Indonesia Ingin Kembangkan Wisata Medis? Mari Bercermin dari Malaysia

Indri Yanuarti
ibu 2 anak hebat
Konten dari Pengguna
9 September 2020 21:01 WIB
comment
18
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Indri Yanuarti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ungkapan ini rasanya tepat untuk menggambarkan rencana Indonesia untuk mengembangkan wisata medis. Belakangan, rencana pengembangan wisata medis Indonesia marak diberitakan media. Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, membuka wacana tersebut, salah satunya melalui akun media sosialnya, pada Jumat (28/8).
ADVERTISEMENT
Sebagaimana dikutip dari akun Instagram-nya, Luhut menyebutkan bahwa berdasarkan analisis PricewaterhouseCoopers (PwC) tahun 2015, wisatawan Indonesia yang berkunjung ke luar negeri untuk berobat mencapai 600 ribu orang. Sebuah angka yang menjanjikan untuk sebuah pasar, bahkan disebut sebagai yang terbesar di dunia mengalahkan AS dengan jumlah 500 ribu orang wisatawan medis untuk periode tahun yang sama.
Indonesia jelas punya modal yang besar untuk mewujudkan mimpi menjadi pusat wisata medis berskala internasional. Indonesia memiliki banyak RS dengan standar tinggi, dari fasilitas maupun teknologi yang digunakan.
Dari sisi tenaga medis pun Indonesia tak kalah bersaing. Setidaknya hal tersebut dikonfirmasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menanggapi usulan kontroversial Luhut untuk mendatangkan dokter asing demi mewujudkan ambisi pengembangan wisata medis.
ADVERTISEMENT
Indonesia juga memiliki nilai tambah lainnya seperti keramahtamahan masyarakat Indonesia serta keindahan dan keragaman objek wisata Indonesia yang makin menjadi magnet bagi wisatawan medis.
Namun apakah semua itu cukup? Untuk menjawab pertanyaan ini, tidak ada salahnya saya membagikan pengalaman komparatif saya yang pernah melahirkan di RS di Jakarta dan RS di Penang.
Kebetulan pada rentang tahun 2014-2017, saya bertugas dan tinggal selama 3 tahun di Malaysia, salah satu negara yang kini semakin meroket sebagai destinasi wisata medis, termasuk untuk wisatawan dari Indonesia.
Refleksi Pengalaman Pribadi: antara Jakarta dan Penang
Pada pertengahan tahun 2013, saya melahirkan anak pertama di sebuah RS swasta di Jakarta Pusat. Reputasinya sebagai RS ibu dan anak dengan standar internasional tidak perlu diragukan lagi.
ADVERTISEMENT
Tetapi pengalaman saya mengatakan sebaliknya, setidaknya dari aspek pelayanannya. Beberapa kali saya merasakan kinerja perawat yang seringkali tidak fokus dan bahkan memiliki attitude alias sikap atau perkataan yang kurang menyenangkan terhadap pasien.
Bukan rahasia jika proses melahirkan bagi calon ibu seperti saya saat itu akan menyakitkan. Tentu dengan skala berbeda-beda, tergantung pula pada tingkat toleransi pasien terhadap rasa sakit. Saya sudah merasakan sakit yang teramat sangat di tahap awal bukaan.
Ketika saya mengeluhkan rasa sakit tersebut, saya terkejut dengan tanggapan seorang oknum suster. “Itu baru bukaan 1 menjelang 2 Ibu…, nanti bukaan 9 ke 10 v*g**a Ibu serasa mau copot”, celetuk oknum suster dengan bahasa tubuh acuh tak acuh. Alih-alih mendongkrak semangat untuk melawan rasa sakit, ucapan tidak etis itu justru meruntuhkan mental saya.
ADVERTISEMENT
Kemudian saat bayi saya dinyatakan kuning (kondisi peningkatan kadar bilirubin), seorang oknum perawat lupa memakaikan penutup mata saat bayi saya fototerapi. Cukup fatal. Beruntung hal tersebut dengan cepat saya sadari dan melaporkan kelalaian tersebut ke dokter yang bertugas.
Di lain waktu ketika anak saya berusia 6 bulan dan harus dirawat di RS yang sama, lagi-lagi perawat yang tidak cermat menjadi sumber masalahnya. Kali ini tidak menimpa anak saya, melainkan pasien yang bersebelahan kamar dengan anak saya. Saya cukup terkejut saat ibu pasien berteriak dan mengeluarkan sumpah serapahnya pada pihak RS dengan cukup keras.
Saya yang kebetulan sedang berjalan di koridor sepanjang kamar perawatan penasaran dan bertanya kepada sang ibu pasien. Ia pun bercerita dengan bersungut-sungut bahwa pengaturan tetesan infus yang dipasang pada anaknya tidak tepat. Dampaknya salah satu bagian tubuh sang anak menjadi bengkak.
