Konten dari Pengguna

Marah, Sedih, Kecewa Itu Wajar!

Yasyifa Ramadlina Dzikri
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
16 Desember 2020 11:01 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yasyifa Ramadlina Dzikri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Unexpressed emotions will never die. They are buried alive and will come forth later in uglier ways.” ― Sigmund Freud
ADVERTISEMENT
Jika melihat dari quotes di atas apa yang pertama kali anda pikirkan? Apakah itu berarti ketika kita marah atau merasakan kecewa harus kita luapkan begitu saja agar lega? Atau mungkin bertanya-tanya seberapa pentingkah kita mengekspresikan emosi yang kita rasakan dan mengapa kita harus mengekspresikannya? Atau sekedar berpikir apakah selama ini saya sudah mengekspresikan setiap emosi yang saya rasakan?
Sebelumnya kita perlu mengenal apa itu emosi, (Wade et al., 2016, hlm. 57) emosi adalah suatu kondisi rangsangan yang melibatkan perubahan raut wajah dan tubuh, aktivasi otak, penilaian kognitif, perasaan subjektif, dan kecendrungan terhadap suatu tindakan. Emosi sangat penting bagi manusia, sebab dengan adanya emosi manusia dapat menentukan tindakan apa yang akan mereka lakukan. Contohnya ketika melihat ada seseorang yang sedang membutuhkan bantuan, emosi manusia dapat menggerakan ia untuk menolong orang tersebut. Selain itu emosi dapat menjadi pelindung bagi manusia juga loh, dengan adanya emosi yang kita rasakan seperti rasa takut dan jijik dapat membuat kita terhindar dari hal-hal yang kita takutkan dan kita hindari.
ADVERTISEMENT
Emosi terdiri dari emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif contohnya bahagia, kagum, cinta, bangga, dan lain-lain. Sementara emosi negatif terdiri dari perasaan sedih, marah, kecewa, dendam dan masih banyak lagi. Emosi negatif meskipun bermakna buruk faktanya tidak selalu bernilai buruk loh. Mengapa demikian? Baik emosi positif dan emosi negatif keduanya memiliki manfaat yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Mungkin ada beberapa diantara kita yang pernah membayangkan ketika kita sedang sedih "andai saja kita hidup tanpa kesedihan, tanpa adanya amarah, apalagi luka pasti sangat menyenangkan". 1000 tahun lamanya hidup pun akan terasa menyenangkan untuk dijalani. Namun terdapat suatu kutipan dari film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini yang menyadarkan saya yaitu “Bagaimana caranya bahagia? Kalau sedih aja enggak tahu rasanya kaya apa. Kemudian saya berpikir “Iya juga ya, kalau hanya mengharapkan bahagia saja dan tidak mau sedih sangat mustahil, kita tidak akan tau apa bedanya sedih dan bahagia”. Selain itu pasti hidup ini akan terasa hambar, jika hanya bumbu bahagia saja yang kita rasakan pasti bosan dengan adanya bumbu yang lain seperti sedih, marah, kecewa, takut dan lain-lain pasti akan jauh lebih berwarna bukan?
ADVERTISEMENT
Namun faktanya, emosi positif lebih mudah kita terima dan kita ekspresikan dibandingkan dengan emosi negatif. Emosi negatif cenderung menyakitkan sehingga tidak mudah bagi kita untuk menerimanya. Kadangkala kita mungkin pernah berkata dalam hati “Saya tidak boleh marah, tidak boleh sedih, harus selalu terlihat bahagia” sebagai penyangkal dari emosi negatif yang sedang kita rasakan. Padahal emosi negatif yang kita sangkal dapat berdampak buruk bagi diri kita apabila terus dibiarkan. Bahkan emosi negatif yang tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan gangguan bagi kesehatan mental dan fisik kita. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada mahasiswa menunjukkan bahwa mahasiswa yang secara terbuka menunjukkan kekhawatiran dan ketakutan mereka kepada mahasiswa lain memiliki hubungan yang lebih baik dan tingkat kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang lebih suka menyimpan emosi untuk diri mereka sendiri (Srivastava, et al., 2009). Lalu bagaimana cara kita menghadapi setiap emosi negatif yang kita rasakan?
