Konten dari Pengguna

Batas Sejarah Perubahan Surau di Sumatera Barat

Yandri Rama Putra
Alumni Peperangan Asimetris Universitas Pertahanan Guru PPKN SMP di Bandung
4 Agustus 2021 21:28 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yandri Rama Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam wawasan kita menyoal sejarah eksistensi Minangkabau, Surau merupakan entitas yang tak terlepas dari kehidupan sosial masyarakat. Kaitan erat surau dan masyarakat Sumatera Barat itu tergambar dalam slogan ‘Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah’. Surau menjadi sesuatu yang melekat dalam sejarah sejak masuknya Islam dan menjadi bagian lembaga keagamaan dan pendidikan yang bersanding bersama adat. Kalau ditelusuri, surau memiliki batas sejarah, di mana terdapat dinamika dan momentum yang mengantarkannya kepada dimensi baru bagi lingkungan sosial, adat, dan surau itu sendiri.
ADVERTISEMENT

1. Surau dan Perang Padri

Perang Paderi bermula dari konflik internal kaum adat dan kaum agama kemudian mendapat intervensi Belanda pada 1821, menginginkan pemurnian agama dan menyingkirkan praktik menyimpang dari keseharian masyarakat. Perang yang berakhir pada tahun 1837, menurut Azyumardi Azra dalam Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Moderasi, tidak berhasil mengubah struktur sosial, kultural, dan politik di Minangkabau. Tetapi secara ideologis, adat Minangkabau diadaptasikan pada landasan fundamental baru.
Sejarawan Taufik Abdullah dalam pengantar buku Sengketa Tiada Putus Matriakat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau yang ditulis Jeffrey Hadler, menyebutkan Perang Padri merupakan momen perubahan ideologis baru Minangkabau. Pasca Perang Padri ini, konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah resmi menjadi landasan hidup Minangkabau. Prinsip ini dikuatkan dengan syarak mangato adat mamakai (syariat menyatakan dan adat menerapkannya).
ADVERTISEMENT
Dalam realita sosial budaya masyarakat, prinsip ini menjadi landasan yang langgeng hingga sekarang. Bentuk kongkretnya terlihat pada struktur lembaga adat, yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat. Secara fisik, masyarakat memiliki surau sebagai rumah ibadah dan juga sebagai lembaga keagamaan yang berperan dalam seiring sejalannya agama dan adat.
Adaptasi ideologi baru dalam lingkup yang lebih kecil di Nagari, setingkat desa, dicatatkan oleh Christine Dobbin dalam Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau 1784-1847. Bahwa setiap nagari memiliki kerapatan adat nagari, ketika gerakan Padri mencuat, kadi dan imam menjadi bagian dari nagari dalam penerapan syariat Islam. Kedua struktur ini memiliki peran sebagai dewan eksekutif keislaman dan tata laksana ibadah masyarakat. Secara legal formal, setiap nagari memiliki struktur ini.
ADVERTISEMENT

