Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Amunisi Capres Mengatasi Kemiskinan dan Ketimpangan
25 November 2023 11:59 WIB
Tulisan dari Yanu Endar Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasca Pandemi COVID-19, angka kemiskinan di Indonesia terus mengalami penurunan. Namun, situasinya belumlah sebaik pra-Pandemi. BPS mencatat , jumlah penduduk miskin di Indonesia turun 0,21 persen atau dari 9,54 (Maret 2022) menjadi 9,36 persen (Maret 2023). Meski angka kemiskinan menurun, ketimpangan yang dicerminkan oleh rasio gini, justru stagnan (di pedesaan ) dan cenderung meningkat (di perkotaan ). Selain dua persoalan ini, Pemerintah juga masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam mengatasi kemiskinan ekstrem, stunting, dan pencapaian target SDGs 2030 yang tinggal tujuh tahun lagi.
ADVERTISEMENT
Kira-kira, apa saja senjata dan amunisi yang sedang disiapkan oleh para Capres dan tim pemenangannya untuk mengatasi persoalan mendasar di atas?
Visi Misi Capres
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu menengok dan membedah dokumen Visi Misi masing-masing Capres. Salah satu metode yang bisa digunakan adalah analisis teks dan wacana. Hasil analisis yang dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa ketiga Capres menawarkan solusi dan pendekatan yang cukup beragam serta berbeda dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia.
Pasangan AMIN (Anies-Muhaimin), menyebut kata kemiskinan hingga 30 kali dalam dokumen Visi-Misi, Prabowo-Gibran hanya menyebut sebanyak 17 kali dan Ganjar-Mahfud paling sedikit, hanya 12 kali. AMIN menyebut kata ketimpangan 17 kali, Prabowo-Gibran 2 kali dan Ganjar-Mahfud hanya 1 kali. Dari sisi frekuensi kata, dimana ini menunjukkan fokus serta prioritas program Capres, pasangan AMIN lebih unggul dibanding dua pasang lainnya dalam menekankan pentingnya isu kemiskinan dan ketimpangan.
AMIN secara umum memberikan penekanan terhadap bidang kesehatan, ekonomi, pendidikan dan desa dengan bobot yang merata dalam Visi Misinya. Lebih spesifik, pasangan ini bertekad menurunkan tingkat kemiskinan dari 9,36% (Maret, 2023) menjadi 4,0%-5,0% (2029) dan kemiskinan ekstrem ~0% (2026) serta jargon khusus “satu Indonesia, satu kemakmuran”.
Untuk mencapai itu, ada beberapa program yang menjadi senjata andalan AMIN, antara lain menciptakan lapangan kerja dan upah berkeadilan, mendukung korporasi Indonesia, “Jas Merah Putih” (jaringan pasar penyedia kebutuhan pokok murah), APBN pro kemiskinan dan reformasi birokrasi tematik. Dalam hal data dan administrasi, AMIN menawarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang saat ini dibangun Kemensos dan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang digawangi BPS, menjadi basis data tunggal layanan publik di Indonesia.
Berbeda dengan AMIN yang menawarkan menu beragam, Prabowo-Gibran nampak lebih nyaman dengan melanjutkan program-program Perlindungan Sosial yang sudah dijalankan oleh Pemerintahan Joko Widodo. Tercermin dari Visi Misi Prabowo-Gibran secara keseluruhan nampak memberikan porsi sangat besar terhadap program-program pembangunan ekonomi.
Senjata andalan Prabowo-Gibran adalah dengan melanjutkan dan menambahkan program kartu-kartu kesejahteraan sosial serta kartu usaha. Pidato pertama Gibran (25/11) di depan Publik sebagai Cawapres juga memperkuat hal ini. Ia menunjukkan beberapa kartu Bansos (KIS Lansia & Kartu Anak) yang tak lain adalah perubahan nama atau pengembangan dari program yang sudah ada saat ini. Prabowo-Gibran memiliki Jargon “membangun dari Desa dan dari bawah” serta menjanjikan pemerataan ekonomi hingga penggunaan Basis Data Terpadu (BDT). Tidak dijelaskan apakah BDT ini bentuk yang sama dengan DTKS, atau berbeda sama sekali. Targetnya, kemiskinan ekstrem menuju 0% dan ketimpangan berkurang serta kemiskinan relatif di bawah 6% pada akhir 2029.
