Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Etika dalam Darurat Korupsi
1 Januari 2021 5:27 WIB
Tulisan dari Yasmin Arnetta Firza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Korupsi secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang merugikan keuangan negara akibat penyalahgunaan wewenang seseorang. Dalam hal ini, pejabat publik merupakan pihak yang memiliki kewenangan tertentu yang sangat berpotensi untuk melakukan penyalahgunaan terhadap wewenang yang dimilikinya. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga anti rasuah di Indonesia, selama periode tahun 2004-2019 kasus korupsi paling banyak terjadi di lingkungan pemerintah pusat dengan total kasus sebanyak 359. Kondisi ini dapat menimbulkan turunnya kepercayaan publik pada pemerintah yang tentunya harus segera diperbaiki. Pemerintah pusat merupakan organisasi pemerintah yang memiliki peran strategis dalam kebijakan karena memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan itu sendiri, serta merupakan inisiator dari eksekusi kebijakan tersebut ke daerah-daerah yang ada di bawahnya.
ADVERTISEMENT
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa dalam periode 2014-2019 total kerugian negara akibat korupsi terakumulasi sebanyak Rp 168 triliun. Pada periode sebelumnya, yaitu dalam rentang tahun 2001 sampai tahun 2015, riset para ekonomi di Indonesia menyimpulkan bahwa kerugian negara akibat korupsi mencapai angka Rp 203 triliun. Pada tahun 2020, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa negara telah mendapat kerugian sebanyak Rp 39,2 triliun akibat korupsi yang dilakukan selama semester I tahun 2020. Ada beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk memberantas korupsi seperti melakukan digitalisasi pada bidang pelayanan, menerbitkan kebijakan-kebijakan tentang korupsi, dan juga kerja sama dengan negara asing. Kajian-kajian tentang korupsi juga sudah banyak diterbitkan sehingga muncul ide-ide tentang bagaimana pemberantasan korupsi dapat dilakukan. Apabila oknum-oknum tertentu terus mencari celah dalam sistem yang telah disusun sedemikian rupa, peluang terjadinya kasus korupsi akan semakin tinggi. Tinjauan etika sebagai pendekatan dalam upaya pemberantasan korupsi merupakan salah satu pendekatan yang mendasar karena langsung mengambil perspektif dari seorang pejabat publik.
ADVERTISEMENT
Saat seseorang ditangkap karena korupsi, KPK dan kepolisian akan mendalami berapa jumlah uang yang dikorupsi, pihak mana saja yang terlibat, berapa banyak harta dan aset yang dimiliki oleh seorang koruptor. Indonesia sudah menerapkan standar-standar tertentu bagi pekerja, termasuk pegawai negeri yang dihitung berdasarkan biaya hidup yang dibutuhkan. Dorongan untuk memiliki kehidupan yang mewah dapat memicu seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Pandangan hedonisme menjadi salah satu permasalahan. Permasalah dari adanya pandangan ini adalah bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas. Memaksimalkan kepuasan merupakan tindakan yang tidak memiliki ukuran sehingga segala cara mungkin akan dilakukan untuk memenuhi kepuasan diri seseorang.
Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi persoalan gaya hidup para aparatur negara. Hal ini dilakukan dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang diperuntukkan pada pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Kementerian, TNI, Kejaksaan, Kepolisian, Lembaga Pemerintah, Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara, Kesekretariatan Dewan/Komisi/Badan, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kota, dan Pemerintah Kabupaten. Adanya upaya untuk bersikap profesional dan sesuai dengan etika sebagai aktor publik dapat dianggap sebagai salah satu hal yang progresif. Akan tetapi, melihat konsekuensi hukum yang ada ternyata peraturan semacam ini tidak begitu kuat dan berpotensi dapat diulangi kembali. Dalam hal ini kesulitan ditemukan karena adanya dilema untuk mengatur etika secara ketat. Etika merupakan sumber hukum, tetapi tidak semua etika diformalisasi menjadi aturan hukum. Sejak awal pun Indonesia telah mengglorifikasi dirinya sebagai negara hukum, yang berarti bahwa apapun boleh dilakukan asal tidak melanggar hukum. Permasalahan sering kali muncul saat suatu tindakan pemerintah telah sesuai hukum, tetapi tidak sesuai dengan etika sebagai pejabat publik yang terkadang banyak yang tidak tertulis.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya salah satu kasus dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh Jaksa Pinangki Sirna Malasari dimana dirinya terlihat bertemu dengan tersangka kasus korupsi Bank Bali, Djoko Tjandra. Beliau terlihat sedang makan bersama dengan Djoko Tjandra dan pengacaranya. Peristiwa ini menjadi perdebatan bahwa sebenarnya tidak ada larangan bagi seorang jaksa untuk melakukan makan bersama. Namun, hal ini dianggap tidak etis melihat peran dari jaksa yang seharusnya menuntut tersangka dan berupaya untuk membuktikan tindakan tersangka. Sementara dalam foto ini terlihat seperti adanya kedekatan antara seorang jaksa dengan tersangka kasus korupsi. Hal ini dapat menimbulkan persepsi dan potensi bahwa nantinya hasil persidangan kasus tersebut tidak seperti yang diharapkan karena memungkinkan adanya subjektivitas dalam melihat kasus yang sedang ditanganinya.
ADVERTISEMENT
Korupsi merupakan tindakan buruk yang dapat terjadi di daerah, tingkatan, dan organisasi apa saja, bahkan mungkin saja terjadi di kepolisian atau pun KPK. Perlu adanya suatu sistem yang kuat dan ketat untuk mencegah, mendeteksi, dan menindak tindakan korupsi. Sampai saat ini sudah ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk melakukan pemberantasan korupsi, seperti digitalisasi pelayanan-pelayanan publik, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, menerbitkan peraturan-peraturan yang mendukung pemberantasan korupsi, penguatan sumber daya manusia, dan lain-lain. Tetapi pada kenyataannya, upaya-upaya tersebut belum cukup kuat untuk memberantas korupsi karena faktanya korupsi masih terjadi, bahkan dilakukan oleh pejabat di tingkat pemerintah pusat. Ditinjau dari etika, korupsi akan terus terjadi selama tidak ada kontrol diri dari pejabat publik. Dibutuhkan kepastian dan penegakan hukum, sistem, dan kepemimpinan yang kuat untuk memberantas korupsi.
ADVERTISEMENT
Pentingnya penanaman kode etik pada aktor publik agar terhindar dari tindak pidana korupsi. Untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah tentu para pejabat sudah sangat mengerti karena latar belakang pendidikannya yang tinggi dan memiliki karakter yang matang. Tetapi etika bukan hanya sekedar untuk diketahui, tetapi nilai-nilainya juga harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini seharusnya pendidikan etika dan moral harus dikuatkan, terutama pada anak-anak muda sebagai calon penerus bangsa ini. Memperketat pelaksanaan etika dengan menjadikannya hukum formal juga dapat dijadikan pertimbangan untuk meningkatkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Oleh : Nadila Puan, Nindita Cahya, Siti Zaila, Yasmin Arnetta ; Universitas Indonesia
Referensi
ADVERTISEMENT
Alatas. (1987). Korupsi: Sifat dan Fungsi. Jakarta: LP3ES.
Bertens, K. (2011). Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bologna, J., Robert J, Lindquist, & Wells, J. T. (1993). The Accountant's Handbook of Fraud and Commercial Crime. New York: John Wiley & Sons.
Cressey, D. R. (1973). Other People's Money: a Study of the Social Psychology of Embezzlement. Montclair: Patterson Smith.
Dutelle, A., & Taylor, R. (2018). Ethics for the Public Service Professional. Boca Raton: CRC Press.
Kartono. (1983). Pathologi Sosial. Jakarta: CV. Rajawali Press.
Klitgaard, R. (2001). Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nurdjana, I. (1990). Polri dan Penindakan Korupsi. Jakarta: Majalah Sumanasa Wira Sespim Polri.
Salam, B. (2000). Etika Individu Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Rineka Cipta.
ADVERTISEMENT