Konten dari Pengguna

Menjaga Warisan Leluhur di Kasepuhan Gelar Alam, Sukabumi

Yandi Mooduto
Pegiat Data Desa Presisi (DDP) IPB University
11 Februari 2025 6:30 WIB
·
waktu baca 15 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yandi Mooduto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Yandi Mooduto, Pegiat Data Desa Presisi IPB University
“Kasepuhan Gelar Alam bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga cermin masa depan—masa depan yang mengajarkan kita pentingnya menjaga hubungan yang selaras antara manusia, budaya, dan alam.”
Foto bersama Abah Ugi Sugriana Rakasiwi (pemimpin Kasepuhan Gelar Alam). Senin, (27/1/2025). Foto: dokpri/Yandi Mooduto
zoom-in-whitePerbesar
Foto bersama Abah Ugi Sugriana Rakasiwi (pemimpin Kasepuhan Gelar Alam). Senin, (27/1/2025). Foto: dokpri/Yandi Mooduto
Delapan tahun yang lalu, semasa kuliah S1, di tengah diskusi penuh antusias bersama teman-teman Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo (medio 2017), kami mengurai narasi memukau dari film dokumenter “Kasepuhan Cipta Gelar” karya Watchdoc, bagian dari Ekspedisi Indonesia Biru Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz (Ucok). Saat itu, saya hanya mengenal Cipta Gelar melalui layar—sebuah dunia adat yang terasa begitu dekat, namun sekaligus jauh dari kehidupan modern. Kini, memoar diskusi itu membawa saya berdiri di jantung Kasepuhan Gelar Alam, atau yang sebelumnya dikenal sebagai Kasepuhan Cipta Gelar.
ADVERTISEMENT
Kasepuhan Gelar Alam
Kata kasepuhan berasal dari kata dasar sepuh dengan imbuhan ka- di awal dan -an di akhir. Dalam bahasa Indonesia, sepuh berarti tua, sehingga kasepuhan dapat diartikan sebagai tempat tinggal para sesepuh. Selain itu, istilah kasepuhan juga mencerminkan model kepemimpinan dalam suatu komunitas atau masyarakat yang berlandaskan adat dan kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Oleh karena itu, kasepuhan juga memiliki makna lain, yaitu tradisi atau adat kebiasaan para leluhur (Sukma 2013 dan Wulangsih et al. 2015).
Kasepuhan Gelar Alam merupakan sebuah wilayah induk dalam Kesatuan Adat Banten Kidul yang berada di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, wilayah Taman Nasional Gunung Halimun. Kasepuhan Gelar Alam memiliki akar sejarah dari sebuah kerajaan yang dahulu dipimpin oleh Prabu Siliwangi dan berlokasi di Cipatat, Bogor.
ADVERTISEMENT
Pada suatu waktu, karena alasan yang tidak dijelaskan, para pemuka adat kerajaan tersebut berpencar dan mendirikan kampung atau kasepuhan mereka sendiri dengan kewenangan yang berbeda-beda, yang harus dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi. Para ketua adat Kasepuhan diberikan tanggung jawab khusus untuk mempertahankan sistem pertanian tradisional secara turun-temurun. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kasepuhan Cipta Gelar (Gelar Alam sekarang) di Sukabumi, Jawa Barat, yang dikenal erat dengan sistem pertanian tradisionalnya.
Perpindahan tersebut dilakukan berdasarkan petunjuk atau wangsit dari leluhur. Adapun wilayah-wilayah yang pernah menjadi tempat bermukim komunitas kasepuhan ini meliputi: Cipatat (Bogor), Lebak Laran, Lebak Binang, Telaga, Tegalombo, Bojong, Pasir Jinjing, Lingarjati, Ciptarasa, hingga akhirnya menetap di Ciptagelar (Khomsan et al. 2014).
