Setuju Untuk Tidak Setuju

“Mana ada dewi punya k*nt*l,” sebuah quote tweet yang ditujukan untuk video seorang pria berpenampilan cantik yang berjalan di runway sebuah event. Tweet tersebut di-reply oleh sebanyak tujuh ratus lebih pengguna Twitter. Banyak diantaranya mengatakan tidak setuju atas pria ini dengan penampilannya yang seperti perempuan, kebanyakan dari mereka adalah laki-laki cis gender, dan tidak sedikit yang membawa alasan agama atas ketidaksetujuannya tersebut. Karena hal itu, mereka beranggapan bahwa halal bagi mereka untuk menghina dan melecehkan dengan alasan berpenampilan tidak seperti kodratnya itu salah di mata Tuhan. 

“Mbok ya sing normal-normal ae, aku wedi kiamat.” 

Mereka beranggapan bahwa pilihan dalam menanggapi hal-hal macam itu hanya dua, yaitu pertama, karena itu salah mari kita benci. Atau kedua, karena itu benar mari kita dukung. Seakan-akan warna hanya hitam dan putih. Seakan-akan huruf hanya A dan Z. Pilihannya jelas ada selain dua hal tersebut, kenapa tidak memilih untuk tetap tidak setuju dan tidak perlu menghina? Seakan itu salah di mata Tuhan, lalu kita sebagai sesama manusia berhak untuk menganggap rendah, melecehkan, dan kita lah yang paling benar. 

Perbedaan pilihan itu bukan suatu hal luar biasa. Foto: Hasil jepretan penulis.

“Aku tidak setuju atas apa yang kamu perbuat, aku tidak mendukung perbuatan itu, tetapi bukan berarti kamu berhak atas segala hinaan yang keluar dari mulutku, bukan berarti halal untuk jariku melempar kata-kata kasar kepadamu. Hidupmu, pilihanmu.” 

Menoleransi pilihan orang lain, memilih tetap diam atau memberi nasihat jika diminta, menghindar untuk hanya bisa membenci padahal hidup dan memilih adalah hak setiap individu. Ternyata dari dua pilihan selain membenci atau mendukung, masih ada pilihan setuju untuk tidak setuju.