Konten dari Pengguna

Pemberdayaan Perempuan Penyintas Bencana

Yanu Endar Prasetyo
Peneliti. Pusat Riset Kependudukan BRIN
12 September 2024 15:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yanu Endar Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto lokasi bekas longsoran bencana Banjir Bandang yang sudah dibersihkan di Kelurahan Rua, Kec. Pulau Ternate, Kota Ternate. Foto diambil Penulis pada tanggal 11 September 2024 pukul 17.05 WIT.
zoom-in-whitePerbesar
Foto lokasi bekas longsoran bencana Banjir Bandang yang sudah dibersihkan di Kelurahan Rua, Kec. Pulau Ternate, Kota Ternate. Foto diambil Penulis pada tanggal 11 September 2024 pukul 17.05 WIT.
ADVERTISEMENT
Bencana alam selalu membawa dampak yang besar pada masyarakat, tetapi pengaruhnya terhadap perempuan sering kali lebih mendalam. Perempuan, khususnya di wilayah yang sudah mengalami ketidaksetaraan gender, menghadapi tantangan unik dalam situasi pasca-bencana. Ini terjadi karena ketidaksetaraan yang sudah ada sebelumnya dalam kondisi sosial ekonomi, keyakinan budaya, serta praktik tradisional yang memperparah kondisi mereka selama dan setelah bencana. Artikel ini mengulas berbagai tantangan yang dihadapi perempuan penyintas bencana dan strategi pemberdayaan yang dapat menjadi solusi.
ADVERTISEMENT
Ketidaksetaraan gender dalam bencana terlihat dari bagaimana perempuan lebih sering mengalami tingkat kematian yang lebih tinggi, akses terbatas pada bantuan, serta risiko yang lebih besar terhadap kekerasan berbasis gender, pernikahan paksa, dan kehilangan mata pencaharian. Selama situasi bencana, perempuan sering ditempatkan dalam posisi subordinasi dan mengalami diskriminasi, baik secara ekonomi maupun sosial, yang membatasi akses mereka terhadap bantuan dan sumber daya. Banyak perempuan yang harus menghadapi pelabelan negatif dan stigma sosial, yang semakin memperparah kerentanan mereka.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dalam pemberdayaan perempuan penyintas bencana adalah masalah kelembagaan. Institusi yang ada sering kali tidak sepenuhnya responsif terhadap kebutuhan perempuan. Terbatasnya akses sumber daya, budaya patriarkal yang mendalam, dan ketidakamanan pekerjaan, menjadi beberapa faktor yang mempersulit upaya pemberdayaan. Selain itu, koordinasi yang buruk antar lembaga, kurangnya kesadaran di kalangan laki-laki tentang pentingnya kesetaraan gender, serta minimnya figur panutan yang mendorong pemberdayaan perempuan memperburuk situasi ini.
ADVERTISEMENT
Di tingkat individu, perempuan penyintas bencana juga menghadapi berbagai kendala personal yang menghambat proses pemberdayaan. Kurangnya minat pribadi untuk berpartisipasi dalam kegiatan produktif, keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, serta masalah kepribadian menjadi beberapa hambatan yang sering kali dihadapi. Selain itu, status sosial yang rendah juga mempengaruhi kemampuan mereka untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. Kondisi ini memperlambat proses pemulihan dan pemberdayaan, karena mereka tidak memiliki cukup kapasitas atau sumber daya untuk bangkit kembali setelah bencana.
Faktor sosial dan budaya juga memainkan peran penting dalam memperburuk situasi perempuan penyintas bencana. Lingkungan budaya yang membatasi, peran tradisional perempuan yang memperkuat subordinasi mereka dalam masyarakat, serta beban kerja rumah tangga yang berlebihan, semuanya berkontribusi terhadap rendahnya partisipasi perempuan dalam kegiatan produktif di luar rumah. Situasi ini memperlihatkan bahwa meskipun perempuan memiliki potensi besar untuk terlibat dalam proses pemulihan pasca-bencana, mereka sering kali dibatasi oleh norma-norma sosial dan budaya yang ada.
ADVERTISEMENT
Kebutuhan khusus perempuan pun sering kali diabaikan, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pelaksanaannya. Misalnya, kurangnya akses perempuan terhadap pengambilan keputusan, sumber daya, dan peluang untuk membangun kembali kehidupan mereka adalah beberapa contoh nyata bagaimana kebijakan yang ada tidak sepenuhnya inklusif terhadap perempuan.
