Mengatasi Kecemasan Anak Saat di Sekolah dengan Kedekatan Antar Teman Sebaya

Yani Nuraeni
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Earlychilhood Education
Konten dari Pengguna
27 November 2023 14:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yani Nuraeni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak menangis saat pembelajaran di Kelas ( Sumber: ilustrasi oleh Yani Nuraeni)
zoom-in-whitePerbesar
Anak menangis saat pembelajaran di Kelas ( Sumber: ilustrasi oleh Yani Nuraeni)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahukah bunda apakah sifat egosentris pada anak itu wajar? Ya, betul sekali, pada usia dini egosentris itu sifat mendasar anak. Tahap dimana ia masih mementingkan diri sendiri. Namun masih banyak orang dewasa menganggap egosentris merupakan perilaku negatif. Disaat anak mempertahankan keinginannya hakikatnya ia sedang membentuk kepribadian di masa dewasa yang mampu menghargai diri sendiri dan orang lain untuk tidak bersikap egois. Untuk itu, peran orang dewasa sangat penting dalam mengenali emosi pada anak seyogianya mampu bersikap selektif dalam melakukan tindakan merespon perilaku anak. Mirisnya sampai sampai ada orang tua mengajarkan bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis dalam hal mempertahankan keegosentrisannya. Padahal menangis adalah bentuk ekspresi manusia yang mendasar dan universal diwujudkan sejak lahir dan sepanjang hidup (Cekaite & Burdelski, 2021). Untuk itu, bunda jangan menganggap hal aneh lagi ya, jika si kecil berperilaku egosentris.
ADVERTISEMENT
Masihkah bunda sulit menghadapi anak yang seringkali menangis pada saat berangkat sekolah? apalagi anak menangis pada saat empat minggu pertama adaptasi di sekolah. Ataukah si kecil masih menangis walaupun sudah melewati satu bulan adaptasi di Sekolah?. Untuk itu, terlebih dahulu perlu diketahui penyebab anak menangis, apakah ia menghadapi kesulitan belajar atau karena tidak mau ditinggal saat akan bersekolah. Namun tidak sedikit Anak enggan ditinggal oleh figur terdekatnya, bahkan ditemui di beberapa sekolah orang tua terpaksa menunggu sampai akhir pembelajaran. Menurut penelitian yang dilakukan di Sydney Australia oleh Momartin, Manicavasagar, Silove, Rapee dan Waters dalam (Ambari dkk., 2020) mengungkapkan bahwa 63% anak usia dini mengalami kecemasan berpisah. Oleh sebab itu, penyebab anak menangis pada saat ditinggal oleh orang tua atau orang terdekatnya karena mengalami kecemasan. Fenomena serupa terjadi pada Arrasya Bachtiar dikutip dari akun instagram milik ibunya @tasyakamila, bahwasannya ia selalu menangis pada saat sekolah di usianya 4 tahun sehingga ia pindah kembali bersekolah di Indonesia. Namun bunda tidak usah khawatir, bunda bisa mengatasi kecemasan berpisah, salah satunya dengan kedekatan teman sebaya.
ADVERTISEMENT
Pengertian kecemasan itu sendiri secara umum adalah kondisi dimana anak merasa takut yang terjadi secara terus menerus dan sulit dikendalikan (Puspitasari & Wati, 2018). Dijelaskan kembali oleh Adock dalam (Ambari dkk., 2020) bahwasannya kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam dan merupakan hal yang normal terjadi saat terjadi perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup. jadi dapat ditarik kesimpulan, kecemasan adalah reaksi emosi wajar yang disebabkan oleh ketakutan pada hal yang belum terjadi dan dianggap mengancam. Adapun beberapa contoh anak mengalami gangguan kecemasan adalah fobia sosial, fobia sekolah dan kecemasan berpisah dengan figur terdekat. Figur terdekat ini merupakan sosok yang sangat membuat anak nyaman jika berada di dekat mereka, yang merupakan sentuhan antara anak dan orang terdekat menimbulkan reaksi bagi tubuh yaitu terlepasnya hormon endorfin yang menghasilkan perasaan senang.
Perilaku tolong menolong antar teman ( sumber : ilustrasi oleh Yani Nuraeni)
Tahukah bunda, Kecemasan masih dikategorikan wajar, namun berpotensi tidak wajar. Untuk itu bunda perlu waspada dan dibutuhkan perhatian khusus jika permasalahan muncul ketika kecemasan yang dialami anak masih terjadi setelah melewati masa adaptasi yaitu empat minggu pertama pembelajaran di kelas (Puspitasari & Wati, 2018; Ambari dkk., 2020). karena faktanya kecemasan berpisah yang berlangsung secara terus-menerus maka dapat berkembang menjadi suatu gangguan, contohnya isolasi sosial, kesedihan, kesulitan berkonsentrasi, takut pada binatang dan kegelapan(Ambari et al., 2020). Sangat disayangkan ya bunda, jika kecemasan anak diabaikan? yuk mulai mengenali stimulasi yang dapat membantu mengendalikan kecemasan si kecil.
