Pekerja Jalanan dan Potret Lemahnya Sistem Perlindungan Sosial

Yanu Endar Prasetyo
Peneliti. Pusat Riset Kependudukan BRIN
Konten dari Pengguna
3 Februari 2024 21:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yanu Endar Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sellha Purba, pekerja PPSU sedang bertugas menyapu jalanan yang tergenang air.  Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sellha Purba, pekerja PPSU sedang bertugas menyapu jalanan yang tergenang air. Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pekerja jalanan tidak hanya merujuk kepada orang-orang yang mencari nafkah atau melakukan pekerjaan tertentu di jalanan, seperti pedagang kaki lima, penjual asongan, tukang parkir, atau pekerja informal lainnya yang melakukan kegiatan ekonomi mereka di area umum atau di tepi jalan. Pekerja jalanan juga melekat dengan apa yang dilakukan oleh anak jalanan, seperti mengemis, mengamen, menjadi badut lampu merah, manusia silver, pak ogah, penjual tisu, pembersih kaca depan mobil, dan pekerjaan lainnya untuk bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Kemensos mendefinisikan anak jalanan ini sebagai anak berusia antara enam sampai dengan delapan belas tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat umum lainnya. Anak-anak ini hidup dan bekerja di jalanan tanpa pengawasan atau perlindungan yang memadai atau terlantar karena orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan anaknya dengan wajar, baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
Kelompok rentan ini juga sering disebut sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Secara konstitusi, Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dalam Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Right of the Child) yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh pemerintah RI melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990, ditekankan bahwa pemenuhan hak-hak anak ini harus diberikan oleh negara. Dalam Pasal 8 UU NO 23/2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa "Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial". Dengan dasar seperti ini, sudah seharusnya PPKS ini menjadi perhatian serius kita semua.
ADVERTISEMENT
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sebanyak 4,59% balita berstatus terlantar di Indonesia pada 2021. menurut data Kementerian Sosial per 26 Mei 2021 terdapat 9.113 anak jalanan di Indonesia. Tetapi jumlah ini dianggap masih rendah (underreported). Negara sebenarnya telah mengalokasikan dana untuk kemiskinan dan pendidikan dengan nominal yang sangat besar, termasuk untuk Bantuan Sosial (Bansos).
Akan tetapi, ketersediaan data anak terlantar yang terbatas, membuat langkah negara kurang optimal untuk menjangkau anak-anak yang terpinggirkan ini. Tak hanya itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak pekerja jalanan ini yang tidak memiliki dokumen kependudukan (KTP).
Keberadaan PPKS, sebagai suatu realitas kehidupan dalam masyarakat, kadang-kadang tidak mendapatkan makna dan apresiasi positif dalam hubungan sosial di tengah masyarakat. Bukan dibantu, kadang mereka dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai “sampah masyarakat”. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat keberadaan mereka yang semakin menjamur. Pekerja jalanan seharusnya mendapat perlindungan dan dijamin hak-haknya agar mereka juga memiliki masa depan yang cerah.
ADVERTISEMENT

Tak Punya KTP, Tak Terima Bansos

Banyak faktor yang menjadi penyebab pekerja jalanan belum sepenuhnya terjangkau program perlindungan sosial dari Pemerintah. Misalnya, pendataan masih cenderung pasif. Lalu, pendampingan berbasis komunitas dan dukungan lingkungan sekitar juga masih sangat minim. Pembagian kewenangan pusat dan daerah dalam urusan rehabilitasi sosial juga masih lemah. Ditambah, fasilitas dan infrastruktur Kementerian Sosial sangat terbatas, padahal PPKS ini tersebar secara Nasional. Hal ini disebabkan oleh kapasitas fiskal dan sumber daya pekerja sosial yang juga terbatas.
Dari sisi internal komunitas pekerja jalanan, masalah stigma dan isolasi diri masih menjadi isu utama. Hal ini menyebabkan banyak dari mereka menjaga jarak dari tetangga mereka, dan menjauh dari komunitas tempat tinggal mereka, termasuk Rukun Tetangga (RT), sehingga membatasi sumber informasi dan dukungan sosial. Tak heran jika kemudian banyak dari mereka yang tidak memiliki dokumen penting seperti akta kelahiran dan KTP. Padahal, prasyarat paling dasar untuk mengakses Bansos, misalnya, adalah kepemilikan KTP. Hidup tanpa dokumen ini juga secara tak langsung memperkuat perasaan bahwa mereka dianggap berbeda dari masyarakat pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, meskipun tinggal di lingkungan perkotaan, sebagian besar pekerja jalanan memiliki mobilitas yang terbatas. Sebagian besar melakukan mobilisasi dengan berjalan kaki, sehingga opsi pekerjaan mereka menjadi terbatas dan berebut lahan yang juga terbatas. Ini belum termasuk soal-soal resiko hidup di jalan, narkoba, kekerasan seksual, eksploitasi, dan seabrek persoalan rumit lainnya.
Entah darimana mengurai benang kusut persoalan ini, tapi setidaknya kita tak boleh lelah untuk terus menyampaikan bahwa isu pekerja jalanan ini perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat, pemerintah, politisi, dan para pengambil kebijakan, termasuk Capres - Cawapres yang sedang berkompetisi dalam Pemilu 2024.