Konten dari Pengguna

Polemik Tapera: Ambisi di Tengah Daya Beli yang Kian Tergerus

Yanu Endar Prasetyo
Peneliti. Pusat Riset Kependudukan BRIN
30 Mei 2024 18:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yanu Endar Prasetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kantor BP Tapera di Jl. Falatehan, Melawai Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Foto: Akbar Maulana/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kantor BP Tapera di Jl. Falatehan, Melawai Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Foto: Akbar Maulana/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) di Indonesia adalah inisiatif ambisius yang bertujuan untuk meningkatkan akses pekerja terhadap pembiayaan perumahan yang terjangkau. Namun, implementasi program ini telah menimbulkan berbagai polemik dan kontroversi di kalangan pekerja, pengusaha, dan masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Polemik ini mencakup isu-isu terkait kepesertaan dan kontribusi, manfaat dan pengelolaan dana, tata kelola, salah kaprah antara tabungan dan asuransi, serta kewajiban negara dalam pemenuhan hak perumahan tanpa membebani pekerja berpendapatan rendah.

Tabungan berbeda dengan asuransi

Salah satu isu utama dalam polemik Tapera adalah kewajiban kepesertaan serta besaran kontribusi yang dibebankan kepada pekerja dan pengusaha. Program Tapera mewajibkan semua pekerja di Indonesia, baik pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI/Polri, maupun pekerja swasta, untuk menjadi peserta.
Setiap peserta diwajibkan membayar iuran sebesar 3% dari gaji bulanan, dengan 2,5% ditanggung oleh pekerja dan 0,5% oleh pemberi kerja, sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2016 tentang Tapera.
Banyak pekerja merasa bahwa kewajiban ini menambah beban finansial yang sudah cukup berat, terutama di tengah situasi ekonomi yang masih dalam pemulihan pasca pandemi COVID-19. Pekerja dan buruh khawatir bahwa potongan gaji untuk Tapera akan mengurangi daya beli dan kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya.
ADVERTISEMENT
Pengusaha yang biasanya berseberangan dengan buruh, kali ini pun satu suara. Mereka juga menyuarakan keberatan terhadap tambahan beban biaya yang harus ditanggung. Kelangsungan usaha jelas akan terganggu, termasuk bagi usaha kecil dan menengah (UKM) yang sudah berjuang untuk bertahan di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit.
Munculnya perintah "wajib" ini bergeser menjadi isu tata kelola yang salah kaprah. Tapera adalah program tabungan, bukan asuransi. Dalam asuransi, peserta membayar premi untuk mendapatkan perlindungan terhadap risiko tertentu, dan manfaat asuransi dibayarkan ketika risiko tersebut terjadi.
Sebaliknya, dalam program tabungan seperti Tapera, peserta menyimpan sejumlah uang yang akan digunakan di masa depan, misalnya untuk membeli rumah. Tapi dalam skema Tapera ini, tidak ada kepastian apakah mereka akan mendapatkan rumah di masa depan atau tidak? Padahal, dalam skema tabungan seharusnya ada kepastian bahwa dana tersebut akan kembali kepada pemiliknya.
ADVERTISEMENT

Infrastruktur dan Implementasi

Aspek lain dari polemik Tapera adalah kesiapan infrastruktur dan kemampuan BP Tapera dalam mengimplementasikan program ini secara efektif. Ada kekhawatiran mengenai tumpang tindih kebijakan dan manfaat dengan BPJS Ketenagakerjaan (Program Manfaat Layanan Tambahan/MLT), korupsi (pengalaman Jiwasraya dan Asabri), dan minimnya sosialisasi serta komunikasi publik yang membingungkan masyarakat dan pekerja.
Memang, hak atas perumahan yang layak adalah bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 28H yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, Pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa setiap warganya memiliki akses pada perumahan yang layak. Namun, kewajiban ini tidak boleh dibebankan sepenuhnya kepada pekerja, apalagi mereka yang berpendapatan rendah.
ADVERTISEMENT
Polemik mengenai Tapera mencerminkan kekuranghati-hatian dalam upaya mendorong kebijakan sosial. Kebijakan ini dapat dinilai sangat ambisius di tengah daya beli pekerja cenderung menurun. Meskipun tujuan Tapera untuk meningkatkan akses pekerja terhadap pembiayaan perumahan ini sangat mulia, namun pengumpulan dana publik secara "paksa" seperti ini justru jauh dari prinsip keadilan dan transparansi. Dalih gotong royong (subsidi silang antar pekerja yang sudah punya rumah dengan yang belum) pun gugur dengan sendirinya.
Maka, seperti halnya polemik UKT yang sudah diganjar kartu merah, nampaknya polemik Tapera ini juga harus segera mendapatkan "kartu" keputusan yang kurang lebih sama.