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, Kasepuhan Gelar Alam masih menjalankan kegiatan berpindah lokasi permukiman (ngalalakon). Kegiatan berpindah permukiman ini dimulai ketika Abah (ketua adat/pimpinan kasepuhan) menerima perintah hijrah wangsit dari leluhur untuk memindahkan permukiman ke tempat yang sudah ditentukan oleh leluhur. Perpindahan lokasi permukiman ini tidak hanya bertujuan sebagai upaya kasepuhan untuk kembali ke titik nadir peradabanya, namun juga sebagai perwujudan permukiman yang lebih baik dari yang sebelumnya (Kusdiwanggo 2016).
Sejalan dengan pandangan Wulangsih et al. (2022) masyarakat Kasepuhan Gelar Alam tidak terlepas dari wangsit, sebagai perwujudan makna dari kebo mulih pakandangan (kembali ke ajaran nenek moyang). Masyarakat kasepuhan merupakan orang-orang yang patuh pada uga.
Menurut Humaeni et al. ( 2018) Uga merupakan ketentuan adat dan kepercayaan yang sudah dipesankan oleh karuhun atau nenek moyang yaitu pendiri kampung yang berasal dari semua kerabat serta generasi sesepuh, berisi tentang gambaran keadaan, kelakuan, tindakan ataupun hal-hal yang akan terjadi. Uga Wangsit Siliwangi, tradisi Sunda, dan masih menjalankan sistem nilai dan norma adat hingga sekarang. Hal ini memberikan arti bahwa masyarakat Ciptagelar sesungguhnya erat kaitannya dengan unsur-unsur spiritual dan kebatinan (Hernandi 2006).
ADVERTISEMENT
Secara budaya, para pemimpin adat di Kasepuhan Gelar Alam meyakini bahwa mereka adalah keturunan pancer pangawinan, sebuah konsep simbolis yang menyatukan alam semesta dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, masyarakat Adat Kasepuhan Gelar Alam masih memegang teguh tradisi leluhur dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan biologisnya (Kusnaka 1992).
Khomsan et al. (2014) berpandangan bahwa masyarakat Kasepuhan ini tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional, tetapi tetap terbuka terhadap pengaruh dari luar. Inilah yang membedakan masyarakat kasepuhan dari komunitas Baduy di Banten. Karakteristik gaya hidup mereka memungkinkan masyarakat Kasepuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan alam tempat mereka tinggal. Hal ini diduga berdampak pada karakteristik sosial budaya terkait pangan dan gizi, yang berlandaskan pada nilai-nilai tradisional yang masih dijunjung oleh masyarakat Kasepuhan hingga saat ini (Kusnaka 1992).
ADVERTISEMENT
Dalam sistem kepemimpinan di Kasepuhan Gelar Alam dipegang oleh seorang Abah, sosok yang tidak hanya menjadi pemimpin, tetapi juga penjaga spiritual dan simbol hidup kearifan lokal. Saat ini, Abah Ugi Sugriana Rakasiwi memegang amanah tersebut sejak tahun 2008, meneruskan kepemimpinan dari Abah Anom.
Hal ini didukung dari hasil wawancara bersama Dalang Dede yang merupakan orang kepercayaan Abah Ugi dalam bidang Kesenian di Kasepuhan Gelar Alam, Senin, (27/1/2025). Dalang Dede menjelaskan bahwa pemimpin baru di Kasepuhan Gelar Alam diangkat setelah pemimpin sebelumnya wafat. Selain itu, pemimpin yang baru diangkat adalah seseorang yang memiliki garis keturunan langsung dari pemimpin sebelumnya dan mendapat persetujuan dari tujuh menteri serta sesepuh kasepuhan.