ADVERTISEMENT
Mungkin hal pertama yang kalian pikirkan untuk menghadapi emosi negatif yang sedang dirasakan yaitu dengan menekan emosi-emosi tersebut. Mencoba melupakan hal-hal yang membuat sedih, cemas, dan marah. Namun mencoba melupakan hal tersebut bukan merupakan keputusan yang tepat, karena setiap kita mencoba melupakan suatu hal otak kita justru lebih sering memproses pemikiran tersebut. Sehingga bukannya hilang, pemikiran tersebut akan semakin sering muncul. Oleh karena itu dibutuhkan langkah serta penanganan yang tepat.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi efek buruk dari emosi negatif yang didapatkan dari hasil penelitian adalah melalui sebuah pengakuan (confession) dengan membeberkan (bahkan kepada diri sendiri) pemikiran yang membuat anda malu, khawatir, takut, atau sedih (Pennebaker, 2002, 2011). Dalam sebuah penelitian dimana para peneliti mengumpulkan data mengenai gejala-gejala fisik, jumlah sel darah putih, emosi, dan jumlah kunjungan para mahasiswa ke dokter. Hasilnya menunjukkan mahasiswa yang menuliskan pengalaman traumatis mereka memiliki kondisi yang lebih baikd aripada mahasiswa yang hanya menuliskan topik- topik netral (Pennebaker, Kiecolt-Glaser, dan Glaser, 1988). Sebuah pengakuan menghasilkan pemahaman yang membawa kita untuk menjauhkan diri dari pengalaman buruk dan mengakhiri stress yang muncul dari perasaan obsessif serta perasaan yang belum terselesaikan (Kross dan Ayduk, 2011; Lapore, Ragan, dan Jones, 2000).
ADVERTISEMENT
Cara lain yang dapat kita lakukan yaitu dengan melepaskan pemikiran yang menimbulkan emosi negatif dan menggantinya dengan sebuah perspektif yang dapat membuat kita memaafkan pemikiran-pemikiran tersebut (Wade et al., 2016, hlm. 89). Memaafkan bukan berarti kita menyangkal, mengabaikan, atau membenarkan alasan seseorang untuk melakukan tindakan yang membuat kita marah, kecewa, atau sedih. Tetapi memaafkan artinya kita dapat berdamai dengan ketidakadilan yang kita alami dan melepaskan perasaan seperti sakit hati, marah, dan dendam (Wade et al., 2016).
Selain itu kita juga dapat melakukan regulasi emosi yaitu dengan mengontrol ekspetasi atas suatu kejadian sebelum peristiwa tersebut terjadi hal ini bertujuan agar kita tidak berekspteasi terlalu tinggi dan kemudian kecewa karena ekspetasi tersebut bereksptesilah sewajarnya, kemudian mengontrol interpretasi dengan melakukan pemikiran ulang dari berbagai perspektif, dan diakhir yaitu dengan memutuskan perilaku apa yang akan kita lakukan atas peristiwa tersebut (Satupersen-Indonesia Life School, 2020). Oleh karena itu emosi negatif tidak selamanya buruk, kita dapat memanfaatkan masa-masa ini untuk belajar memahami sekaligus mengenal diri kita lebih dalam. Karena meskipun emosi tidak bisa diatur sesuai apa yang kita inginkan, namun kita dapat mengontrol perilaku apa yang akan kita pilih untuk mengatasi emosi tersebut. Bad emotion isn’t mean a bad life it’s okay to not be okay sometimes, percayalah bahwa setiap emosi buruk maupun baik merupakan sesuatu yang wajar dan tidak akan bertahan selamanya. Hari ini mungkin kita sedih, tetapi besok bisa jadi kita merasakan bahagia yang berkali-kali lipat. Wallahu’alam, jadi jangan lupa selalu bersyukur dan bahagia ya!
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
1. Kross, Ethan, & Ayduk, Ozlem (2011). Making meaning out of negative experiences by self-distancing. Current Directions in Psychological Science, 20 (3), 187-191.
2. Pennebaker, James W. (2002). Writing, social processes, and psychotherapy : From past to future. In S. J. Lepore & J. M. Smyth (Eds). The writing cure: How expressive writing promotes health and emotional well-being. Washington, DC : American Psychological Association.
3. Pennebaker, James W. (2011). The secret life of pronouns: What our words say abous us. New York : Blommsburry.
4. Pennebaker, James W.; Kiecolt-Glaser, Janice; & Glaser, Ronald (1988). Disclosure of traumas anad immune function: Health implivations fot psychotherapy. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 56,239-245.
ADVERTISEMENT
5. Satu Persen – Indonesia Life School. (2020, 2 April). Tips mengontrol emosi dan sifat sensitif (Belajar psikologi: seri emosi manusia). [File video]. Youtube. https://youtu.be/oUDDOZZHen8
6. Srivastava, Sanjay; Tamir, Maya; McGonigal, Kelly M.; et al. (2009). The social costs of emotional suppression : A prospective study of the transition to college. Journal of Personality and Social Psychology, 96, 883-897.
7. Wade, C, Tavris, C & Garry, M. (2016). Psikologi edisi kesebelas. Penerbit Erlangga.