Selain itu, tantangan yang terkait dengan sifat pekerjaan juga menjadi salah satu masalah yang signifikan. Pekerjaan yang tersedia bagi perempuan penyintas bencana sering kali tidak sesuai dengan kemampuan atau kebutuhan mereka, terutama dalam situasi pemulihan pasca-bencana. Jam kerja yang fleksibel sangat penting bagi perempuan yang sering kali harus membagi waktu antara tanggung jawab rumah tangga dan pekerjaan. Kondisi fisik tempat kerja juga harus dipertimbangkan, mengingat aksesibilitas dan kenyamanan perempuan sering kali terabaikan dalam konteks pasca-bencana.
ADVERTISEMENT
Perempuan sebagai Agen Perubahan
Meskipun menghadapi banyak tantangan, perempuan telah terbukti mampu menjadi agen perubahan dalam situasi bencana. Di berbagai belahan dunia, perempuan telah memimpin upaya pemulihan pasca-bencana, seperti yang terjadi di Honduras, Nikaragua, Nepal, dan Meksiko. Namun, kontribusi mereka sering kali diremehkan atau tidak terlihat dalam sistem pemulihan formal. Padahal, perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam memfasilitasi pemulihan sosial dan ekonomi, baik di tingkat keluarga maupun komunitas.
Bencana juga dapat menjadi momentum kritis untuk melakukan “reset” sosial, di mana pemerintah dan masyarakat dapat berupaya mengatasi ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang mendasar. Dalam konteks ini, strategi yang responsif terhadap gender sangat penting untuk memastikan bahwa proses pemulihan pasca-bencana bersifat inklusif dan berkelanjutan. Strategi pemberdayaan perempuan penyintas bencana harus mencakup langkah-langkah perlindungan khusus, terutama di tempat penampungan sementara, untuk mengatasi masalah kekerasan berbasis gender yang sering kali meningkat selama masa krisis.
ADVERTISEMENT
Pemerintah, baik di tingkat nasional, daerah, maupun desa, memiliki peran penting dalam mendukung pemberdayaan perempuan penyintas bencana. Berbagai lembaga non-pemerintah, seperti LSM, donor, dan komunitas lokal, juga perlu dilibatkan dalam proses ini. Kerja sama antara berbagai aktor ini sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan pemulihan tidak hanya berfokus pada aspek fisik, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial dan gender.
Strategi dan Pendekatan
Sumber: Penulis (12 September 2024)
Pada tahap awal respon bencana, penting untuk mengumpulkan data yang terpilah berdasarkan jenis kelamin, usia, dan disabilitas, sehingga strategi pemulihan dapat dirancang dengan lebih efektif. Data ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik perempuan dan kelompok rentan lainnya, sehingga bantuan yang diberikan lebih tepat sasaran. Selain itu, integrasi kesetaraan gender ke dalam kerangka kerja pemulihan juga penting untuk memastikan hasil yang berkelanjutan dan tangguh.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh strategi yang dapat dilakukan adalah memberikan dukungan finansial awal kepada perempuan penyintas, serta menyediakan layanan pendampingan hukum bagi mereka yang mengalami kekerasan berbasis gender. Langkah-langkah ini tidak hanya memberikan bantuan langsung, tetapi juga membantu perempuan untuk membangun kembali kehidupan mereka dengan lebih mandiri dan berdaya.
Jika dapat ditarik benang merah, terlihat bahwa pemberdayaan perempuan penyintas bencana adalah proses yang kompleks yang memerlukan pendekatan multidimensi. Tantangan yang dihadapi perempuan dalam situasi pasca-bencana tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga melibatkan faktor psikis, sosial, budaya, hukum/kebijakan, dan kelembagaan.
Oleh karena itu, diperlukan strategi yang responsif terhadap gender yang melibatkan berbagai aktor, baik dari pemerintah, LSM, maupun komunitas lokal, untuk memastikan bahwa perempuan penyintas bencana mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk bangkit dan berperan aktif dalam proses pemulihan. Bencana memang membawa banyak kerugian. Namun di balik setiap krisis, terselip juga harapan serta peluang untuk melakukan perubahan yang lebih inklusif dan berkeadilan gender.
ADVERTISEMENT