ADVERTISEMENT
Saya lebih terkejut lagi ketika ibu pasien sempat “mengompori” saya untuk pindah saja ke RS lain. Dia menyebutkan sebuah RS di kawasan Jakarta Utara yang ia nilai kualitasnya lebih bagus seperti RS di Penang, Malaysia.
Ilustrasi koridor Rumah Sakit. Sumber: freepik.com
Seperti sebuah kebetulan, hanya 6 bulan sejak kejadian tersebut, saya berangkat bertugas ke Kuala Lumpur. Singkat cerita saya mendapat kepercayaan kembali dari Tuhan, mengandung buah hati yang ke-dua. Saya pun rutin memeriksakan kandungan di sebuah RS swasta di Kuala Lumpur.
Namun demikian, saya sudah merencanakan untuk melahirkan di Penang. Kebetulan suami saya bertugas di KJRI Penang. Jadi saya sudah mengatur sedemikian rupa untuk berkomunikasi dengan dokter kandungan saya di KL dan dokter kandungan di RS swasta di Penang yang sudah saya pilih.
ADVERTISEMENT
Hampir keseluruhan proses yang saya jalani berjalan dengan lancar, bahkan menyenangkan. Baik dokter maupun perawat, semuanya melayani dengan hangat dan komunikatif. Selama beberapa kali memeriksakan kandungan menjelang persalinan tiba, saya sering bertemu dengan pasien Indonesia di ruang tunggu.
Beberapa kali saya sempatkan ngobrol dengan beberapa di antaranya. Harga tiket pesawat yang masih terjangkau untuk terbang ke Penang, pelayanan prima dari RS dan tenaga medis, tingkat kesembuhan yang dirasa lebih cepat, adalah beberapa alasan mereka lebih memilih berobat ke Malaysia, khususnya ke Penang.
Ya, hitung-hitung sambil jalan-jalan ke kota yang sudah diganjar menjadi salah satu Kota Warisan Budaya oleh UNESCO sejak tahun 2008. Begitu kurang lebih testimoni mereka.
Salah satu spot mural favorit di Penang Street Art yang pantang dilewatkan jika berwisata medis ke Penang. Sumber: dokumentasi pribadi
Saya tidak mungkin lupa bagaimana dokter kandungan saya, Dr. Narinder, sangat intens menghubungi saya secara personal melalui pesan teks di telepon seluler, untuk sekadar menanyakan kabar dan memberikan arahan apabila saya mulai merasakan keluhan-keluhan di masa hamil tua.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, persalinan saya berjalan lancar secara normal sesuai harapan saya dan suami. Sesaat setelah dipindahkan ke kamar perawatan, Dr. Narinder masih sempat menengok sejenak ke kamar saya demi memastikan semua baik-baik saja.
Dr. Narinder muncul dengan penampilan lain, sudah berganti baju khusus dokter berwarna hijau yang ia kenakan untuk segera masuk ke kamar operasi dan menangani pasien lain. “Hi Indri, is everything ok? Just tell me if you need anything or just contact the nurse”, ujarnya simpatik.
Mungkin terdengar klise, tetapi buat saya maknanya priceless. Ia mengunjungi saya bukan sekadar menengok karena jadwal visitasi yang termasuk dalam charge pembayaran lho. Saya merasakan betul perhatian yang tulus.
ADVERTISEMENT
Tak sampai disitu, kehangatan lain juga datang dari pelayanan RS yang menyediakan candle light dinner romantis untuk saya dan suami di kamar perawatan pada malam pertama setelah saya melahirkan. Saya juga merasakan cara mereka mengatur jadwal menyusui anak yang mendukung waktu istirahat saya lebih maksimal.
Saking terkesannya dengan pelayanan istimewa mereka, saya sampai meminta Dr. Narinder untuk memilihkan nama untuk bayi laki-laki saya. No wonder nama anak saya Nayaka Arsyanendra, agak-agak berbau India ya, mengingat Dr. Narinder adalah warga Malaysia keturunan India.
Bercermin dari Strategi Wisata Medis Malaysia
Membangun wisata medis memang bukan melulu tentang peningkatan infrastruktur dan kapasitas tenaga medis. Persoalan mental dan budaya kerja para tenaga medis yang menjadi muara pelayanan prima pun perlu menjadi perhatian.
