Mampukah Media Cetak Bertahan di Era Digital?

YASMINE AMALIA RUSNANDHA
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII
Konten dari Pengguna
19 Maret 2021 6:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari YASMINE AMALIA RUSNANDHA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi koran. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi koran. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Media cetak merupakan salah satu bentuk dari media komunikasi massa. Media cetak ditemukan pertama kali oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1455. Pada awalnya ia menggunakan media cetak untuk mencetak bible melalui teknologi yang ia temukan itu. Dengan teknologi tersebut juga mendorong peningkatan produksi buku pada zaman itu. Pada perkembangan awal, media cetak dibuat dengan menggunakan mesin tik untuk membuat suatu iklan produk, agar iklan produk tersebut lebih menarik biasanya ditambahkan gambar-gambar atau animasi yang dibuat secara manual menggunakan pena.
ADVERTISEMENT
Pada periode 1960-an, media cetak mengalami perubahan besar. Mesin tik yang telah lama digunakan untuk menghasilkan tulisan digantikan dengan mesin komputer. Mesin komputer dianggap lebih ekonomis dan efisien karena selain dapat menghasilkan tulisan, mesin ini pun juga dapat menghasilkan gambar maupun ilustrasi. Selain itu, dengan mesin komputer kita tidak perlu membuang kertas bila ingin mengganti tulisan yang salah. (Rantona, 2016). Dengan perkembangan mesin komputer ini pun mempengaruhi perkembangan mesin lain seperti mesin fotokopi maupun printer.
Media cetak yang berkembang di masyarakat Indonesia yaitu majalah, koran, booklet dan brosur, surat langsung, handbill atau flyer (sebaran atau edaran), billboard, press release, dan buku. Tetapi pada era digital seperti ini, ternyata mendatangkan malapetaka bagi media cetak. Seperti pakar komunikasi terkenal, Philip Meyer, menyebut koran pada 2044 akan berhenti cetak, bisa jadi kenyataan kalau tak ada inovasi baru dari pimpinan koran untuk menyikapi perkembangan yang ada (Nurdin, 2009).
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri pun telah banyak media cetak yang telah menghentikan penerbitannya seperti, Sinar Harapan, Harian Bola, Jakarta Globe, Harian Jurnal Nasional, Rolling Stone Indonesia, dan masih banyak lagi. Tempo sendiri masih mempertahankan produk majalahnya karena mereka menganggap bahwa produk tersebut masih menguntungkan.
Meskipun berdasarkan survei Nielsen Consumer & Media View (CMV) kuartal III 2017 yang dilakukan di 11 kota dan mewawancarai 17.000 responden, saat ini media cetak memiliki penetrasi sebesar 8 persen dan dibaca oleh 4,5 juta orang. Dari jumlah tersebut, 83 persennya membaca koran. Koran dianggap dapat dipercaya. Tetapi, angka tersebut terus menurun hingga mencapai di bawah 400 ribu pada akhir triwulan IV 2018 lalu. Selain sedikit pembacanya, pemasukan dari iklan pun juga mulai menurun. Dengan begitu, media cetak harus mencari inovasi baru untuk mempertahankan industrinya.
ADVERTISEMENT
Beberapa media cetak di Indonesia mulai bergerak membuat platform digital dengan menyajikan cara kerja jurnalisme serba cepat. Seperti Kompas yang membuat Kompas.com ataupun Tempo yang membuat Tempo.co. Sayangnya, dengan adanya platform digital tersebut membuat kualitas berita mereka lebih rendah daripada versi cetaknya. Media daring di Indonesia sendiri memang lebih fokus dalam memproduksi berita-berita cepat dan pendek dengan 2-3 narasumber (Zuhra, 2017).
Kompas lalu mengevaluasi dengan menerbitkan Kompas.id pada tahun 2017. Kompas.id memiliki ciri khas pemilihan huruf, warna, dan yang paling penting adalah mutu jurnalisme. Para pembaca cukup membayar Rp 40.000 untuk mengakses semua berita maupun artikel di Kompas.id. Hal tersebut cukup logis karena dengan adanya berlangganan akan menumbuhkan iklim yang baik untuk keuangan sebuah media daring karena media tidak berfokus pada trafik dan lebih mengedepankan mutu jurnalisme.
ADVERTISEMENT
Selain itu media di Indonesia mungkin dapat mengikuti langkah media The Guardian dari Inggris yang mempertahankan eksistensi mereka melalui donasi. Pimpinan Redaksi The Guardian, Katharine Viner, menyatakan bahwa saat ini independensi media mudah dicampur tangani oleh pemilik modal. The Guardian pun memberikan penjelasan tentang bagaimana mereka tidak ingin terikat dengan pemilik modal untuk mempertahankan independensinya (Melati, 2019).
Adanya ancaman bagi media cetak pada era digital ini memang tidak bisa dipungkiri. Untuk menghadapi era ini, media-media memang harus aktif dalam melakukan riset agar tidak tergerus zaman. Media cetak sendiri memiliki ciri khas dengan berita yang jelas, mendetail, dan lengkap. Selain itu, media cetak juga telah ada selama ratusan tahun dan juga telah menyertai peradaban manusia sehingga sulit untuk ditinggalkan begitu saja. Meskipun media daring lebih fleksibel dan cepat tetapi dalam situasi ini, belum semua masyarakat dapat mengaksesnya.
ADVERTISEMENT
Untuk dapat bertahan, media cetak harus berupaya menjaga integritas dan kepercayaan atas berita yang dipublikasikan. Integritas dan kepercayaan masyarakat ini hanya bisa dibentuk bila wartawan dapat bekerja dengan jiwa yang profesional dengan berpegang pada etika jurnalisme yaitu menyajikan informasi yang faktual dan terverifikasi dengan baik. Media cetak harus mempertahankan ciri khasnya dalam menyajikan sebuah berita. Media cetak bukanlah sekadar kertas, tetapi memiliki kekuatan dan nilai pada tiap tulisannya.