Konten dari Pengguna

Setengah Hati Mengatur AI

Yaniasih
Peneliti Kajian Sains Kuantitatif dan Kecerdasan Buatan Badan Riset dan Inovasi Nasional
18 Oktober 2024 10:42 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yaniasih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cover Buku Panduan Penggunaan AI yang disusun oleh DIKTI. Sumber: https://dikti.kemdikbud.go.id/epustaka/122191/
zoom-in-whitePerbesar
Cover Buku Panduan Penggunaan AI yang disusun oleh DIKTI. Sumber: https://dikti.kemdikbud.go.id/epustaka/122191/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kehadiran kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) semakin meresap ke berbagai aspek kehidupan kita, termasuk dalam dunia pendidikan tinggi. Teknologi anyar tersebut telah menjadi alat bantu dalam proses pembelajaran, penelitian, dan publikasi akademik. Mahasiswa misalnya, kerap memanfaatkan AI untuk menyelesaikan tugas kuliah. Lalu para dosen juga menggunakannya dalam menyiapkan bahan ajar. Sementara peneliti mengadopsi teknologi ini untuk mempercepat riset mereka. Walaupun belum ada data pasti tentang seberapa luas penggunaannya, berbagai laporan menunjukkan bahwa hampir seluruh civitas academica telah mulai berinteraksi dengan AI dalam kegiatan akademiknya.
ADVERTISEMENT
Dengan meningkatnya penggunaan AI, muncul pertanyaan mendasar mengenai kualitas pendidikan dan etika akademik. Apakah teknologi ini justru meningkatkan atau menurunkan standar lulusan Perguruan Tinggi? Bagaimana kita bisa menjamin integritas ilmiah ketika mesin cerdas diaplikasikan dalam penulisan karya ilmiah? Seberapa besar potensi kecurangan yang mungkin terjadi? Dan apakah sudah saatnya menyusun regulasi yang ketat untuk mengontrol penggunaan AI?
Pada 11 Oktober 2024, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (DIKTI) merilis buku Panduan Penggunaan Generative AI dalam Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Langkah ini disambut dengan antusias, namun juga memunculkan sejumlah kritik dan pertanyaan tentang efektivitasnya dalam menjawab keresahan yang ada. Apakah panduan ini benar-benar bermanfaat, dan dapatkah aturan tersebut diterapkan secara efektif guna menangkal dampak negatif dari penyalahgunaan AI?
ADVERTISEMENT
Lebih Bersifat Teknis
Hasil pengamatan penulis, panduan tersebut mencakup penjelasan teknis mengenai apa itu Generative AI, berbagai produk AI yang tersedia, tantangan dan risiko yang mungkin timbul, serta rekomendasi kebijakan yang bisa diambil oleh masing-masing perguruan tinggi dan dosen. Bagi pembaca yang masih awam tentang kecerdasan buatan, “tuntunan” ini menawarkan informasi yang bermanfaat. Namun, aspek non-teknis dari penggunaan AI tampak kurang mendapat perhatian yang memadai.
Panduan ini cenderung terlalu banyak menyebutkan produk komersial tertentu seperti chatGPT, sehingga terkesan seperti promosi penggunaan AI. Dengan menonjolkan merek atau layanan tertentu, panduan ini bisa dianggap tidak netral. Padahal, yang dibutuhkan adalah panduan yang lebih luas dan menyeluruh mengenai berbagai aplikasi AI yang tersedia, lengkap dengan analisis kritis terhadap dampak penggunaannya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam panduan ini, resiko yang ditimbulkan oleh penggunaan teknologi ini di bidang akademik dianggap tidak terlalu tinggi, dengan catatan adanya transparansi dalam penggunaannya. Namun, apakah benar demikian? Peraturan di berbagai negara justru menganggap penggunaan AI dalam dunia akademik justru sebaliknya. Uni Eropa, misalnya, menyusun regulasi ketat mengenai penggunaan kecerdasan buatan dalam penelitian dan pendidikan untuk melindungi integritas ilmiah dan hak-hak pengguna.
