik, namun apakah kita mengetahui apa itu sebenarnya politik? Politik merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang artinya negara. Secara definisi luas, politik adalah suatu aktivitas yang dibuat, dipelihara, serta digunakan dalam masyarakat untuk menegakkan peraturan atau mengatur kehidupan yang terdapat pada masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan data kependudukan tahun 2024, jumlah perempuan di Indonesia saat ini mencapai 139 juta jiwa hampir setengahnya dari jumlah penduduk di Indonesia sedangkan laki-laki mencapai 142 juta jiwa. Perbandingannya dengan laki-laki tidak terlalu jauh. Menelisik mengenai politik dan perempuan, perempuan memiliki peranan yang sangat penting dalam dunia politik. Melalui jumlah perbandingan antara perempuan dan laki-laki di atas, perempuan juga hadir hampir menyeimbangi secara jumlah.
ADVERTISEMENT
Representasi perempuan menjadi semakin penting, perempuan memiliki kebutuhan khusus, pandangan atau perspektif yang spesifik berdasarkan pengalaman hidup mereka, yang mengetahui kebutuhan perempuan, ya perempuan itu sendiri. Bayangkan jika perempuan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan atau pembuatan produk kebijakan yang menyangkut hidup perempuan namun perempuan tidak dilibatkan dalam proses tersebut. Apakah perempuan akan benar-benar merasa terlindungi, aman, dan nyaman?
Dimulai pada era Reformasi di akhir 1990-an, setelah jatuhnya Orde Baru, perhatian terhadap isu gender dan hak asasi manusia meningkat, memicu berbagai inisiatif untuk memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai sektor, termasuk politik. Pada tahun 2008, Undang-Undang No. 2 tentang Partai Politik mengatur kuota minimal 30% untuk perempuan dalam calon anggota legislatif. Kebijakan affirmative action telah menjadi isu penting dalam perjuangan untuk kesetaraan gender, khususnya dalam konteks legislatif. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan representasi perempuan dalam posisi politik, yang historisnya didominasi oleh laki-laki. Selain itu, untuk mengatasi ketidaksetaraan yang telah berlangsung lama. Keterwakilan perempuan yang rendah sering kali disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk stereotip gender, budaya patriarkal, dan kurangnya akses terhadap sumber daya politik. Dengan adanya kuota, diharapkan akan tercipta lebih banyak ruang bagi suara perempuan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan di ranah politik.
Upacara Peringatan Hari Ibu bertempat di Gedung Wanita (22/12/1959)
Melalui penjelasan ini, penulis meyakini bahwa masih banyak praktik budaya patriarki dan stigma lainnya yang menyebabkan keterwakilan perempuan dalam bidang politik di Indonesia tidak memenuhi target keterwakilan. Terdapat hal mendasar yang menyebabkan perempuan sulit untuk terjun dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Sebuah pemikiran bahwa derajat perempuan itu di bawah derajat laki-laki. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah dan harus dilindungi sesuai dengan kemauan laki-laki. Karena hal ini dikhawatirkan akan terjadi langgengnya kekerasan terhadap perempuan.
ADVERTISEMENT
Terdapat stigma masyarakat bahwa pemimpin adalah laki-laki, harus laki-laki. Jika perempuan nanti ribet, berisik, banyak dan-dan yang menjadikan tabu untuk perempuan menjadi seorang pemimpin. Tidak jarang karena patriarki dan stigma masyarakat seperti itu perempuan menjadi pesimis untuk menang mendapatkan kursi jabatan dalam memimpin. Bahkan, ada saja masyarakat yang gengsi di pimpin oleh seorang perempuan. Seharusnya setiap individu dalam masyarakat Indonesia memiliki kebebasan seperti kebebasan untuk mengekspresikan dirinya dalam melakukan segala langkah tindakan sosial selama tetap terikat dalam hukum yang berlaku, berhak memilih dan dipilih, karena Indonesia merupakan negara demokrasi dan pancasila.
Sesuai dengan sila Pancasila yang ke-5 yang berbunyi: "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Bahwasanya sudah seharusnya adil dalam segala aspek termasuk peran dalam bidang politik, tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan terdapat pengkotak-kotakan dalam masyarakat apalagi terhadap perbedaan jenis kelamin atau gender laki-laki ataupun perempuan. Perbedaan tersebut bukan menjadi pembatas namun sebagai entitas yang sama untuk diperlakukan dengan adil. Adil dalam berbagai bidang politik, pendidikan, ekonomi, sosial, dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan tujuan yang telah ditetapkan, keterwakilan perempuan dalam politik dapat dikatakan masih jauh dari harapan. Kegelapan intelektual yang selama ini menghalangi perempuan Indonesia untuk menjalankan haknya untuk menuntut ilmu kini telah sirna. Namun, masyarakat patriarki, norma gender, dan sejarah pribadi masih saja menghambat perempuan Indonesia untuk meniti karier di dunia politik. Meskipun demikian, berbagai upaya terus dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Republik Indonesia terus berupaya meningkatkan proporsi perempuan di ranah politik. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai peraturan, seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 55 Ayat 2 yang mengatur penerapan aturan sistem zipper. Sistem tersebut mensyaratkan minimal satu orang perempuan untuk setiap tiga orang bakal calon. Menurut peraturan tersebut, "Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon". Kenyataan bahwa kuota keterwakilan perempuan belum terpenuhi secara penuh telah menimbulkan perdebatan di internal partai tentang keterwakilan perempuan dalam politik, khususnya di lembaga legislatif Indonesia, sehingga pemenuhan kuota tersebut sebenarnya belum sepenuhnya mencukupi.
ADVERTISEMENT
Mengenai pemberdayaan politik perempuan tidak boleh diremehkan oleh pemahaman politik kapitalis yang justru menempatkan perempuan dalam persaingan dengan laki-laki untuk mendapatkan kekuasaan atau hanya sekedar memperebutkan ’kursi’. Pemberdayaan politik perempuan tergantung pada kodratnya, dengan memperhatikan keseimbangan antara peran utama mereka sebagai perempuan dalam rumah tangga dan dalam peran politiknya.
Meskipun peran politik perempuan merupakan bagian dari tanggung jawabnya terhadap masyarakat luas, namun peran perempuan dalam rumah tangga merupakan tugas utama mereka untuk membesarkan anak guna menciptakan generasi yang berkualitas. Menjalankan peran tersebut perlu memperkaya pengetahuan diri untuk menjadi bekal menjalankan dua atau bahkan lebih peran sebagai ibu dan atau wanita karier. Begitu luar biasa menjadi seorang perempuan, kini tidak lagi terbelenggu dalam kegelapan untuk mendapatkan hak intelektual menjadi angin segar untuk dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya yang akan menciptakan generasi emas bangsa bahkan dirinya dapat mengambil peran terhadap masyarakat melalui ranah politik karena saat ini tak lagi terpenjara untuk dapat mewakili partisipasi perempuan dalam ranah politik dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah disahkan walaupun nyatanya masih banyak praktik patriarki dan stigma yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Namun, sebagai perempuan Indonesia yang tak lagi gelap akan akses pendidikan dan diberikan ruang untuk mengambil peran dalam ranah politik yang dijamin dan diatur dalam beberapa undang-undang seperti dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur mengenai tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengamanatkan keterwakilan perempuan sebanyak minimal 30%.
Penulis: Sulistiawati adalah mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.