2. Surau dan Pendidikan Modern Kolonial

Batas sejarah kedua dari transformasi surau di Minangkabau terjadi pada saat kuku kolonialisme sudah mencengkram di akhir abad ke-19. Seperti halnya dengan gerakan Padri yang mengusung pembaharuan Islam melalui pemurnian agama, perubahan kedua ini juga berangkat dari kritik terhadap praktik beragama. Pembaharuan ini dipelopori oleh Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang kemudian sejarah mencatatnya sebagai pergerakan Kaum Muda versus Kaum Tua di pantai barat Sumatera.
Pembeda yang menjadi ciri dari pembaharuan ini menurut Azyumardi Azra adalah cara pandang pendidikan Islam terhadap kekinian zaman. Kaum Muda bersifat lebih progresif melihat pendidikan di surau. Mereka memandang pengetahuan agama bukan cuma satu-satunya pendidikan yang harus ditempuh oleh masyarakat Minangkabau. Selain itu, kaum Muda melakukan pendekatan agama dengan nalar. Hal ini menjadi sumber permasalahan oleh Kaum Tua yang di belakangnya adalah ulama-ulama yang memiliki jabatan struktural di lembaga adat.
Tonggak dari pertentangan ini adalah berdirinya lembaga pendidikan yang memadukan pendidikan Islam dan pendidikan modern. Di samping itu, kebijakan politik Etis Belanda mendorong munculnya sekolah-sekolah Belanda yang sekuler dengan corak sekuler. Kemunculan sekolah ini dimanfaatkan oleh kaum Muda yang kemudian mengambil manfaatnya dengan mendirikan madrasah-madrasah yang mengintegrasikan pendidikan agama Islam dan pendidikan modern.
ADVERTISEMENT
Maka kemudian kita mengenal madrasah-madrasah yang didirikan oleh Kaum Muda, seperti Madrasah Diniyah yang didirikan Zainuddin Labai; Diniyah Putri yang didirikan adik Zainuddin, Rahmah El-Yunusiyah; Surau Jembatan Besi berubah menjadi Madrasah Sumatera Thawalib yang dimotori oleh Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul; serta sekolah modern Adabiyah yang juga didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad. Dituliskan Buya Hamka dalam ‘Sedjarah Islam di Sumatera’, Haji Abdullah Ahmad pula yang menjadi penganjur berdirinya Perkumpulan Guru-guru Agama Islam di Padang pada tahun 1921.
Bertransformasinya surau menjadi madrasah merupakan era baru, dimana fundamentalisme agama beriringan dengan ilmu-ilmu modern dengan semangat pembaharuan. Surau dan madrasah-madrasah ini juga menjadi sarana penyebaran ideologi kiri semisal sosialisme dan komunisme untuk melawan kolonialisme. Meskipun begitu, ketika Islam dan ideologi kiri menjadi napas perlawanan, di dalam internal umat Islam Minangkabau sendiri menimbulkan polemik, karena keduanya memiliki landasan filosofis yang bertolak belakang. Dalam sejarah pergerakan nasional, era ini adalah pertarungan melawan kolonialisme dan pertarungan antar ideologi oleh sesama anak bangsa.
ADVERTISEMENT
Alam pemikiran yang semakin terbuka dan kompleks, membawa pergeseran tradisi surau. Dalam tradisi surau, anak laki-laki yang beranjak dewasa sudah tidak ada tempat lagi dirumah. Surau menjadi lingkungan kesehariannya dan mereka yang menuntut ilmu agama di Surau disebut dengan. Dengan eksisnya pendidikan modern yang dipadukan dengan pendidikan agama, surau juga mulai kekurangan urang siak, karena pemuda lebih banyak tertarik bersekolah di sekolah Belanda dan Madrasah yang didirikan oleh Kaum Muda. Babak ini menjadi batas sejarah kedua bagi Minangkabau dan cikal bakal Indonesia.
Lunturnya tradisi surau ini, memang tidak serta merta membuat surau sepi. Tetapi, trend kehidupan di surau tidak lagi seperti sebelum berdirinya madrasah dan sekolah-sekolah dengan kurikulum modern.

3. Revolusi Kemerdekaan

Pada akhirnya, eksistensi surau merupakan romantisme sejarah pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia. Keberadaannya menjadi mengecil, menurut sejarawan Azyumardi Azra, identik hanya sebagai mushala; tempat sholat dan belajar mengaji. Pemudanya beralih menjadi kaum yang terdidik secara modern.
ADVERTISEMENT
Pada era revolusi kemerdekaan, sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan dalam paparan webinar Budaya Merantau dan Pelestarian Adat, Budaya, Bahasa Minang di Rantau dengan tema ‘Surau dan Merantau, Rantau dan Surau (2020)’ menjelaskan, surau tidak lagi memberikan pengalaman hidup. Pemuda lebih sibuk dalam pergolakan revolusi, serta faktor keluarga inti semakin dominan. Surau yang hanya menjadi tempat sholat dan belajar mengaji tidak menyiapkan bekal kehidupan dengan ilmu agama yang rigid.
Dalam Sedjarah Islam di Sumatera (Buya Hamka) disebutkan, surau-surau dan masjid dengan serta merta telah menjadi markas tentara. Waktu berkumpul di masjid seperti sholat jum’at dijadikan sebagai ajang penggalangan dana untuk membeli senjata. Gelora perjuangan digaungkan dari surau untuk mengajak pemuda dan laki-laki dewasa untuk mempertahankan kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Seiring meredanya revolusi dan berdaulat penuhnya Indonesia, pendidikan ditata secara bertingkat. Pendidikan ala surau terpinggirkan dan arus sekolah formal menjadi pilihan utama keluarga inti di Sumatera Barat. Hingga saat ini surau-surau masih berdiri, tetapi batas sejarah modern menjadikan peran dan fungsi surau terbatas. Untuk bangkit lagi dan beradaptasi dengan modernitas memerlukan daya dan upaya yang besar agar slogan ‘babaliak ka surau’ (kembali ke surau) tidak hanya sebatas jargon saja.
Yandri Rama
Peneliti independen bidang sejarah, pertahanan. Berprofesi sebagai wiraswasta