Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Terbenamnya Ijtihad, Terbitnya Stagnasi Pemikiran
17 April 2023 21:03 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yanuar atha prabowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Yusuf Qardawi menyatakan bahwa kondisi masyarakat yang selalu berubah dan berkembang, akan senantiasa melahirkan berbagai permasalahan baru yang memerlukan jawaban secara pasti akan status hukumnya, terutama sekali zaman sekarang ini.
ADVERTISEMENT
Untuk itu perlu sekiranya pintu ijtihad dibuka lebih dibutuhkan lagi karena diidentifikasinya perubahan yang amat luar biasa, suatu hal yang kemudian diistilahkan sebagai distrupsi dalam kehidupan sosial pascarevolusi industri.
Perubahan sosial kemudian diartikan sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan beberapa hal; kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi, teknologi dan lain serupanya yang mengidentifikasi bahwasannya manusia adalah makhluk yang selalu harus bergegas dan terpaut, semacam gerak menuju khittah manusia sebagai imam-Nya di dunia.
Teknologi dewasa ini telah mampu menjawab hal-hal yang barangkali menjadi semacam “fantasi” dari masyarakat lampau. Seperti sebut saja, besi terbang yang kemudian kita pahami sebagai pesawat terbang.
Atau, hal-hal lain seperti menguasai dunia dalam genggaman tangan yang nyatanya adalah kita dapat melakukan apapun melalui segenggam telepon pintar sudah dapat melakukan apapun dimulai dari berusaha hingga mendapat jodoh sekalipun.
ADVERTISEMENT
Dalam pada itu, pembaharuan di sebelah dunia lain sebut saja dalam hal ini Barat terlepas dari dikotomi Barat dan Timur yang agaknya masih bias.
Namun dalam benak kognitif kita barangkali istilah Barat akan selalu mengacu kepada negara-negara Eropa. Senyatanya, perkembangan globalisasi yang mula-mulanya diiklankan barat tersebut seringkali tidak seimbang dengan upaya pembaharuan pemikiran di kalangan umat Islam.
Dawan Rahardjo kemudian menyebut, hal ini nampaknya disebabkan oleh keyakinan bahwa karya-karya pemikiran ulama masa lalu dianggap sakral, sudah menjawab setiap permasalahan kehidupan manusia dari mulai lahirnya hingga kematiannya dan hal itu berlaku setiap zaman.
Implikasi logis dari anggapan seperti itu memunculkan suatu kesan, “makar akademis” atau bahasa yang lebih islaminya, “suul-adab” terhadap setiap upaya guna mengkritisi karya-karya ulama masa lalu dan bahkan sebagiannya barangkali akan kemudian mendapat sematan murtad dan sesat.
ADVERTISEMENT
Hasilnya jelas, terjadi stagnasi pemikiran karena ada semacam ketakutan dan kekhawatiran di kalangan praktisi Islam kontemporer untuk melakukan perubahan-perubahan sebagaimana zaman menghendakinya, selain itu ada faktor-faktor lain yang tentunya turut serta dalam men-stagnasi pemikiran Islam.
Pintu ijtihad yang tertutup, jika tidak dapat disebut sebagai penutupan paksa dengan dalih “penghormatan” terhadap tradisi dan pemikiran-pemikiran ulama masa lampau.
Pun juga disebabkan karena faktor internal umat Islam yang dalam historitasnya terlalu terlena akan kemenangan negara-negara Islam atas Eropa selama masa kejayaan, sehingga menjebakkan diri kaum muslimin di bawah kehidupan yang glamour dan tanpa sadar, justru keadaan tersebut melemahkan posisi kaum muslimin di hadapan musuh-musuhnya.
Selain itu, Abd al-Wahhab Khallaf menuturkan jika ada empat faktor yang menyebabkan terjadi kebekuan dalam pemikiran hukum Islam, yakni yang pertama, terpecahnya kekuasaan Islam menjadi negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi politik.
ADVERTISEMENT
Kedua, terbaginya para pakar hukum Islam tingkat mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajar. Ketiga, menyebarnya ulama yang memberi fatwa berdasarkan "pesanan" penguasa. Dan keempat, menyebarnya penyakit disorientasi agama dan degradasi moral di tubuh umat Islam.
Faktor lain yang membuat terjadi stagnasi pemikiran Islam, terutama sekali karena subjek utama dalam hal ini para ulama dalam sejarahnya selalu dicampur tangankan oleh pihak penguasa dalam banyak hal posisi legislasi dan aspek yuridis.
Mazhab berkembang karena memperoleh kekuasaan, mereka yang kemudian bertentangan dalam aspek wacana dan perilaku akan kemudian didistorsi dan dikriminalisasi, dalam pada itu pemikiran ulama yang "berbeda" terpasung akibat semangat demokrasi yang menjunjung kebebasan dan kesetaraan sebagaimana masa-masa awal kejayaan Islam telah dibumihanguskan.
ADVERTISEMENT
Dari semua keterangan ini, akhirnya keberadaptasian umat Islam untuk menjawab tantangan zaman menjadi dipertanyakan, budaya konsumerisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat modern tidak dapat dielakan oleh kalangan umat Islam yang jika mengacu pada sejarah, tentunya pernah menghegemoni dan menguasai dunia.
Di momentum Idul Fitri 1444 H ini kemudian perlu kiranya kita memaknai kembali agama Islam yang disebut-sebut sebagai “agama yang paling diridlai” oleh Allah SWT sebagaimana yang difirmankannya.
Dan tentunya, kita perlu untuk "menelanjangi" terlebih dahulu pemikiran yang ada untuk kemudian melestarikan hal-hal yang baik di masa lalu dan menciptakan yang lebih baik di masa kini untuk masa depan.
Karena, jangan sampai kemudian, umat Islam terjebak dalam suatu hal yang dikenal sebagai krisis dalam kajian Gramsci yakni di mana nilai-nilai lama telah tercerabut akan tetapi nilai baru belum terbentuk.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa yang lebih lugas, tentunya guna keluar dari stagnasi pemikiran ini tidak dipahami secara buta dengan meninggalkan apa yang telah diwariskan di masa lalu akan tetapi menempatkan sesuatu yang diwariskan tersebut sesuai dengan kebutuhan dan persoalan umat hari ini.
Momentum Ramadhan adalah aspek paling penting untuk mengenal persoalan umat lebih dalam, bahwa meskipun secara zahir, badan dipaksa untuk menahan lapar dan haus, akan tetapi semangat untuk meneguk ilmu dan memakan pengetahuan harus lebih besar ketimbang kerinduan kepada air dan makanan dalam artian sebenarnya.
Inilah yang barangkali disebut sebagai insan ulul albab, yakni mereka yang selalu haus akan ilmu dengan senantiasa berzikir pada Allah SWT, berkesadaran historis primordial atas relasi Tuhan, alam, Manusia.
ADVERTISEMENT
Terakhir, tulisan ini mengajak kepada umat Islam agar kemenangan di hari yang fitri, adalah kemanangan kesadaran untuk segera keluar dari stagnasi pemikiran karena terbenamnya ijtihad ulama yang menerbitkan kejumudan dalam dunia Islam yang semakin jauh tertinggal dan tidak berdaya.