Konten dari Pengguna

Membumikan Filsafat Di Negara Si Paling religius

Yaser Fahrizal Damar Utama
Mahasiswa kere yang kebetulan masuk UNPAD. Orang Sumedang yang kebetulan nggak jualan tahu. Anak kampung biasa yang kebetulan suka nulis. Bisa banget diajak ngobrol lewat instagram kalo kalian kebetulan punya akun instagram.
4 Desember 2024 14:43 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yaser Fahrizal Damar Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Athens art school, Raphael (Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Athens art school, Raphael (Pixabay)
ADVERTISEMENT
Terjual tiga ratus ribu eksemplar, sudah dicetak ulang lima puluh kali dan menjadi buku pengembangan diri terlaris di indonesia, “Filosofi Teras” karya Henry Manampiring sukses menjadi trigger atau pemicu populernya filosofi stoisisme di Indonesia. Tentu saja Ferry Irwandi juga berkontribusi besar dalam gelombang ini.
ADVERTISEMENT
Which is ini sangat baik bagi masyarakat kita, fenomena ini bisa menjadi gerbang awal untuk membumikan filsafat di indonesia. Stoisisme memang cocok menjadi pembuka karena mudah dipahami dan lebih menonjolkan nilai-nilai praktis sehingga mudah diterima masyarakat luas. Tapi seiring dengan popularitasnya, semakin hari semakin banyak simplifikasi dan akhirnya menimbulkan kesalahpahaman tentang bagaimana sebenarnya pemikiran-pemikiran para stoik.
Bagi saya, fenomena ini adalah cerminan bahwa mempelajari teori-teori filsafat dengan terstruktur dan sistematis masih belum bisa dijadikan topik cemilan dalam diskusi sehari-hari masyarakat umum di Indonesia. Bergesernya pemahaman tentang Stoisisme menjadi Toxic Positivity, adalah salah satu bukti nyata mentalitas masyarakat kita belum siap berfilsafat.
Meski saya yakin, tren hari ini mulai membaik dengan kehadiran Ngaji Filsafat dari pak Faiz yang mempelopori kajian filsafat secara ringan dan mudah dipahami oleh semua kalangan. Juga kehadiran Guru Gembul yang sukses memantik banyak diskusi di masyarakat tentang logika dan etika dengan pendekatan populis.
ADVERTISEMENT

Lompatan Nalar

Mempelajari materi pengantar filsafat adalah hal yang benar-benar membosankan dan menjengkelkan, tapi akhirnya saya mengerti mengapa itu menjadi penting. Fenomena yang terjadi hari ini tentang simplifikasi dari filosofi stoa adalah salah satu contoh akibat dari adanya lompatan nalar yang keluar dari kaidah-kaidah berpikir filosofis.
Dalam filsafat, kita mengenal tahapan berpikir yang terdiri dari epistemologi, ontologi, dan akhirnya aksiologi. Epistemologi, yang berkaitan dengan cara kita memperoleh pengetahuan, adalah langkah pertama yang krusial. Tanpa memahami bagaimana kita mendapatkan pengetahuan, kita tidak dapat melanjutkan ke ontologi, yaitu studi tentang keberadaan dan hakikat realitas. Posisi aksiologi, yang berisi nilai-nilai dan norma-norma etis, seharusnya menjadi puncak dari hasil perenungan filosofis. Melompat langsung ke aksiologi tanpa memahami dasar epistemologis dan ontologis hanya akan membuat kita kehilangan konteks yang penting untuk memahami nilai-nilai tersebut.
ADVERTISEMENT
Jangan heran dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa Indonesia didaulat menjadi negara paling religius di dunia tetapi juga menempati posisi tertinggi dalam jajaran negara-negara terkorup dan terkotor di dunia. Ini menjadi paradoks, karena bagaimana mungkin orang dianggap religius tetapi ternyata tidak linier dengan implementasinya? Fenomena ini mencerminkan adanya kesenjangan antara keyakinan dan tindakan, yang mungkin disebabkan oleh lompatan nalar yang sama.
Masyarakat Indonesia tidak asing dengan ritual-ritual peribadatan. Namun, banyak dari aktivitas tersebut hanya menjadi rangkaian simbolis yang kosong, karena tidak diimbangi dengan pondasi yang kuat untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan mendasar seperti, mengapa kita harus beribadah? Apa esensi dari ibadah? Tanpa pemahaman yang mendalam tentang epistemologi dan ontologi, praktik ibadah ini menjadi kehilangan makna dan tujuan yang seharusnya menjadi pendorong untuk berbuat baik secara moral.
ADVERTISEMENT

