Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Monarki Dalam Pandangan Islam: Pro dan Kontra Menurut Syariat
12 November 2024 14:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Yajid Makarim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Monarki dalam pandangan islam merupakan sistem pemerintahan yang kekuasaannya diwariskan secara turun-temurun, telah menjadi subjek perdebatan selama berabad-abad. Apakah sistem ini masih memiliki tempat dalam dunia yang terus berubah? Lalu bagaimana dengan pandangan agama yang paling banyak dianut di negara kita islam tentang system Kerajaan ini? Sebelumnya apakah itu sistem pemerintahan monarki.
ADVERTISEMENT
Sistem monarki adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang penguasa tunggal yang disebut raja atau ratu. Kekuasaan ini umumnya diwariskan secara turun-temurun melalui garis keturunan. Sistem kerajaan monarki memiliki kelebihan, seperti stabilitas politik yang lebih terjamin karena kekuasaan diwariskan turun-temurun, yang mengurangi ketidakpastian akibat pergantian kepemimpinan; konsistensi kebijakan karena pemimpin tidak berganti secara berkala; serta simbolik pemersatu rakyat dalam bentuk sosok raja atau sultan. Namun, monarki juga memiliki kekurangan, termasuk potensi penyalahgunaan kekuasaan karena kontrol terhadap penguasa cenderung lemah, sulitnya menjamin bahwa pewaris takhta memiliki kapabilitas dan kepemimpinan yang baik, serta terbatasnya partisipasi rakyat dalam memilih pemimpin. Sistem ini juga rawan menghadapi ketidakpuasan rakyat apabila terjadi kesenjangan antara kepentingan keluarga kerajaan dan kepentingan publik.
ADVERTISEMENT
Sistem monarki dalam Islam berkembang sejak masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M) yang dipimpin oleh empat khalifah pertama dalam bentuk pemilihan syura atau dewan musyawarah. Setelah itu, Dinasti Umayyah (661-750 M) di bawah Muawiyah bin Abu Sufyan mengubah kekhalifahan menjadi sistem monarki turun-temurun, diikuti oleh Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) yang memindahkan ibu kota ke Baghdad dan memperkenalkan pemerintahan yang lebih inklusif namun tetap diwariskan dalam keluarga. Setelah kekuasaan Abbasiyah melemah, berbagai kerajaan Islam muncul secara independen, seperti Kesultanan Seljuk, Kesultanan Mamluk, dan Kesultanan Delhi, yang semuanya menerapkan monarki. Pada abad ke-14, Kekaisaran Ottoman (1299-1922 M) menjadi kekuatan besar Islam, menggunakan sistem monarki turun-temurun dengan klaim kekhalifahan hingga runtuh pada 1922. Saat ini, beberapa negara seperti Arab Saudi, Yordania, dan Maroko masih menggunakan sistem monarki, mengadaptasi konsep-konsep modern namun tetap mempertahankan pewarisan kekuasaan turun-temurun.
ADVERTISEMENT
Monarki Islam sepanjang sejarah cenderung berupaya menerapkan prinsip keadilan dan syariat Islam, meskipun praktiknya berbeda-beda di tiap kerajaan.
Al-Ghazali dan Ibnu Abi Rabi', dua tokoh besar dalam pemikiran Islam, memiliki pandangan yang serupa mengenai sistem monarki. Al-Ghazali berpendapat bahwa kekuasaan seorang pemimpin adalah suci dan berasal dari Tuhan, sehingga rakyat wajib patuh. Ia juga menekankan pentingnya adanya seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas penuh untuk menjaga ketertiban dan kesatuan negara. Senada dengan Al-Ghazali, Ibnu Abi Rabi' juga meyakini bahwa sistem monarki dengan seorang raja yang memiliki kekuasaan absolut adalah yang paling efektif untuk menghindari kekacauan politik dan menjaga persatuan negara.
Dalam faktor legitimasi historis seperti sistem khilafah pada awalnya bersifat musyawarah seperti pada masa Khulafaur Rasyidin, berkembang dengan unsur-unsur monarki seiring berjalannya waktu. Saat Dinasti Umayyah berkuasa, Muawiyah bin Abu Sufyan menetapkan putranya sebagai penerus, memperkenalkan pewarisan turun-temurun. Dinasti-dinasti berikutnya, seperti Abbasiyah dan Ottoman, meneruskan pola ini, menjadikan kekhalifahan mirip monarki tradisional dengan kekuasaan yang diwariskan dalam keluarga, pembentukan istana, dan birokrasi kerajaan. Meski tetap mengklaim legitimasi agama, sistem ini semakin tertutup bagi rakyat dan menekankan konsentrasi kekuasaan pada satu keluarga.
ADVERTISEMENT
Argument yang menolak monarki dalam padangan islam:
Prinsip kesetaraan dalam Islam yang mengajarkan semua manusia setara di hadapan Allah bertentangan dengan konsep monarki absolut di mana kekuasaan terpusat pada satu individu. Prinsip syura atau musyawarah dalam Islam juga menuntut keterlibatan seluruh komponen masyarakat dalam pengambilan keputusan, yang jelas bertentangan dengan sistem pemerintahan yang otoriter. Selain itu, sejarah telah membuktikan bahwa kekuasaan mutlak seringkali disalahgunakan, leading to tyranny and injustice. Oleh karena itu, banyak ulama yang berpendapat bahwa sistem monarki yang terlalu terpusat pada satu orang bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam tidak memberikan blueprint atau cetak biru yang rigid mengenai bentuk pemerintahan yang harus diterapkan. Sebagai agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama, Islam lebih menekankan pada nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan, keamanan, dan kemakmuran. Islam tidak mengkotak-kotakkan sistem pemerintahan menjadi satu bentuk yang baku, melainkan memberikan prinsip-prinsip dasar yang fleksibel untuk diterapkan dalam berbagai konteks sejarah dan sosial. Dengan kata lain, Islam menawarkan kerangka moral yang kuat untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera, namun tidak memaksakan satu model pemerintahan tertentu.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang ideal, umat Islam perlu terus berdiskusi dan berdialog untuk menemukan keseimbangan antara nilai-nilai universal Islam dengan dinamika zaman. Tantangan yang ada tidak boleh menyurutkan langkah kita dalam membangun masyarakat yang adil dan bermartabat.
* Muhammad Yajid Makarim adalah mahasiswa pengantar ilmu politik, prodi ilmu komunikasi, FISIP UNTIRTA