Alat itu memang memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas akademik, tetapi sekaligus membuka celah terjadinya kecurangan. Apakah penjelasan tentang risiko dan etika penggunaan di buku dimaksud sudah cukup? Fakta bahwa sudah banyak terjadi pelanggaran etika dalam dunia akademik di Indonesia bahkan sebelum AI digunakan menunjukkan bahwa keberadaan teknologi ini dapat memperparah masalah. Misalnya, praktik joki tugas, penerbit predator, kartel sitasi, dan plagiarisme sudah marak terjadi. Maka, ketika AI dapat digunakan untuk mempermudah tindakan-tindakan tersebut, risiko kecurangan pun meningkat.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi kebijakan dalam panduan ini pada dasarnya menyerahkan kebijakan penggunaan AI kepada lembaga, dosen, dan mahasiswa, dengan harapan bahwa mereka akan bijak dan etis dalam menggunakannya. Namun, ini bisa menjadi langkah yang berisiko. Jika integritas akademik di perguruan tinggi masih lemah, memberikan kebebasan penggunaan “otak mesin” tanpa regulasi yang kuat berpotensi menciptakan masalah baru. Kepercayaan bahwa semua perguruan tinggi, dosen, dan mahasiswa di Indonesia yang sangat beragam kondisi dan kualitasnya, akan otomatis bersikap etis setelah memahami dampak negatif AI mungkin terlalu optimistis.
Perlu Penyempurnaan
Penguatan regulasi dan pedoman etika menjadi penting, tidak hanya sebatas memberikan kebebasan bagi dosen dan mahasiswa untuk membuat keputusan mereka sendiri. DIKTI perlu memiliki kebijakan yang jelas dan ketat mengenai penggunaan AI untuk menjaga integritas akademik dan mengurangi risiko penyalahgunaan teknologi. Panduan yang ada saat ini seolah-olah hanya memberikan pesan moral, bahwa kita sebagai manusia harus lebih bijak dalam menggunakan teknologi. Namun, tidak ada penjelasan rinci mengenai bagaimana kebijakan tersebut bisa dijalankan secara efektif di lapangan.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, masalah yang lebih mendasar terletak pada pembangunan integritas akademik di kalangan mahasiswa, dosen, dan peneliti. AI hanyalah alat; cara penggunaannya tergantung pada manusia yang memanfaatkannya. Membangun kesadaran dan tanggung jawab moral dalam penggunaan AI perlu menjadi agenda utama pendidikan tinggi. Selain mengatur teknologi, kita juga perlu mengembangkan sistem yang dapat mencegah dan mendeteksi pelanggaran etika akademik secara efektif.
DIKTI dan Perguruan Tinggi perlu kreatif mengembangkan program dan kegiatan yang membahas etika dalam penggunaan AI, serta memperkenalkan mekanisme untuk mengevaluasi dan mengontrol penggunaan teknologi ini. Pembentukan kebijakan yang ketat dan terukur, didukung oleh pengawasan yang konsisten, akan menjadi langkah penting dalam memastikan AI dapat memberikan manfaat tanpa mengorbankan nilai-nilai akademik yang seharusnya dijunjung tinggi.
ADVERTISEMENT
Panduan penggunaan AI yang diterbitkan oleh DIKTI merupakan langkah awal yang penting dalam merespons perkembangan teknologi di bidang akademik. Namun, terbitan ini masih memiliki kelemahan, terutama dalam aspek kebijakan non-teknis dan integritas akademik. Keterlibatan para ahli dalam penyusunan regulasi, kebijakan yang lebih jelas dan tegas, serta upaya sistematis dalam membangun budaya akademik yang berintegritas harus menjadi perhatian utama ke depan. AI adalah alat yang sangat kuat dan potensial, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa integritas akademik adalah fondasi yang harus dijaga dengan sangat serius.