Konten dari Pengguna

Anak Sering Sakit Perut Tapi Sehat? Waspadai Psikosomatis!

Yabes Edmund Macario Siburian
Mahasiswa Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Digital, Universitas Negeri Jakarta
26 Juni 2025 17:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Anak Sering Sakit Perut Tapi Sehat? Waspadai Psikosomatis!
Psikosomatis pada anak kerap terabaikan. Artikel ini membahas pentingnya skrining mental yang peka terhadap keluhan fisik tanpa sebab medis.
Yabes Edmund Macario Siburian
Tulisan dari Yabes Edmund Macario Siburian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak sedang sakit perut. Sumber Foto: CottonBro Studio dari Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak sedang sakit perut. Sumber Foto: CottonBro Studio dari Pexels
ADVERTISEMENT
Pernah nggak, Moms, anak tiba-tiba bilang perutnya sakit, tapi setelah dicek ke dokter hasilnya normal? Atau anak sering pusing tiap mau sekolah, tapi bilangnya “nggak kenapa-kenapa”? Hati-hati, bisa jadi itu bukan sekadar akal-akalan, tapi bentuk psikosomatis alias stres emosional yang muncul lewat tubuh.
ADVERTISEMENT
Sejak Februari 2025, Kementerian Kesehatan telah meluncurkan skrining kesehatan mental gratis bagi anak usia sekolah saat tahun ajaran baru, melibatkan lebih dari 10.000 puskesmas dan 15.000 klinik di seluruh Indonesia. Skrining ini mencakup dua kategori utama: fisik seperti tekanan darah dan penglihatan, serta mental, dengan pendekatan kuesioner untuk mendeteksi kecemasan dan depresi.
Cakupannya memang luas, mencakup anak usia 7–17 tahun. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah skrining ini mampu menangkap fenomena psikosomatis, seperti sakit perut, pusing, atau mual, yang tak dapat dijelaskan secara medis, namun dipicu stres emosional? Data Kemenkes (2025) mencatat 1 dari 10 orang Indonesia menderita gangguan mental. Sayangnya, deteksi pada skrining masih terbatas pada gejala-gejala klasik, seperti gangguan kecemasan atau depresi, tanpa menyentuh ekspresi fisik akibat tekanan emosional.
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa Humas dan Komunikasi Digital yang kerap mempelajari isu kesehatan berbasis data, saya melihat potensi kehilangan momentum jika psikosomatis tidak ikut dipetakan sejak dini. Padahal, keluhan fisik bisa jadi adalah bentuk awal komunikasi emosional seorang anak.

Skrining Harus Lebih Peka ke Psikosomatis

Saya berpihak pada perlunya perluasan fokus dalam skrining kesehatan mental anak. Artinya, saya setuju bahwa program ini adalah langkah strategis dan patut diapresiasi, namun belum cukup kuat jika tidak mampu menangkap ekspresi fisik dari stres, seperti psikosomatis. Masalah ini bukan fenomena langka, terutama pada anak usia sekolah dasar yang belum mampu mengungkapkan emosinya secara verbal.
Dengan kata lain, saya pro terhadap kebijakan skrining, tetapi kritis terhadap kelengkapannya. Anak-anak yang sering sakit perut tanpa sebab medis bukanlah pengeluh tanpa alasan, melainkan sedang berusaha menyampaikan ketidaknyamanan emosional. Jika sinyal ini gagal ditangkap, risiko gangguan mental yang lebih berat di kemudian hari justru meningkat.
ADVERTISEMENT

1. Perluas Kuesioner Skrining dengan Gejala Psikosomatis

Ilustrasi perluasan kuesioner. Sumber Foto: Noelle Otto dari Pexels
Tambahkan pertanyaan seperti: “Apakah kamu sering sakit perut saat merasa takut/khawatir?” atau “Apakah kamu merasa lelah ketika harus berbicara di depan kelas?” untuk memetakan stres fisik-emosional sejak dini.

2. Latih Tenaga Kesehatan & Guru Mengenali Psikosomatis

Ilustrasi pelatihan tenaga kesehatan & guru. Sumber Foto: Edmond Dantès dari Pexels.
Tenaga kesehatan dan guru perlu dibekali pelatihan khusus. Misalnya, mereka harus bisa membaca pola keluhan seperti nyeri lambung sebelum ujian, atau mual yang berulang setiap Senin pagi.

3. Rujukan Langsung ke Psikolog atau Konselor Sekolah

Ilustrasi konseling dengan Psikolog atau Konselor. Sumber Foto: CottonBro Studio dari Pexels.
Anak-anak yang menunjukkan kecenderungan psikosomatis harus mendapat akses ke konseling emosional minimal satu kali per bulan, bukan hanya mendapat vitamin dan diminta “banyak istirahat”.

4. Edukasi Orang Tua untuk Respons Empatik

Ilustrasi edukasi kepada orang tua. Sumber Foto: Luis Quintero dari Pexels.
Kementerian dapat merancang modul “Dengar Tubuh Bicara” yang dapat diakses di aplikasi Satu Sehat atau dibagikan lewat grup WhatsApp sekolah. Tujuannya adalah membekali orang tua agar tidak mengabaikan keluhan anak yang berulang.
ADVERTISEMENT

5. Integrasi Data Psikosomatis ke Platform Satu Sehat

Logo aplikasi Satu Sehat. Sumber Foto: Dinas Kesehatan Provinsi Aceh
Catat keluhan fisik berulang tanpa penyebab medis sebagai indikator stres dalam data anak, agar bisa menjadi dasar pembuatan program intervensi dan perbaikan sistem skrining.

6. Kampanye #DengarTubuhBicara

Ilustrasi kampanye #DengarTubuhBicara. Sumber Foto: Lara Jameson dari Pexels.
Kampanye ini bisa melibatkan psikolog anak, influencer parenting, dan guru, untuk menyuarakan pentingnya memperhatikan ekspresi fisik anak sebagai bagian dari komunikasi emosional. Bisa dikemas dalam bentuk konten edukatif seperti TikTok, infografik, atau podcast ringan.

Tangkap, Dengar, dan Bertindak

Saat anak mengeluh sakit perut tapi hasil medisnya normal, jangan buru-buru menganggapnya mengada-ada ya, Moms. Bisa jadi itu adalah cara anak berkomunikasi saat emosinya tak bisa diungkapkan lewat kata. Skrining kesehatan mental yang sudah ada memang langkah maju, tapi akan jauh lebih bermakna jika bisa ikut menangkap sinyal-sinyal psikosomatis ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai generasi muda dan calon orang tua, kita perlu sadar bahwa tubuh anak juga bisa "berbicara". Jadi, penting banget untuk membentuk sistem yang bukan hanya menilai, tapi juga memahami. Karena ketika kita mau benar-benar mendengar keluhan kecil mereka, kita sedang menjaga sesuatu yang jauh lebih besar, masa depan mereka. Yuk, jadi orang tua yang lebih peka.