"Biasanya setelah wafat atau meninggal, barulah dipilih pemimpin baru. Dulu, Abah Anom ini meninggal usianya 45 tahun. Dari kata tujuh menteri atau tujuh sesepuh itu, yang berkekuatan mendukung abah. Abah yang ini (Abah Ugi) disuruh pulang" ujar Dalang Dede.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh nyata dari tradisi ini adalah kisah Abah Ugi, yang harus kembali dari perkuliahannya di Bandung setelah ayahnya wafat. Sejak saat itu, Abah Ugi memimpin dengan prinsip keseimbangan antara modernitas dan adat.
"Dulu, Abah Ugi lagi kuliah di Bandung, di jurusan Kedokteran. Pas sudah meninggal, ini ditarik langsung, harus meneruskan adat di sini, gitu. Beliau tidak bisa menolak karena sudah menjadi titisan," kata Dalang Dede.
Sistem kepemimpinan di Kasepuhan Gelar Alam masih tetap memegang kuat adat dan tradisi yang diturunkan sejak 640 tahun yang lalu hingga sekarang. Hal ini didasarkan pada garis keturunan, sebagaimana catatan para pendiri di Kasepuhan Gelar Alam yaitu Abah Anom (Alm. Encup Sucipta) yang merupakan keturunan kesepuluh dari kasepuhan tersebut (Khomsan et al. 2014).
ADVERTISEMENT
Sejarah berdirinya Kasepuhan Ciptagelar hingga menjadi Gelar Alam saat ini bermula pada tahun 1990 ketika Abah Anom menerima petunjuk dari leluhur untuk meninggalkan Kampung Ciptarasa demi menjaga kelestarian serta keselamatan masyarakat adat setempat.
Wawancara dengan Dalang Dede, orang kepercayaan Abah Ugi (Menteri) di Kasepuhan Gelar Alam. Senin, (27/1/2025). Foto: dokpri/Yandi Mooduto
Menteri Kasepuhan sebagai Institusi Adat Penjaga Harmoni
Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin adat, Abah tidak bekerja sendirian. Ia didukung oleh sebuah struktur kelembagaan adat yang telah dibentuk secara khusus untuk menjalankan berbagai fungsi dan tugas yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat. Struktur kelembagaan ini terdiri dari tujuh lembaga adat yang secara kolektif dikenal dengan sebutan Rorokan. Setiap individu yang menjadi bagian dari Rorokan memiliki tugas dan peran spesifik dalam mendampingi Abah dalam menjalankan pemerintahan adat di Kasepuhan.
ADVERTISEMENT
Saftri et al. (2024) menguraikan bahwa Rorokan adalah kumpulan baris kolot yang mencakup beberapa rorokan di dalamnya. Setiap rorokan terdiri atas sejumlah garapan. Garapan sendiri merupakan bagian dari baris kolot yang memiliki kemiripan dengan rorokan, tetapi memiliki perbedaan mendasar. Jika rorokan ditentukan oleh abah berdasarkan keturunan dan keahlian, maka garapan dipilih oleh abah semata-mata berdasarkan keahlian. Dalam konteks pemerintahan, rorokan dapat dianalogikan sebagai kabinet atau jajaran menteri dalam struktur nasional.
Kedudukan Abah dan Rorokan bukanlah jabatan yang dapat diisi secara sembarangan, melainkan bersifat turun-temurun dan diwariskan kepada individu yang memiliki garis keturunan langsung dari leluhur atau pendiri adat. Seseorang yang berhak menduduki posisi sebagai Abah harus berasal dari keturunan murni para pendiri adat, sehingga terdapat kesinambungan dalam kepemimpinan adat yang menjaga nilai-nilai, tradisi, serta hukum adat yang berlaku di komunitas tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga berlaku bagi para anggota Rorokan. Mereka yang menduduki posisi dalam kelembagaan ini mendapatkan gelarnya sebagai warisan dari garis keturunan keluarga atau leluhur mereka, sehingga setiap jabatan dalam Rorokan selalu berada dalam lingkup keturunan yang telah ditentukan berdasarkan adat istiadat.
Struktur kelembagaan adat ini dijelaskan lebih lanjut oleh Dalang Dede, yang dalam sistem pemerintahan adat Kasepuhan Gelar Alam berperan sebagai seorang menteri. Ia merupakan salah satu tokoh penting yang membantu Abah Ugi dalam menjalankan roda pemerintahan adat. Menurut penuturannya, ketujuh orang yang tergabung dalam Rorokan ini memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai orang-orang kepercayaan Abah Ugi. Mereka bertanggung jawab dalam mendukung serta memastikan kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan di Kasepuhan Gelar Alam, baik dalam aspek sosial, budaya, maupun sistem hukum adat yang berlaku dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Ada Paraji tugasnya bidan kesehatan. Bengkong itu tugasnya tukang sunat, urusan khitanan. Terus ada Padingaran, itu menjaga padi-padi yang kita tanam. Jangan sampai diganggu sama hama-hama di hutan. Itu ada leluhurnya juga yg jaga. Terus ada juga amil (Rorokan Kapanghuluan) petugas zakat semacam menteri Agama. Terus ada juga Rorokan pakaya yang mengurus pakaya Abah atau tanah-tanah Abah. Pokoknya soal aset atau wilayah itu dia yang ngurus gitu ya.” Ungkapnya
Lebih lanjut, Dalang Dede menjelaskan, ada Rorokan Pertanian yang mengurus segala hal terkait pertanian. Kemudian, terdapat Rorokan Pantun, yang bertanggung jawab atas seni pantun yang disakralkan.
"Pantun ini digunakan dalam upacara adat sebanyak tiga kali dalam setahun. Seni ini menyerupai kecapi dan hanya dipentaskan dalam acara tertentu, seperti Seren Tahun dan Anyaran. Anyaran sendiri merupakan ritual yang dilakukan setelah masa tanam, sedangkan proses menanamnya disebut dengan istilah 'ngaset',” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem kemasyarakatan adat, tidak terdapat hierarki yang menempatkan seseorang lebih tinggi atau lebih rendah, kecuali Abah. Setiap individu yang diberikan tugas memiliki wewenang serta aturan yang telah ditentukan sesuai dengan perannya masing-masing.
Sejalan dengan pandangan Saftri et al. (2024), posisi rorokan memiliki akses langsung ke Abah, sedangkan kelompok garapan tidak selalu memiliki jalur langsung ke Abah, melainkan harus melalui rorokan terlebih dahulu. Mengingat luasnya aspek yang dapat dibahas, kajian ini dibatasi pada deskripsi rorokan utama dan garapan yang diutamakan, yaitu: 1) Rorokan Jero; 2) Rorokan Dukun; 3) Rorokan Paraji; 4) Rorokan Pamakayaan; 5) Rorokan Paninggaran; 6) Rorokan Pangabasan; 7) Rorokan Panahaban.
Menjual Padi, Menjual Nyawa
Salah satu hal yang membuat Kasepuhan Gelar Alam istimewa adalah keteguhannya dalam menjaga tradisi agraris. Pertanian padi menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat, dilakukan dengan metode tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Berpedoman pada kalender adat berbasis rasi bintang, masyarakat hanya menanam padi setahun sekali—sebuah siklus yang menghormati keseimbangan ekosistem. Siklus ini tidak hanya menjaga kesuburan tanah tetapi juga memastikan bahwa hasil panen cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Leuit atau lumbung padi, menjadi simbol ketahanan pangan yang luar biasa. Leuit adalah jantung dari kehidupan masyarakat Kasepuhan Gelar Alam. Setiap rumah memiliki satu hingga dua lumbung yang digunakan untuk menyimpan hasil panen mereka. Padi hasil panen disimpan dengan metode yang memungkinkan bertahan hingga 75 tahun tanpa teknologi modern.
