Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Oh Ibu, Beginikah Rasanya Jadi Perempuan?
24 Desember 2023 11:19 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Yasmine tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sehari setelah perayaan Hari Ibu Nasional, saya justru semakin sadar bagaimana sulitnya hidup di dunia yang katanya dunia laki-laki ini.
ADVERTISEMENT
Saya terlahir sebagai perempuan, lalu seiring beranjak dewasa, saya mulai sadar bahwa jadi perempuan tidak bisa dibilang mudah. Hidup ini seakan membuat kaum adam menjadi pemeran utama di dalamnya.
Banyak sekali kesengsaraan yang saya sadari, dimulai dari ketika perempuan memakai rok mini dengan tujuan ingin terlihat cantik, tetapi mereka dengan percaya dirinya merasa bahwa alasan di balik rok mini tersebut adalah untuk mereka, jadi sah-sah saja jika mereka melihat perempuan sebagai objek.
Saya akan dicap sebagai perempuan tidak benar ketika melakukan hal-hal yang diwajarkan pada mereka dengan alasan “namanya juga cowok.” Kemampuan perempuan akan diragukan ketika berperan di tempat yang biasanya diisi oleh lelaki.
Selain kesengsaraan-kesengsaraan itu, kami, perempuan, lahir dengan stereotip pembawa fitnah, tumbuh besar lalu hanya dilihat sebagai objek atas nafsu kaum adam. Kami akan disamakan dengan permen, ikan, dan banyak hal konyol lainnya.
ADVERTISEMENT
Kami dituntut untuk jaga diri, disalahkan atas pakaian yang kami kenakan, dituntut untuk menjaga aurat, ketika sudah jelas beberapa laki-laki tidak tahu cara menempatkan nafsunya atau bahkan menaruh otaknya di balik resleting celana.
Pilihan kami, perempuan, seakan-akan terbatas. Perempuan harus menikah cepat kalau tidak nanti diolok-olok tetangga dan dicap sebagai perawan tua, sudah lelah setelah melahirkan nanti urusan anak dilimpahkan sepenuhnya kepada perempuan sebagai istri, kalau mengeluh nanti dibilang tidak tunduk pada suami.
Jika mengalami kekerasan atau ketidakadilan, kami tidak boleh mengadu atau bercerita ke siapa pun karena akan dicap sebagai penyebar aib suami. Hidup kami seakan dituntut untuk harus sesuai garis yang sudah ditentukan dari lama, lahir-tumbuh menjadi dewasa-menikah-punya anak-memberikan kehidupannya kepada suami dan anak-lalu dikenal sebagai pemeran di belakang, seakan kami hidup hanya untuk menjalankan misi dan sebagai pelengkap.
ADVERTISEMENT
Lucunya, setelah tahu banyak kemalangan sebagai istri, saya masih dinasihati, kalau jadi perempuan saya harus lebih “nerimaan.” Saya harus menerima saja jika calon pasangan yang nanti datang kepada saya tidak seperti apa yang saya mau, dan jika sudah menikah nanti saya harus sadar bahwa jika sudah di luar rumah, saya ini tetap wanita bersuami tetapi beda cerita dengan calon suami saya nanti, katanya saya tidak boleh mengekang calon suami saya karena dia bukan milik saya sepenuhnya lagi jika di luar rumah. Lebih lucunya lagi, kata-kata itu berasal dari perempuan yang jelas saya tahu, hidupnya sengsara karena dipenuhi laki-laki tidak tahu diri.
Masyarakat akan marah seakan tidak terima fakta bahwa perempuan punya pilihan dan bisa untuk memilih atas jalan hidupnya. Menikah tidak menikah, ingin mempunyai anak atau tidak, ingin memiliki karier atau jadi ibu rumah tangga, kami bebas untuk memilih karena ini hidup kami dan milik kami seutuhnya. Kadang saya berpikir, mengapa hidup perempuan bisa sangat diatur bahkan untuk hal sekecil pakaian yang kami kenakan?
ADVERTISEMENT