Mengapa Praktik Perdagangan Manusia Sulit Diberantas?

Yanu Endar Prasetyo
Peneliti. Pusat Riset Kependudukan BRIN
Konten dari Pengguna
20 Juni 2024 17:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yanu Endar Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perdagangan manusia. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perdagangan manusia. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perdagangan manusia merupakan salah satu kejahatan yang paling krusial dan menjadi perhatian dunia internasional. Dalam Laporan “2022 Trafficking in Person Report” menunjukkan ada 90.354 orang korban perdagangan manusia yang teridentifikasi secara global pada tahun 2021. Satuan Tugas (Satgas) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Indonesia sendiri menerima 757 laporan selama periode 5 Juni - 14 Agustus 2023. Dari ratusan laporan itu, polisi menangkap dan menetapkan sebanyak 901 orang sebagai tersangka kasus perdagangan orang.
ADVERTISEMENT
Indonesia sendiri tidak hanya menjadi negara pengirim korban, tetapi juga menjadi negara tujuan dalam kasus perdagangan manusia. Sebagai negara pengirim, Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbesar pekerja migran di kawasan Asia. Sayangnya, banyak dari mereka yang dikirim secara tidak resmi dan terjerumus dalam praktik perdagangan manusia. Kurangnya pengawasan dan perlindungan bagi calon pekerja migran membuat mereka rentan menjadi korban eksploitasi dan perlakuan buruk di negara tujuan.
Sebagai negara tujuan TPPO, Indonesia juga menjadi sasaran bagi jaringan perdagangan manusia internasional. Banyak kasus yang melibatkan perekrutan, penampungan, dan eksploitasi korban baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing di wilayah Indonesia. Kasus-kasus ini meliputi eksploitasi seksual, tenaga kerja paksa, perbudakan modern, hingga perdagangan organ tubuh manusia. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantasnya, namun praktik perdagangan manusia masih terus terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang membuat TPPO menjadi praktik yang sulit untuk diberantas.
ADVERTISEMENT
Pertama, modus operandi pelaku terus berkembang dan beradaptasi dengan situasi. Pelaku perdagangan manusia senantiasa mencari cara-cara baru untuk mengelabui korbannya, memanfaatkan kerentanan mereka, dan menghindari tindakan penegak hukum. Salah satu contoh cara yang digunakan adalah dengan memanfaatkan media sosial untuk memikat calon korban, serta memberikan iming-iming berupa gaji yang menggiurkan. Hingga Mei 2023, Kemenlu RI menangani 2.438 kasus WNI terjebak online scamming yang setengahnya ditangani di Kamboja. Sisanya, di Myanmar sebanyak 205 WNI, Filipina (469), Laos (276), Thailand (187), Vietnam (34), Malaysia (30), Uni Emirat Arab (4).
Kedua, faktor geografis juga menjadi salah satu penyebab sulitnya memberantas perdagangan manusia. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah perbatasan baik darat maupun laut dengan negara tetangga. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk mempermudah aktivitas perdagangan manusia, terutama dalam hal penyelundupan dan penyeberangan korban ke negara lain secara ilegal. Ditambah, praktik TPPO ini juga terindikasi melibatkan jaringan sindikat yang sudah terorganisir dengan baik.
ADVERTISEMENT
Ketiga, faktor desakan ekonomi menjadi salah satu pendorong terjadinya praktik perdagangan manusia. Kebutuhan ekonomi yang mendesak seringkali mendorong masyarakat untuk terjebak dalam jaringan perdagangan manusia dengan iming-iming penghasilan yang menggiurkan. Bahkan, dalam beberapa kasus, korban justru tidak menyadari bahwa mereka telah menjadi korban dari praktik kejahatan tersebut. Banyak korban TPPO di Indonesia justru berasal dari kalangan masyarakat miskin dan kurang mampu.
Keempat, dari sisi penegakan hukum, minimnya alat bukti menjadi salah satu kendala dalam upaya memberantas jaringan perdagangan manusia. Perekrutan korban seringkali dilakukan secara konvensional, seperti melalui tetangga atau kerabat, sehingga minim jejak digital yang bisa dijadikan barang bukti. Selain itu, korban juga seringkali tidak kooperatif dalam memberikan keterangan karena takut, trauma, ataupun karena masih ingin bekerja di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Kelima, faktor sosial-budaya juga menjadi salah satu penyebab mengapa praktik perdagangan manusia masih terus terjadi. Bagi sebagian masyarakat, menjadi pekerja migran di luar negeri dianggap sebagai hal yang biasa dan sebagai korban kejahatan di luar negeri dipandang sebagai "kesialan" atau ketidakberuntungan belaka. Pandangan ini memicu terjadinya praktik perdagangan manusia karena dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Tidak heran jika kemudian banyak korban TPPO di Indonesia juga berasal dari daerah-daerah kantong atau pengirim pekerja migran ke luar negeri.
Keenam, tak kalah penting, adanya keterlibatan oknum dari berbagai lini juga turut menyuburkan praktik perdagangan manusia. Keterlibatan oknum, baik itu aparat penegak hukum maupun pejabat berwenang, menyebabkan upaya pemberantasan menjadi lebih sulit. Apalagi, dengan adanya konflik kepentingan dan potensi untuk menghalangi proses penindakan terhadap pelaku.
ADVERTISEMENT
Kombinasi dan kompleksitas dari berbagai faktor tersebut pada akhirnya menyebabkan upaya pemberantasan jaringan perdagangan manusia menjadi semakin sulit. Mati satu tumbuh seribu. Modus operandi yang semakin canggih, minimnya barang bukti, faktor ekonomi masyarakat, pandangan sosial-budaya, serta keterlibatan oknum menjadi tantangan besar bagi pihak berwenang dalam menindak dan memberantas jaringan perdagangan manusia yang semakin kompleks ini.