Filosofi di balik leuit bukan sekadar menyimpan pangan, tetapi juga menjaga keberlangsungan generasi mendatang. Menariknya, masyarakat Kasepuhan Gelar Alam menolak menjual beras atau menggunakan mesin modern untuk menggiling padi. Semua ini dilakukan demi melindungi kemandirian pangan dan keanekaragaman hayati, yang kini terancam oleh homogenisasi sistem pertanian global.
"Padi bagi kami bukan hanya makanan, tapi juga nyawa. Menjual padi sama saja dengan menjual kehidupan sehingga kenapa orang-orang di Kasepuhan itu tidak pernah menjual sumber dayanya yang memang habis untuk rumah tangga begitu. Nah itu yang uniknya misalnya kalau kita melihat dari sisi pertaniannya di Kesepuhan," kata Dalang Dede.
ADVERTISEMENT
Kalimat di atas menggambarkan betapa pentingnya padi bagi masyarakat Kasepuhan Gelar Alam. Bagi mereka, padi bukan sekadar hasil tani, melainkan warisan budaya, simbol ketahanan, dan sumber kehidupan. Sistem penyimpanan padi yang ketat ini memastikan bahwa masyarakat kasepuhan Gelar Alam dapat bertahan bahkan dalam kondisi krisis. Dengan kata lain, padi adalah bentuk kekayaan yang tidak bisa diukur dengan uang semata.
Menurut Dalang Dede, sistem penyimpanan padi yang ketat ini memastikan kemandirian pangan yang luar biasa. Ia menuturkan bahwa pada tahun 2017, Abah Ugi memprediksi hasil panen di tahun tersebut bisa mencukupi kebutuhan beras hingga 75 tahun mendatang.
"Abah prediksi dulu tahun 2017 itu masyarakat Abah masih bisa makan selama 75 tahun dan Tidak bertani. 75 tahun kita tidak bertani masih bisa keluarga makan. Keluarga kesepuhan dengan sekian ratus ribu lumbung padi yang ada di masyarakat," jelas Dalang Dede.
ADVERTISEMENT
Perhitungan ini bukan sekadar klaim tanpa dasar, tetapi merupakan hasil dari tradisi panjang dalam mengelola hasil bumi dengan penuh kehati-hatian. Tidak ada istilah pemborosan dalam sistem agraris Kasepuhan Gelar Alam; setiap bulir padi dihargai dan diperlakukan dengan penuh penghormatan.
Hal ini membuktikan bahwa sistem agraris di Kasepuhan Gelar Alam telah dirancang untuk keberlanjutan jangka panjang. Di tengah gempuran modernisasi dan tekanan ekonomi yang sering memaksa masyarakat desa untuk menjual hasil panennya demi keuntungan jangka pendek, masyarakat Kasepuhan Gelar Alam tetap teguh mempertahankan sistem agraris.
Ketahanan pangan bukan hanya menjadi tujuan, tetapi juga menjadi bagian dari identitas dan kedaulatan mereka. Prinsip ini menjadi tameng utama dalam menghadapi berbagai ancaman terhadap kemandirian pangan, termasuk ancaman dari sistem pertanian modern yang sering kali lebih mengutamakan produktivitas tanpa mempertimbangkan keberlanjutan.
ADVERTISEMENT
Sikap masyarakat Kasepuhan Gelar Alam dalam mempertahankan ketahanan pangan patut menjadi contoh bagi banyak komunitas agraris lainnya. Di saat banyak masyarakat pedesaan mulai bergantung pada sistem pertanian modern yang rapuh terhadap perubahan iklim dan krisis ekonomi, Kasepuhan Gelar Alam justru telah memiliki strategi bertahan yang terbukti efektif selama berabad-abad. Filosofi "menjual padi, menjual nyawa" bukan sekadar metafora, tetapi cerminan nyata dari bagaimana menjaga kehidupan dan warisan leluhur dengan penuh tanggung jawab.