Tawaran dari pasangan Ganjar-Mahfud untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan adalah dengan lebih mendorong akses pendidikan dan kelembagaan. Jargonnya adalah “1 keluarga miskin, 1 sarjana”. Nampaknya pasangan ini percaya bahwa pendidikan adalah senjata ampuh mengatasi kemiskinan dan ketimpangan. Optimalisasi dana non APBN, konvergensi program Pusat dan Daerah, redistribusi sumber daya, hingga dukungan khusus bagi Papua menjadi pendekatan institusional yang dijanjikan.
ADVERTISEMENT
Pendekatan melalui jalan semacam ini tentu membutuhkan upaya yang tidak ringan dan panjang, sebab melibatkan berbagai lembaga dan kepentingan yang kompleks, baik di Pusat maupun Daerah. Ganjar-Mahfud juga berjanji menjadikan NIK sebagai identitas tunggal untuk Perlinsos dan layanan pemerintah lainnya. Dengan berbagai amunisi di atas, kemiskinan ekstrem nol persen dan kemiskinan hingga 2,5% pada tahun 2029 menjadi target Ganjar-Mahfud.
Mana Janji yang paling realistis?
Tentu pemilih akan menilai setiap janji Capres di atas sesuai dengan kedekatan isu dan pertimbangan rasional maupun emosional lainnya. Bagi masyarakat yang sudah yakin dengan pilihannya, tentu visi misi dan program tidak lagi berpengaruh. Akan tetapi, bagi pemilih yang masih ragu atau bahkan belum menentukan pilihannya, janji Capres mungkin bisa menjadi salah satu pertimbangan.
ADVERTISEMENT
Setidaknya ada tiga hal yang bisa diperhitungkan oleh calon pemilih. Pertama, apakah janji dan program Calon cukup realistis? Artinya, ia dapat diimplementasikan dan tidak menimbulkan masalah baru di lapangan. Kedua, apakah anggaran yang diperlukan untuk membiayai program tersebut tersedia atau bisa dipenuhi? Mungkin pertanyaan ini agak sulit dijawab, tetapi publik bisa membandingkan dengan anggaran program-program yang selama ini berjalan. Sebab, pengalaman dan pengamatan publik di akar rumput bisa menjadi referensi yang valid.
Ketiga, apakah skema atau program yang ditawarkan bisa berkelanjutan & memiliki efek jangka panjang, atau hanya sesaat dan temporer? Sesuai dengan amanat konstitusi dan para pendiri bangsa, semestinya pengentasan kemiskinan dan ketimpangan yang dilakukan di Indonesia tetaplah berada dalam platform Negara Kesejahteraan (welfare state) . Dimana ciri dari negara kesejahteraan adalah kuatnya sistem perlindungan sosial (jaminan sosial, bantuan sosial & intervensi pasar tenaga kerja).
ADVERTISEMENT
Program yang hanya gonta ganti nama, dengan substansi yang sama dan tanpa perluasan cakupan, tentu tidak akan memperkuat sistem perlindungan sosial. Apalagi yang tidak memperhatikan aspek integrasi data kependudukan, sebagai basis kebijakan. Demikian pula ketimpangan pendapatan yang tidak diintervensi dengan program transfer pendapatan secara langsung ke kelas menengah-bawah, juga tidak akan bermakna pada upaya penurunan ketimpangan.
Pengarusutamaan gender yang tidak dikawal dengan baik, hingga obsesi pada pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan konsekuensi pada lingkungan dan dampak sosial, justru akan menjauhkan dari agenda zero poverty yang ditargetkan. Dengan pertimbangan di atas, kita akan menemukan mana Capres yang benar-benar ingin menuntaskan problem kemiskinan dan ketimpangan, serta mana yang enggan membicarakan persoalan ini dan menganggap seolah semua baik-baik saja, padahal tidak*
ADVERTISEMENT
===
Laporan lengkap dapat diunduh di sini