Pangan Lokal dalam Kedaulatan dan Ketahanan Pangan

Yanu Endar Prasetyo
Peneliti. Pusat Riset Kependudukan BRIN
Konten dari Pengguna
21 Maret 2024 17:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yanu Endar Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Beras sorgum Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Beras sorgum Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Kedaulatan pangan dan ketahanan pangan merupakan dua konsep yang sering kali dicampuradukkan dalam diskusi mengenai sistem pangan global. Meski sama-sama membahas upaya untuk menjamin akses pangan bagi seluruh masyarakat. Namun, terdapat perbedaan mendasar dalam pendekatan dan cara pandang yang digunakan oleh masing-masing konsep.
ADVERTISEMENT
Konsep ketahanan pangan pertama kali diperkenalkan pada Konferensi Pangan Sedunia tahun 1974. Menurut definisi Food and Agriculture Organization (FAO), ketahanan pangan adalah situasi di mana semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan diet dan preferensi makanan mereka demi kehidupan yang sehat dan produktif.
Konsep ini berfokus pada aspek kuantitas dan kualitas pangan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Negara-negara berupaya mencapai ketahanan pangan melalui peningkatan produksi pangan domestik, impor pangan, serta distribusi yang efisien. Indikator utama ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan yang cukup secara nasional maupun rumah tangga, akses terhadap pangan, serta pemanfaatan pangan yang baik.
Di sisi lain, konsep kedaulatan pangan diperkenalkan oleh organisasi petani kecil dan gerakan masyarakat sipil pada tahun 1996 sebagai tandingan atas konsep ketahanan pangan. Menurut definisi La Via Campesina, kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri serta untuk menentukan sistem pertanian dan pangan mereka sendiri yang sesuai dengan nilai-nilai budaya dan sistem produksi lokal.
ADVERTISEMENT
Konsep ini menekankan pentingnya kemandirian pangan pada tingkat nasional dan lokal, serta penghormatan terhadap sistem produksi pangan tradisional dan berkelanjutan. Kedaulatan pangan menentang ketergantungan pada impor pangan dan mendorong keberlanjutan ekologis dalam sistem pangan. Selain itu, konsep ini juga menekankan hak petani kecil dan masyarakat lokal untuk menentukan kebijakan pangan mereka sendiri sesuai dengan kebutuhan dan budaya setempat.

