Konten dari Pengguna

Putih Abu Perangkai Kenangan

Yasmin Najla Alfarisi
Mahasiswa Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta
13 Juni 2024 11:44 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yasmin Najla Alfarisi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret empat sekawan di bangku SMA. Foto: Dokumentasi pribadi/ Yasmin Najla Alfarisi
zoom-in-whitePerbesar
Potret empat sekawan di bangku SMA. Foto: Dokumentasi pribadi/ Yasmin Najla Alfarisi
ADVERTISEMENT
Pernahkah anda merasa frustasi, lalu gembira tak lama setelahnya? Karena saya pernah. Itu ketika saya mengenal dia. Yang kehadirannya tak pernah terbayangkan oleh saya.
ADVERTISEMENT
Dia yang dimaksud, saya temui di Sekolah Menengah Atas. Dia yang mewarnai hari-hari saya. Awal kenal, saya kira dia orang yang pendiam. Ternyata, dia juga mengira hal yang sama tentang saya. Orang bilang, itu adalah awal dari sebuah hubungan yang menyenangkan. Tak mau bohong, memang kata-kata itu benar. Saya yakin anda juga memiliki hubungan seperti ini.
Saya bukan orang yang mudah beradaptasi. Bukan juga orang yang punya teman sana-sini. Mungkin anda yang sedang membaca lebih berpengalaman dalam menjalin hubungan. Yang saya tahu, bersama dia awalnya terasa canggung. Segala hal saya tertawakan. Ini karena saya tidak mau kehilangan dia. Perlahan, kami menemukan kesamaan, dan akhirnya, tawa kami menjadi jernih.
Bersama dia, hal-hal biasa menjadi luar biasa. Candaan di luar kepala yang jika orang lain dengar, belum tentu mereka paham. Sebuah kalimat yang bisa ditertawakan selama 3 minggu berturut-turut dan masih tidak bosan juga. Sesederhana saling menyenggol saat orang yang kami tidak sukai lewat di depan kami. Sesederhana “Ayam Mbak Ika”, menu kantin favorit kami.
ADVERTISEMENT

Saling Melengkapi

Semakin jauh mengenal dia, semakin terlihat kekurangannya. Namun, kita semua manusia, bukan? Wajar saja jika tidak sempurna. Kami candakan kekurangan itu hingga melekat pada diri kami bak lakban hitam di dinding putih. Contohnya, saya bisa dibilang “bolot”, dalam artian, saya kurang peka dalam mendengar. Bukan apa, tapi seringkali saya sedang fokus dengan satu hal ketika diajak bicara. Nyatanya, perempuan bisa multitasking itu tidak selalu benar.
Tidak jarangnya dia “tarik urat” demi saya dapat mengerti omongannya. Sudahlah saya banyak tanya, bertemu pula dengan amarahnya. Cocok kan, kami jadi saling melengkapi. Mau tidak mau dia hadapi itu, walau pitam sudah di ujung kepala. Tapi tenang saja, karena tak lama “kebolotan” ini menular padanya. Padahal dia satu-satunya harapan ketika saya susah paham. Eh, ternyata saya malah menyeret dia.
ADVERTISEMENT
Saat inilah yang membuat kami sama-sama frustasi. Ketika kami berganti-gantian tidak paham. Yang lucunya lagi, kami keras kepala. Tidak ada yang mau kalah. Karena kalah berarti siap diolok berminggu-minggu. Saat pandemi, kebanyakan kegiatan dilakukan lewat Zoom. Pernah kami berdebat soal petugas pengibar bendera di Hari Guru yang dikira teman kami, padahal teman itu sedang berbincang di chat dengan kami. Tak lama, kami tahu kalau itu ternyata pre-record atau telah direkam sebelumnya. Berarti bisa jadi itu teman kami. Saat itu saya meminta maaf pada dia. Melawan gengsi sekali.