Ilustrasi dokter dan pasien. Sumber: freepik.com
Untuk hal ini, tidak ada salahnya kita meninjau strategi yang dikembangkan Malaysia untuk membangun wisata medis sejak tahun 1998.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada tulisan Suseela Devi Chandran “Key Drivers of Medical Tourism in Malaysia” (2018), wisata kesehatan atau medical tourism merupakan aktivitas di mana orang berkunjung ke negara lain untuk tujuan mendapatkan layanan kesehatan atau berobat sambil meluangkan waktu mengunjungi objek wisata di negara tersebut. Strategi ini merupakan diversifikasi layanan kesehatan dan sektor pariwisata.
Wisata medis di Malaysia dikelola sedemikian serius, terbukti dengan pembentukan The National Committee for the Promotion of Medical and Health Tourism (NCPMHT) yang kini berubah nomenklatur menjadi Malaysia Health Care Travel Council (MHTC). Entitas ini diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan tetapi secara struktur berada di bawah Kementerian Keuangan.
Keberadaan MHTC benar-benar mengindikasikan keseriusan Malaysia menggarap wisata medis-nya. Selain mengidentifikasi negara yang menjadi target promosi wisata medis, MHTC juga mengajukan pajak insentif dan mengatur kebijakan wisata medis lainnya termasuk memikirkan kemudahan calon pasien sejak perencanaan perjalanan, memilih penerbangan, memfasilitasi kedatangan ke bandara dan keberangkatan menuju RS, serta memberikan opsi-opsi penginapan di sekitar RS yang berkualitas dengan harga terjangkau.
ADVERTISEMENT
Tak perlu khawatir kendala bahasa karena mereka menyediakan penerjemah untuk dokter yang tidak memahami Bahasa Indonesia atau pasien yang kesulitan berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Tak lupa MHTC juga menyisipkan promosi destinasi wisata yang bisa dikunjungi sembari melakukan pemeriksaan kesehatan. Sungguh pendampingan dan dedikasi yang total untuk sebuah industri berbasis hospitality.
Alur pelayanan MHTC. Sumber: mhtc.org.my
Menyadari bahwa Indonesia adalah pasar menggiurkan bagi wisata medis Malaysia, MHTC pun membuka perwakilan di Jakarta. Dengan menghubungi MHTC, calon pasien akan mendapatkan berbagai informasi lengkap termasuk mendapatkan fasilitas rekomendasi rumah sakit yang tepat setelah dokter ahli MHTC melihat rekam medis. Untuk tahap ini benar-benar gratis tanpa dikenakan biaya.
Promosi MHTC untuk mendapat atensi masyarakat Indonesia di Malaysia melalui Kabar Merah Putih (KMP), program siaran radio kerja sama KBRI Kuala Lumpur dan Bernama Radio Malaysia. Sumber: Facebook KMP
Pengembangan wisata medis di Malaysia pun menunjukkan kemajuan dari waktu ke waktu. Berdasarkan temuan sebuah penelitian berjudul Factors Determinant of PatientsSatisfaction towards Health Tourism in Malaysia (2018), faktor seperti harga yang lebih terjangkau dan sebanding dengan kualitas pelayanan kesehatan menjadi penentu kepuasan wisata kesehatan di Malaysia.
ADVERTISEMENT
Sementara pengakuan internasional lainnya juga datang dari majalah AS, International Living yang menetapkan Malaysia sebagai Best Country in the World for Health Care pada tahun 2019.
Medical Tourism benar-benar digarap serius oleh Pemerintah Malaysia melalui manajemen MHTC hingga sering memperoleh penghargaan internasional. Sumber: mhtc.org.my
Melayani dengan Hati demi Membangun Trust
Yang ingin saya tekankan dari cerita dan pengalaman komparatif saya di atas adalah kepercayaan (trust) yang dibangun dengan cara melayani dengan hati. That’s the key. Dan ini bersumber dari mentalitas para pekerja di RS.
Mau secanggih apapun peralatan yang dimiliki, semanjur apapun obat yang ditawarkan, sehebat apapun kapasitas dokter, tidak akan ada artinya jika tidak mengutamakan pelayanan dengan hati.
Pelayanan dengan real hospitality, sebuah kata yang sangat dekat dengan hospital, padanan kata atau terjemahan RS dalam bahasa Inggris, sudah selayaknya menjadi basis manajemen RS.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Indonesia dalam hal ini juga perlu banyak belajar dari Malaysia. Strategi MHTC perlu kita amati, tiru dan modifikasi. Dengan improvisasi yang tepat, bukan tidak mungkin untuk mengejar ketinggalan bahkan meraih keunggulan.
Semuanya butuh proses dan konsistensi dari pemangku kebijakan untuk segera menindaklanjuti apa yang menjadi tekad dan harapan bersama.
Semoga pemerintah tidak hanya menggebu-gebu membuka keran impor dokter asing atau agresif membangun RS berstandar internasional semata. Semuanya perlu proporsional diatur sehingga strateginya pun bisa terstruktur dan terukur.