Leuit atau lumbung padi masyarakat adat Kasepuhan Gelar Alam. Senin, (27/1/2025). Foto: dokpri/Yandi Mooduto
Teknologi dan Tradisi
Di tengah perkembangan zaman yang pesat, di mana modernisasi sering kali menjadi lawan dari tradisi, Kasepuhan Gelar Alam muncul sebagai anomali yang indah. Tidak jarang, banyak komunitas adat di berbagai belahan dunia mulai kehilangan identitas akibat derasnya arus perubahan. Namun, masyarakat di Kasepuhan Gelar Alam berhasil membuktikan bahwa adat dan teknologi bukanlah dua kutub yang harus selalu bertentangan. Masyarakat di Kasepuhan Gelar Alam justru memperlihatkan bagaimana keduanya bisa berjalan berdampingan dengan saling melengkapi, dan tidak saling meniadakan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Kasepuhan Gelar Alam dengan bijak memanfaatkan teknologi untuk menunjang kehidupan tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip adat yang telah diwariskan turun-temurun. Salah satu contoh nyata adalah penggunaan jaringan listrik tenaga mikrohidro yang memungkinkan mereka memperoleh akses listrik dengan tetap menjaga keseimbangan alam. Teknologi ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, seperti penerangan dan perangkat elektronik sederhana tanpa merusak alam yang diyakini sebagai bagian dari kepercayaan adat.
Meskipun masih memegang teguh adat masyarakat Kasepuhan Gelar Alam tidak menutup diri terhadap kemajuan teknologi. Masyarakat Kasepuhan Gelar Alam memahami bahwa perubahan adalah sesuatu yang tak terhindarkan dan memilih untuk menyikapinya dengan cara yang bijaksana. Seperti yang sering diungkapkan oleh Dalang Dede, "Ayo kita kejar teknologi, tapi adatnya jangan sampai hilang." Ungkapan ini mencerminkan filosofi hidup yang terus bergerak maju tanpa kehilangan jati diri.
ADVERTISEMENT
Adaptasi terhadap teknologi terlihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat kasepuhan. Mereka menggunakan handphone untuk berkomunikasi, mengakses informasi, dan bahkan memasarkan produk lokal secara daring. Beberapa masyarakat juga telah memanfaatkan internet untuk berjejaring dengan dunia luar, mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan akar budaya yang menjadi identitas masyarakat kasepuhan Gelar Alam.
Sosok Abah Ugi menjadi salah satu contoh nyata dari keseimbangan ini. Sebagai pemimpin adat, ia tetap menjalankan ritual dan nilai-nilai adat dengan penuh penghormatan. Namun, di sisi lain, ia juga tidak segan untuk belajar dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
"Setiap malam, Abah sering mengutak-atik elektronik, seperti membuat sistem wifi atau memperbaiki tv kabel. Itu caranya menyesuaikan diri dengan zaman," kata Dalang Dede.
ADVERTISEMENT
Keberanian masyarakat Kasepuhan Gelar Alam dalam menyelaraskan teknologi dengan adat menjadikan mereka sebagai contoh nyata bahwa tradisi tidak harus selalu menjadi penghalang bagi kemajuan. Sebaliknya, dengan pendekatan yang tepat, tradisi dapat menjadi landasan yang kuat untuk menghadapi masa depan yang terus berubah.
Kasepuhan Gelar Alam telah menunjukkan bahwa ketika teknologi dan tradisi bersinergi, kehidupan bisa berkembang tanpa kehilangan akar budaya yang menjadi warisan berharga bagi generasi selanjutnya.
“Adat budayanya tetap kita pegang dan teknologinya ayo kita kejar. Jadi disitu ada keseimbangan juga. Keseimbangan kita itu antara Laki-laki dan perempuan. Kayak gitu. Itu perimbangan antara teknologi sama adat,” tutur Dalang Dede.