ADVERTISEMENT
Mengatasi kecemasan pada anak harus ditangani sesegera mungkin agar tidak berdampak negatif. Dampak negatif yang muncul jika kecemasan diabaikan diantaranya adalah kecemasan berpisah. Menurut Ambari dkk (2020) kecemasan yang tidak segera ditangani akan beresiko panic disorder atau agoraphobia pada saat dewasa, membuat anak menolak untuk terlibat dalam pembelajaran di dalam kelas sehingga mempengaruhi pendidikan dan kemandirian anak, memiliki gejala distress separation-related, dan menghindar untuk tidur terpisah dengan pengasuh atau orangtua di Rumah. Ditambahkan oleh pernyataan Puspitasari & Wati (2018) bahkan anak dengan gangguan kecemasan tidak mau terlibat dalam kegiatan pembelajaran atau bahkan tidak mau berangkat ke Sekolah karena takut berpisah dengan orangtua. Dapat disimpulkan, gangguan kecemasan berdampak pada waktu dekat dan masa depan anak. Untuk itu, dalam mencegah terjadi dampak negatif yang tidak diinginkan, perlu adanya peran teman sebaya dalam membantu anak mengurangi rasa cemas. berikut adalah kiat dalam mengurangi rasa cemas anak saat berada di Sekolah.
ADVERTISEMENT
Bebaskan Anak Bermain Bersama Untuk membentuk Sikap Prososial
Anak bermain bersama saling berinteraksi (Sumber: Ilustrator oleh Yani Nuraeni/ writer)
Anak yang menghabiskan waktu lebih lama bersama anak lainnya berpotensi menjadi teman, karena bermain bersama merupakan inti dari awal persahabatan(Afshordi & Liberman, 2021;Friedrich & Schmidt, 2022). Awal mula bermain bersama, anak akan tumbuh rasa kasih sayang satu sama lain sehingga timbul rasa aman dan nyaman. fakta menunjukan, bahwasannya 2/3 dari anak usia 4 dan 5 tahun memiliki rasa mencintai dan peduli sesama(Afshordi & Liberman, 2021). Dikuatkan oleh pernyataan Grueneisen & Warneken (2022) bahwasannya anak usia prasekolah lebih prososial terhadap orang orang didekatnya. Jika kasih sayang dan peduli sudah muncul pada diri anak, akan mendorong mereka saling berbagi mainan satu sama lain. Sehingga peran teman akan menjadi sosok yang menarik perhatian anak untuk semangat masuk sekolah dan sosok yang dirindukan untuk bermain bersama di sekolah.
ADVERTISEMENT
Anak anak bertindak prososial sejak tahun tahun pertama, dan temuan baru menunjukan sekitar usia 5 tahun(Grueneisen & Warneken, 2022). Berkaitan dengan anak yang sudah dekat satu sama lain akan mudah melakukan berbagai kegiatan prososial seperti membantu orang lain mengambil mainan yang sulit dijangkau, menghibur orang lain yang kesusahan, berbagi mainan dan makanan kepada orang lain. Selain faktor kedekatan juga, anak usia dini seiring bertambahnya usia berkembang pula pada aspek sosial emosional. Sehingga anak akan bersikap spontan, tanpa adanya ikatan pertemanan sekalipun dapat melakukan sikap prososial. Ini didasarkan pada hasil penelitian bahwasannya anak usia tiga sampai empat tahun dapat berbagi dengan 1/8 miliknya, anak usia 5-6 tahun berbagi dengan ¼ miliknya dan anak usia 7 sampai 8 tahun berbagi dengan ½ miliknya(Friedrich & Schmidt, 2022). Jadi secara spontan jika anak melihat teman lainnya menangis ia akan menghiburnya dan mengajak bermain bersama.
ADVERTISEMENT
Bunda dan pendidik anak usia dini jika si kecil mengalami hal serupa, yakni anak dengan kecemasan bersekolah, bahwasannya penting untuk perhatian lebih dalam penanganan awal untuk mengidentifikasi permasalahan yang terjadi. Ada beberapa kiat untuk anak merasa nyaman dan aman saat berada di Sekolah yaitu biarkan anak menghabiskan waktu bersama dengan temannya. Dengan demikian anak dapat menjalin kedekatan pertemanan dan meningkatkan perilaku prososial satu sama lain.
REFERENSI
Afshordi, N., & Liberman, Z. (2021). Keeping friends in mind: Development of friendship concepts in early childhood. Social Development, 30(2), 331–342. https://doi.org/https://doi.org/10.1111/sode.12493
Ambari, P. K. M., Panjaitan, L. N., & Kartika, A. (2020). Penanganan Guru PAUD Terhadap Kecemasan Berpisah Pada Anak di Sekolah. Insight : Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi, 16(1), 124. https://doi.org/10.32528/ins.v16i1.3209
ADVERTISEMENT
Cekaite, A., & Burdelski, M. (2021). Crying and crying responses: A comparative exploration of pragmatic socialization in a Swedish and Japanese preschool. Journal of Pragmatics, 178, 329–348. https://doi.org/10.1016/j.pragma.2021.03.012
Friedrich, J. P., & Schmidt, M. F. H. (2022). Preschoolers agree to and enforce prosocial, but not selfish, sharing norms. Journal of Experimental Child Psychology, 214(xxxx). https://doi.org/10.1016/j.jecp.2021.105303
Grueneisen, S., & Warneken, F. (2022). The development of prosocial behavior : From sympathy to strategy. Current Opinion Psychology, 43(2), 323–328. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.copsyc.2021.08.005
Puspitasari, I., & Wati, D. E. (2018). Strategi Parent-School Partnership : Upaya Preventif Separation Anxiety Disorder Pada Anak Usia Dini. Yaa Bunayya, 2(1), 49–60. https://doi.org/https://doi.org/10.24853/yby.2.1.49-60