Sharing is Caring

Sebelum melanjutkan, saya ingin membuat klarifikasi. Sebenarnya, “dia” yang berkali-kali saya maksud bukan dia. “Dia” sebenarnya mereka. Tiga teman yang membantu saya melewati hiruk pikuk SMA. Orang-orang yang saya temui di bangku kelas satu. Dari saya yang masih sendiri, perlahan berkumpul jadi dua, dari dua menjadi tiga, hingga akhirnya tiga menjadi empat.
ADVERTISEMENT
Selain kami berempat saling melengkapi, kami juga bisa dibilang menganut pepatah lain, yaitu sharing is caring. Tapi dengan saya menularkan hal buruk, tentu bukan caring namanya. Di awal sekolah, hanya saya yang mengenakan kacamata. Sedari SMP, memang saya mengidap rabun jauh. Ketika kami masuk kembali pasca meredanya pandemi di kelas tiga, saya mendapati mereka bertiga jadi pengguna kacamata juga. Jadilah kami empat sekawan dengan empat mata. Kalau dijumlah, mata kami ada 16 banyaknya. Dengan delapan mata yang fungsinya sudah berkurang akibat seringnya menatap layar.
Kilas balik kala pandemi. Kami berbincang lewat chat perihal tugas, ujian dan lain sebagainya. Lagi-lagi akibat susah paham, membaca chat seolah membaca script drama. Menggunakan full capslock atau huruf besar, untuk menekankan omongan. Tak jarangnya kami berbagi kunci jawaban. Apalagi di kelas dua dan tiga kami pisah kelas. Jadi saat satu kelas sudah ujian, kelas yang lain bisa kecipratan soal dan jawabannya.
ADVERTISEMENT
Oh iya, kami berempat mendalami ilmu sosial. Namun, saya satu-satunya yang kurang tertarik dengan dunia seni, setidaknya dulu. Mereka cukup terarah dengan apa yang diinginkan, dan sekarang tengah melanjutkan studi di Jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) dan Animasi. Sedangkan saya? Saya sedang berkutat dengan dunia Jurnalistik, yang tidak banyak sangkut pautnya dengan DKV dan Animasi. Jadi, kadangkala saya merasa kurang paham omongan mereka.
Saya awalnya kebingungan dengan minat dan tujuan setelah lulus SMA. Mereka yang membantu saya akhirnya tertarik dengan Jurnalistik, yang tadinya keras kepala ingin Ilmu Komunikasi. Dijelaskan kalau jurnalistik itu “anaknya” Ilmu Komunikasi, jadi yang saya pelajari juga tidak akan jauh-jauh dari minat saya. Tidak terbayang kalau sampai saat ini saya tidak tahu apa-apa. Bisa jadi saya sedang jadi mahasiswa Akuntansi seperti yang orang tua saya sarankan.
ADVERTISEMENT

Merasa Dekat, Meski Jauh

Setelah kami resmi lulus di tahun 2022, kami berpisah. Maksudnya, jarak tempat kami menempuh pendidikan tidak sedekat dulu. Ada yang di Jogja, Bintaro, dan saya di Depok. Bertemu pun tidak bisa sering-sering, hanya saat libur semester. Itu juga kalau waktu libur kami bersamaan. Sayangnya, liburan saya yang paling berbeda dengan mereka. Bisa beda 2-3 mingguan. Sampai saat ini, saya selalu mengusahakan untuk bertemu walau di sela-sela kuliah.
Setiap bertemu, omongan kami tidak jauh dari “Ingat gak dulu?” jadi bernostalgia. Uniknya, setiap kali kami membahas “dulu”, selalu ada informasi tambahan. Tidak habisnya, bahkan merembet ke yang lain. Kami juga menceritakan kehidupan kuliah yang sekarang, walau harus menjelaskan dari awal. Kami menggebu-gebu mendengar kisah satu sama lain. Seolah kami juga berada dalam kisah tersebut.
ADVERTISEMENT
Walau kini kami sudah bukan bagian hidup satu sama lain, tapi saya masih merasakan kebahagiaan saat mengingat mereka. Membaca ulang chat, mengingat obrolan kami, melihat foto dan video yang kebanyakan tidak jelas maksudnya. Saya senang bisa mengenal mereka. Saya juga berharap bisa terus melihat mereka meningkatkan diri, meskipun hanya dari jauh. Saya harap, kami bisa selalu tersenyum saat bertemu, dengan banyak kabar yang ingin diberitahu. Saya sadar, saya bukan teman yang sempurna, tapi kenangan bersama mereka selalu membuat hati saya hangat.
Semoga mereka selalu bahagia.