Filsafat bagi Negara Si Paling Religius

“Tong diajar filsafat, bisi gelo mun teu kataekan mah”(jangan belajar filsafat,nanti kamu bisa gila kalo gak kuat), ujar seorang teman lulusan pesantren sedang memperingatkan saya. Ini tentu bentuk kepedulian dari seorang teman. Meski saya gatel pengen remes mulutnya, saya coba memahami kenapa dia bisa berpikir seperti itu.
Pada zaman keemasan Islam, filsafat atau ilmu hikmah bukan barang langka bagi orang-orang Islam. Tokoh seperti Al-Farabi sukses membuktikan bahwa ada orang-orang yang membudayakan tradisi bernalar di kalangan muslim. Namun entah bagaimana ceritanya, hari ini ilmu hikmah justru berbeda jauh dengan ilmu hikmah di era Al-Farabi. Ilmu hikmah yang harusnya bergelut soal penalaran justru identik dengan hal-hal diluar nalar seperti bisa terbang, berjalan diatas air, menghajar orang tanpa menyentuh dan menebak angka togel.
ADVERTISEMENT
Jika dari perspektif ini maka wajar lah teman saya memperingatkan saya, karena mungkin dalam bayangannya jika saya terlalu mendalami filsafat saya bisa saja tiba-tiba berdiri diatas rel kereta api dengan penuh percaya diri dapat menghentikan kereta dengan satu jari.
Beberapa waktu lalu, saya membuat konten di channel youtube saya, Celoteh Damar (sekalian promosi hehe). Kontennya membahas Stoisisme dan kesalahpahamannya. Lalu ada komentar menarik dari penonton, “Bang kenapa harus stoik, sedang di agama kita sudah ada filsafatnya sendiri?”. Pertanyaan ini membuat saya merenung sejenak, iya juga yah kenapa saya harus repot-repot mempelajari filsafat dan hasil pemikiran para filsuf, sedangkan saya sudah beragama dan jelas ada tuntunan-tuntunan dalam agama untuk segala hal.
ADVERTISEMENT
Lalu saya teringat ucapan pak Fahrudin Faiz dalam salah satu kajiannya, bahwa benar banyak hasil pemikiran filsuf yang bertolak belakang dengan agama, dan tidak sedikit dari mereka yang memang Atheis, tapi itu tidak lantas membuat hasil pemikiran mereka tidak penting untuk dipelajari.
Kita hanya perlu mencocokan pemikiran mana yang selaras dan pas dengan kebutuhan kita. Filsafat bukanlah agama yang memiliki konsekuensi pahala dan dosa jika kita mengambil sebagian dan mengabaikan sebagian lainnya.
Ketakutan mempelajari hasil pemikiran dari kalangan luar kelompok kita, membuktikan bahwa kita tidak siap menguji kebenaran dan kebijaksanaan yang kita yakini. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa contoh kasus orang yang mempelajari filsafat dan akhirnya keluar dari keyakinan agama, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak filsafat.
ADVERTISEMENT
Seperti ketika Ibnu Rusyd meng-counter Al-Ghazali dengan mengatakan bahwa sesuatu yang secara karakteristik dan esensial mampu memberikan manfaat, tidaklah boleh disia-siakan hanya karena adanya fenomena bahaya yang terkait dengannya secara aksidental. Analoginya sama dengan gunting yang bisa digunakan untuk membunuh, tidak lantas menjadikannya haram digunakan, karena ada manfaat lain yang lebih esensial seperti memotong kertas dan membuka bungkusan kopi sachetan. Begitupun filsafat, hanya karena ada beberapa orang yang tenggelam dalam kolam Atheisme karena filsafat, tidak lantas menjadikannya dilarang.
Selain itu, mempelajari hasil pemikiran para filsuf juga melatih kita untuk bernalar dan menemukan kebijaksanaan sejati atau makna hidup kita sendiri. Ada baiknya kita mengingat nasihat dari Al-Kindi dalam al-Falsafah al-Ula berikut :
ADVERTISEMENT
“Kita hendaknya tidak merasa malu untuk mengakui sebuah kebenaran dan mengambilnya dari manapun dia berasal, meski dari bangsa-bangsa terdahulu maupun dari bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil kebenaran dari orang lain tersebut tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat sang pencari kebenaran, melainkan justru menjadikannya terhormat dan mulia”.
Negeri kita butuh sosok Fahrudin Faiz dan Guru Gembul dalam jumlah yang banyak untuk bisa membumikan Filsafat di tanah air untuk mengurangi kasus-kasus kematian karena santet dan penggerebekan babi ngepet.
Konten-konten filsafat yang dikemas dengan ciamik dan relate dengan persoalan kekinian terbukti sukses menarik perhatian khalayak. Buku seperti Filosofi Teras bisa menjadi rujukan bagaimana konsep yang abstrak dapat disederhanakan dan dibungkus semenarik mungkin agar langsung terasa dampaknya bagi kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT