Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kopi Kawa Daun
13 November 2020 21:38 WIB
Tulisan dari Yandri Rama Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejarah Tanam Paksa Di Ranah Minang
ADVERTISEMENT
Sajian minuman kopi memiliki keunikan, mulai dari bahan, pengolahan pasca panen, roasting, hingga penyeduhannya. Semuanya berkutat pada biji dari pohon kopi. Salah satu daerah di Indonesia, ranah Minang (Sumatera Barat) memiliki khazanah yang menarik dari pengolahan hasil kopi. Dari pohon kopi, justru daunnya yang diolah menjadi minuman. Kita mengenalnya dengan sebutan Kawa Daun, atau Aia Kawa. Kawa Daun adalah minuman yang terbuat dari dari daun kopi yang disangrai. Kemudian, daun kopi yang telah disangrai itu disuguhkan dalam tempurung kelapa dengan tatakan yang sudah diolah. Keberadaan Kawa Daun ini memantik ingatan kolektif kita untuk tidak terlepas dari sejarah kolonialisme di Hindia-Belanda yang pernah menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel).
ADVERTISEMENT
Menurut sejarawan Mestika Zed dalam jurnal Dilemma Ekonomi Melayu; Dari Melayu Kopi Daun Hingga Kapitalisme Global (http://ejournal.unp.ac.id/index.php/tingkap/article/view/2 ), budidaya tanaman kopi sudah lebih dulu dilakukan oleh masyarakat di ranah Minang. Hal ini karena faktor perdagangan, dimana terdapat beberapa pelabuhan yang menjadi titik temu pedagang internasional dan salah satu dampaknya adalah dimulainya budidaya kopi. Kopi merupakan salah satu komoditas yang dibutuhkan terutama dibelahan dunia Barat.
Sistem Tanam Paksa Kopi
Demi menutupi kas daerah jajahan yang nyaris bangkrut, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, van den Bosch memberlakukan sistem budidaya tanaman (cultuurstelsel), salah satunya tanaman kopi. Di ranah Minang, budidaya tanaman ini baru dimulai sekitar tahun 1834, pemerintah Hindia Belanda memulai usahanya untuk mendapatkan kopi Minangkabau dengan menggunakan Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) dan konsep ‘harga terlindung’. Karena wilayah Minangkabau belum ditaklukkan seutuhnya, usaha ini gagal pada tahun 1839 (Christine Dobbin dalam Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri; Minangkabau 1784-1847). Sistem ini baru efektif berjalan pada tahun 1847 pasca perang Padri (Zulkarnain. https://www.researchgate.net/publication/330560140_SERBA-SERBI_TANAM_PAKSA )
ADVERTISEMENT
Sebelum pemberlakuan cultuurstelsel, masyarakat Minangkabau sudah terlebih dulu membudidayakan tanaman kopi. Bedanya dengan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda adalah kopi ditanam pada perkebunan hutan dan cenderung tidak mengganti areal hutan menjadi perkebunan kopi. Pada sistem budidaya ini terlihat independensi ekonomi masyarakat. Nanti kita akan melihat bahwa masyarakat Minang enggan berada dibawah sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintah kolonial.
Dari budidaya kopi yang dilakukan, sejarawan Mestika Zed menyebutkan, masyarakat Minangkabau lebih suka mengolah daunnya untuk dijadikan minuman dibandingkan mengolah bijinya yang sekarang kita kenal dengan Kawa Daun. Tetapi pada versi lainnya, daun kopi ini diolah karena masyarakat tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati bijinya sebagai bahan racikan minuman (https://www.minangkini.com/banyak-yang-belum-tahu-ini-sejarah-kawa-daun-dan-manfaatnya-untuk-kesehatan/ ). Apapun versi sejarahnya, dengan adanya budidaya tanaman kopi, mengubah tatanan perekonomian masyarakat Minang yang lebih materialistis.
ADVERTISEMENT
Kegagalan budidaya periode pertama (1834-1839) memaksa pemerintah kolonial mengubah strategi membumikan budidaya tanaman kopi. Mulanya, Gubernur Michiels yang akan menangani langsung, tetapi kemudian diambil alih komisioner pemerintah pusat yang kemudian diserahkan kepada Wakil Residen Dataran Tinggi Padang, C.P.C Steinmetz. Budidaya kopi memasuki era ‘Jawanisasi’ pada tahun 1840. Dimana perkebunan berbentuk distrik dengan memanfaatkan tanah yang tidak terpakai serta kebun kopi diawasi oleh kepala laras atau kepala distrik. Hal ini berbeda dengan sistem budidaya yang sudah dijalankan masyarakat Minang.
Jawanisasi budidaya kopi ini mengalami kegagalan. Pasalnya, dengan adanya sistem petani pedagang dalam ekonomi masyarakat Minang, pemerintah kolonial dan petani tidak mendapatkan keuntungan karena harus menanggung beban pajak daerah. Pada akhirnya, penanganan budidaya kopi ini sepenuhnya berada ditangan gubernur Michiels yang menghapuskan biaya transportasi dan memutus rantai petani pedagang yang menjadi beban biaya perantara.
ADVERTISEMENT
Kejayaan dari sistem yang diterapkan oleh Gubernur Michiels menurun pamornya di tahun 1850an. Dobbin menyebutkan, pada tahun 1856 harga terlindung yang diterapkan sangat timpang. Harga beli di Padang berada dalam kisaran 30 gulden, sedangkan hasil panen petani dibeli dengan harga 7 gulden. Kondisi ini menurunkan minat petani untuk menyetorkan kopinya kepada pemerintah. Inilah yang disebutkan Mestika Zed, petani ranah Minang lebih memilih menjual kopinya langsung ke pantai Timur Sumatera yang terhubung ke bandar di Singapura.
Strategi memotong jalur distribusi kembali menyebabkan gairah perdagangan kopi di ranah Minang redup. Cara baru yang kemudian diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang juga adapatasi seutuhnya dari Jawanisasi adalah wajib tanam dan wajib setor kopi. Kewajiban ini efektif dimulai tahun 1878. Seperti yang sudah disinggung diatas, masyarakat Minang lebih memiliki marwah dan independensi dalam menata perekonomiannya, wajib tanam dan wajib setor tidak dipatuhi. Sistem yang ditawarkan pemerintah kolonial ini tidak menarik bagi petani kopi di dataran Sumatera bagian barat. Walhasil, sistem budidaya yang mewajibkan petani untuk menanam dan menyetor hasil kebun kopinya tidak membawa keuntungan proyek kapitalisasi hasil pertanian di ranah Minang.
ADVERTISEMENT
Akhir Kisah Budidaya Tanaman Kopi
Sistem budidaya tanaman atau yang lebih kita kenal dengan sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan dari ranah Minang pada tahun 1908 (Mestika Zed). Dari pergulatan sistem ini, kita mengenal istilah seperti yang dituliskan sejarawan Mestika Zed dalam tesisnya, Melayu Kopi Daun. Maksud dari istilah ini merupakan bentuk umpatan dan kekesalan pemangku kepentingan sistem tanam paksa ini. Sebuah ungkapan yang memandang sebelah mata kepada masyarakat Minang yang lebih memilih menikmati daun kopi dari pada bijinya, yang mana di Eropa merupakan komoditas berharga.
Pasca dihapuskannya sistem budidaya kopi ini, dijelaskan oleh Dobbin, masyarakat kembali menanam tanaman mereka sendiri berupa: tembakau, tebu , kelapa, dan lain-lain. Selain itu, masyarakat juga kembali menanam pohon Akasia yang juga memiliki pasar yang bagus di Eropa. Hindia-Belanda secara umum dan ranah Minang khususnya, memasuki periode perekonomian yang baru. Ekonomi liberal, dimana pemodal swasta menjadi pemain dalam menggerakkan roda perekonomian.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan budidaya kopi? daerah-daerah darek (darat) seperti Tanah Datar, Agam, Solok serta sebagian daerah rantau seperti Lubuk Sikaping tetap membudidayakan tanaman kopi (http://hdl.handle.net/1887.1/item:1041173 ). Bedanya, perkebunan kopi skala besar di kuasai oleh pengusaha swasta yang berasal dari Belanda dan rakyat juga tetap menanam dengan metode yang sudah lazim mereka terapkan.
Pada awal berjalannya ekonomi liberal ini, selain kopi, tanaman teh menjadi komoditi primadona yang dikembangkan oleh pemodal swasta. Wilayah darek yang sudah disebutkan, dikelola oleh maskapai-maskapai swasta. Dalam perjalanannya, wilayah Lubuk Sikaping distrik Ophir mulai dikembangkan perkebunan kelapa sawit. Hingga saat ini, perkebunan ini menjadi komoditas andalan kabupaten Pasaman Barat. Kopi tidak lagi menjadi komoditas utama di ranah Minang, selain itu daerah lain memiliki kualitas yang lebih baik dan namanya tersohor dipenjuru dunia.
ADVERTISEMENT
Keberadaan kawa daun sebagai olahan tumbuhan kopi, merupakan jejak masa lalu agresifitas sistem tanam paksa yang gagal di ranah Minang. Dengan lestarinya olahan minuman dari daun kopi ini, kita juga bisa memahami kondisi sosial masyarakat beserta perjalanan dinamika masyarakat Minangkabau. Kawa daun juga menjadi khasanah olahan kopi yang unik dan memiliki potensi ekonomi untuk dikembangkan.
***
Yandri Rama
Peminat Kopi dan Sejarah