Posisi Pangan Lokal

Pangan lokal memiliki posisi yang sangat penting dalam konsep kedaulatan pangan. Sebab, konsep ini menekankan hak setiap bangsa dan masyarakat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan menentukan sistem pertanian serta pangan mereka sendiri sesuai nilai-nilai budaya dan sistem produksi lokal.
Kedaulatan pangan mendorong keberlanjutan ekologis dan penghormatan terhadap sistem pangan tradisional yang telah ada selama berabad-abad. Produksi pangan lokal dianggap lebih berkelanjutan secara lingkungan dan memiliki keterkaitan dengan budaya serta tradisi setempat.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, gerakan kedaulatan pangan umumnya menentang kebijakan neoliberal dan praktik kapitalisme yang dianggap mengancam kemandirian pangan masyarakat lokal dan petani kecil. Pangan lokal dilihat sebagai kunci untuk mencapai kemandirian pangan pada tingkat nasional dan lokal. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada impor pangan dari negara lain. Selain itu, pangan lokal juga dianggap lebih terjamin keamanannya karena dihasilkan dari sistem pertanian yang dikelola oleh masyarakat setempat.
Sebagai contoh, masyarakat adat di wilayah Andes, Peru, masih menganut sistem pertanian tradisional yang telah berlangsung selama berabad-abad. Mereka mempraktikkan teknik pertanian yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan setempat dan menggunakan varietas tanaman lokal yang telah beradaptasi dengan baik. Mereka menanam berbagai varietas lokal kentang, quinoa, dan kacang-kacangan. Sistem pertanian mereka selaras dengan prinsip-prinsip kedaulatan pangan, di mana mereka memiliki kemandirian dalam memproduksi pangan sesuai dengan budaya dan nilai-nilai lokal.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, terdapat beberapa kasus praktik kedaulatan pangan oleh masyarakat adat yang dapat dijadikan contoh. Masyarakat Baduy di Banten, misalnya, mereka mempertahankan sistem pertanian tradisional yang disebut "ngahuma" atau berladang dengan menerapkan pola pergiliran lahan.
Mereka menanam berbagai tanaman pangan lokal seperti huma (padi ladang), jagung, ubi, kacang-kacangan, dan sayuran. Mereka menolak penggunaan pupuk kimia dan pestisida serta lebih mengandalkan kearifan lokal dalam pengelolaan lahan dan pengendalian hama.
Sistem pangan masyarakat Baduy didasarkan pada prinsip kemandirian dan keberlanjutan ekologis. Mereka memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan sistem pertanian dan pangan yang sesuai dengan budaya dan kepercayaan mereka.
Contoh lain, Masyarakat Dani di pegunungan tengah Papua juga menerapkan sistem pertanian tradisional yang menjamin kedaulatan pangan mereka. Mereka menanam berbagai tanaman pangan lokal seperti umbir hutan (talas), ubi jalar, pisang, dan sayuran tradisional.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Arfak yanng masih mempraktikkan perladangan berpindah. Mereka membuka lahan dengan cara membakar hutan secara terkendali, kemudian menanam tanaman pangan selama beberapa tahun sebelum berpindah ke lahan baru.
Mereka mengandalkan hasil hutan seperti umbi-umbian, buah-buahan, hasil pekarangan, dan hasil buruan sebagai sumber pangan serta beberapa tanaman hutan lain untuk sumber obat-obatan tradisional. Sistem pangan mereka sangat terkait dengan lingkungan alam sekitar dan pengetahuan tradisional yang diwariskan secara turun-temurun.
Selain itu, Kedaulatan pangan di Boti, NTT, juga terlihat nyata. Secara turun-temurun, masyarakat adat Boti sebenarnya mandiri pangan, termasuk minyak goreng, yang mereka buat sendiri dari kelapa. Selain padi ladang, mereka juga menanam pena (jagung), pen mina (sorgum), sain (jewawut), pisang, dan beragam umbi-umbian. Sumber pangan lokal ini ditanam di hutan ulayat mereka serta di pekarangan sekitar rumah.
ADVERTISEMENT
Beberapa contoh contoh di atas menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia telah menerapkan prinsip-prinsip kedaulatan pangan melalui sistem pertanian tradisional yang berkelanjutan, berbasis pada pengetahuan lokal, dan mempertahankan kemandirian dalam memproduksi pangan sesuai dengan budaya dan lingkungan setempat.
Sementara itu, konsep ketahanan pangan tidak secara khusus menekankan pentingnya pangan lokal. Dengan kata lain, pangan lokal bukanlah prioritas utama. Fokus utama ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang cukup secara kuantitas dan kualitas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik itu dari produksi domestik maupun impor.
Indonesia misalnya, sejak 2012 hingga 2022, telah menghabiskan US$84,8 miliar atau setara Rp. 1,272 triliun untuk hanya berbelanja enam dari sembilan barang kebutuhan pokok/sembako-beras, susu, bawang, garam, daging dan gula dari pasar internasional.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya beras yang impor, ada bahan pokok lain seperti gula pasir, minyak goreng dan mentega, daging sapi dan ayam, telur ayam, susu, bawang merah, bawang putih, ikan dan garam beryodium yang juga diimpor dari luar negeri karena produksi pertanian dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi makanan. Kerentanan dan ketergantungan pangan Indonesia juga tampak pada besaran impor empat komoditas utama seperti beras, gandum, jagung dan kedelai.
Ketahanan pangan lebih fokus pada aspek ketersediaan dan akses pangan secara kuantitas tanpa terlalu menekankan aspek produksi atau sistem yang digunakan. Organisasi-organisasi seperti FAO dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak secara eksplisit mengkritik atau mendukung kapitalisme dalam upaya mencapai ketahanan pangan global. Mereka cenderung mengambil pendekatan yang lebih pragmatis dan mengakui bahwa berbagai sistem ekonomi, termasuk kapitalisme, dapat berkontribusi dalam mencapai ketahanan pangan.
ADVERTISEMENT
Namun, hal ini tidak berarti bahwa pangan lokal diabaikan sama sekali. Dalam praktiknya, banyak negara yang menggabungkan upaya untuk meningkatkan produksi pangan lokal sekaligus terlibat dalam perdagangan pangan global untuk memenuhi kekurangan pangan yang tidak dapat dipenuhi secara domestik. Mereka mengizinkan kehadiran korporasi agribisnis sekaligus mendukung petani kecil melalui subsidi, penyuluhan, dan program lainnya.
Meskipun demikian, beberapa kritik terhadap kapitalisme dalam konteks ketahanan pangan justru makin kencang, seperti soal monopoli korporasi besar dalam sektor pangan, eksploitasi buruh pertanian, dan dampak lingkungan dari praktik pertanian industri. Selain itu, paten pada benih dan teknologi pertanian oleh perusahaan besar juga telah membatasi akses petani terhadap sumber daya hayati.
Perdagangan pangan global yang didominasi oleh korporasi multinasional menciptakan ketergantungan dan mengancam kedaulatan pangan negara-negara berkembang. Lebih jauh, sistem pertanian kapitalis cenderung menyingkirkan praktik pertanian tradisional dan kearifan lokal.
ADVERTISEMENT
Perdebatan antara rezim kedaulatan pangan dan ketahanan pangan saat ini memang sangat kompleks dan melibatkan berbagai aspek seperti perubahan iklim, kebijakan pangan, pertanian, lingkungan, budaya, politik dan sosial ekonomi. Perdebatan seputar kedua konsep ini tentu akan terus berlanjut dan membutuhkan dialektika yang konstruktif antar berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai solusi pangan yang optimal.