Masyarakat Kasepuhan Gelar Alam adalah bukti hidup bahwa tradisi tidak sekadar warisan yang dipertahankan, tetapi juga tameng yang kokoh dalam menghadapi perubahan zaman. Masyarakat Kasepuhan Gelar Alam menunjukkan kepada kita bahwa adat istiadat bukanlah sesuatu yang membelenggu, melainkan sebuah fondasi yang kuat untuk membangun kehidupan yang lebih seimbang.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan memahami kehidupan masyarakat Kasepuhan Gelar Alam, saya semakin menyadari bahwa Kasepuhan Gelar Alam bukan hanya sekadar simbol masa lalu, tetapi juga cermin bagi masa depan. Di tengah modernisasi yang sering kali mengikis akar budaya, mereka justru menunjukkan bahwa kemajuan dan tradisi tidak harus saling meniadakan. Sebaliknya, keduanya dapat berjalan berdampingan, saling mengisi, dan menciptakan tatanan kehidupan yang lebih berkelanjutan.
Dari Kasepuhan Gelar Alam kita belajar bahwa kehidupan yang selaras dengan alam bukanlah sesuatu yang utopis, tetapi sesuatu yang nyata dan telah diterapkan turun-temurun. Kita diajak untuk merenungi kembali hubungan kita dengan lingkungan, dengan kebudayaan yang kita warisi, serta dengan nilai-nilai yang membentuk identitas kita sebagai manusia.
Akhirnya, perjalanan ini bukan sekadar eksplorasi terhadap satu komunitas adat, tetapi juga refleksi mendalam tentang bagaimana kita sebagai individu dan masyarakat dapat menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kelestarian. Masa depan yang berkelanjutan bukanlah sesuatu yang harus dicari jauh ke depan, melainkan sesuatu yang telah tertanam dalam kearifan lokal—kita hanya perlu belajar dari mereka dan menerapkannya dalam kehidupan kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Sumber:
Humaeni, A., Ulumi, H. F. ., Baehaqi, W., Bahtiar, M. A., Kamaluddin, Firmansyah, A., & Romi. (2018). Budaya Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Sukabumi Jawa Barat. Laboratorium Bantenologi.
Hernandi, A. (2006). Transformasi Bahasa Formal Ke Dalam Bahasa Adat. Jurnal Sosioteknologi, 8(5), 98–104
Kusnaka A. 1992. Kasepuhan Yang Tumbuh di Atas yang Luruh. Bandung : PT. Tarsito
Khomsan A, Riyadi H, Marliyati S.A, Jayanti L.D. 2014. Aspek Sosio-Ekonomi, Pangan dan Gizi Masyrakat Kasepuhan Adat Ciptagelar di Jawa Barat. Buku Ciptagelar. IPB Press, Bogor
Kusdiwanggo, S. (2016). Konsep Pola Spasial Permukiman Di Kasepuhan Ciptagelar. Jurnal Permukiman, 11(1), 43–56
Sukma MA. 2013. Kualitas Konsumsi dan Ketahanan Pangan serta Food Coping Strategy pada Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar. [skripsi] Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. IPB. Bogor.
ADVERTISEMENT
Safitri E.Y, Kosasih D, Hendrayana D. 2024. Rorokan Adat Struktur Kemasyarakatan Tradisional Di Kasepuhan Ciptagelar Kabupaten Sukabumi (Kajian Etnografi). Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah. Vol 10 No. 1 (hal.1-12). http://jurnal.upmk.ac.id/index.php/jaladri/
Wulangsih Agung C.R, Anam A.A, Apriyatin N. 2022. Sistem Nilai Masyarakat Adat Kasepuhan Cipta Gelar. NALAR: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Vol 1 No. 1 (hal. 36-45). https://jurnal2.untagsmg.ac.id/index.php/nalar
Wawancara Dalang Dede (orang kepercayaan Abah Ugi dalam bidang Kesenian di Kasepuhan Gelar Alam) 27 Januari 2025.