Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kemelut Pemilu Serentak
2 Mei 2019 17:47 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Sigit Alfian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Ntah apo Pemilu ko, lai banyak surat suaro, ntah yang mano yang den pilih” ungkap Mama Yovit, perempuan keturunan Minangkabau. Ia bingung dan gagap saat menerima lima surat suara sekaligus. Belum lagi, surat suara yang begitu besar tidak memberikan kemudahan untuk memilih.
ADVERTISEMENT
“Ba’a den ka fokus mamilih, bukak surat suaro jo susah satangah mati (Gimana saya mau fokus memilih, buka surat suara saja susah sekali)” tambahnya mengeluh.
Pemilu serentak diselenggarakan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-11/2013 tentang pemilu serentak, yang bertujuan untuk menekan pembiayaan negara dalam pelaksanaan pemilu, meminimalisir politik biaya tinggi bagi peserta pemilu, serta meretas politik uang, penyalahgunaan kekuasaan atau mencegah politisasi birokrasi dan merampingkan skema kerja pemerintah.
Kini, Pemilu 2019 telah berlangsung. Gongnya pada 17 April 2019 lalu. Meski menyisakan penggalan kisah kelam. Hampir diseluruh wilayah penyelenggara pemilu menuai banyak kritik, mulai dari penyelenggaraannya hingga ragam pelanggaran yang terjadi. Banyak pihak menilai bahwa Pemilu 2019 adalah yang paling berat dan rumit dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Hal itu diukur dari sejumlah kompleksitas yang ada, sebagai akibat dari sistem pemilu yang digelar secara serentak.
ADVERTISEMENT
Evaluasi perlu dilakukan, terutama untuk menguji pencapaian dari tujuan utama pelaksanaan Pemilu Serentak di Indonesia.
Pemilu Serentak, Semakin Membuka Ruang Politik Uang
Politik uang masih menjadi benalu dalam Pemilu 2019. Bahkan, semakin marak terjadi. Terdapat celah karena UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu hanya mengatur larangan politik uang terbatas pada waktu dan objek. Sanksi politik uang bisa dilakukan ke siapa saja, tapi hanya dalam masa pemungutan dan penghitungan suara. Namun dalam masa kampanye, selama politik uang tidak dilakukan peserta pemilu, tim kampanye, dan pelaksana kampanye, unsur subyeknya tidak terpenuhi.
Ada banyak celah yang bisa dilakukan oleh peserta pemilu untuk memengaruhi pemilih. Dengan dibolehkannya pemberian biaya transport, makan minum kepada peserta kampanye pun tampaknya pengawas pemilu di lapangan sulit membedakan mana yang disebut cost politic dan politik uang.
ADVERTISEMENT
Beberapa model politik uang bahkan menggunakan “sistem paket”. Satu kepala keluarga diberikan nominal uang sebesar Rp. 100.000 sampai dengan Rp. 300.000 dengan syarat memilih Calon Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPR Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang diusung oleh partai mereka.
Bahkan, di Jayapura terjadi transaksi politik uang sebesar Rp. 100.000.00 (seratus juta rupiah) dan ditemukan beserta kartu nama salah satu caleg yang diberikan kepada oknum petugas KPPS setempat. Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Riau. Transaksi politik uang melibatkan Kepala Desa dengan harapan dapat memobilisasi suara kepada salah satu Partai Politik.
Dengan tegas kita menyatakan perang melawan politik uang, namun di lain sisi, kita sendiri yang semakin membuka ruang bagi tindakan politik uang marak terjadi. Seharusnya segala bentuk politik uang baik dilakukan oleh seluruh unsur pemenangan baik tim maupun bukan tim kampanye dapat ditindak tegas melalui regulasi. Selama ditemukan indikasi yang menjurus kepada salah satu partai atau calon.
ADVERTISEMENT
Maraknya Politisasi Birokrasi
Pemilu Serentak diwarnai oleh maraknya praktek politisasi birokrasi. Keberpihakan sejumlah kepala daerah kepada salah satu calon berdampak pada netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Ada 900 lebih ASN yang diduga tidak netral ataupun melakukan pelanggaran kampanye.
Sebagaimana yang terjadi di Desa Kabua-Bua, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Salah satu oknum ASN masuk ke bilik suara untuk mengarahkan pilihan pemilih ke salah satu calon anggota legislatif dan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Hal ini terjadi akibat belum ada regulasi yang mewajibkan netralitas dan mengatur kode etik ASN dalam gelaran Pemilu. Dari 500 daerah, hanya 71 daerah yang memiliki regulasi kode etik yang mewajibkan ASN independen dalam Pemilu 2019. Apalagi, hal yang membuat politisasi birokrasi semakin marak terjadi adalah Bawaslu seakan melakukan pembiaran yang ditandai dengan minim penindakan terhadap ASN yang nyata-nyata tak independen.
ADVERTISEMENT
Kompleksitas Surat Suara Pemilu 2019
Pemilih diperhadapkan dengan lima surat suara sekaligus, membuat pemilih membutuhkan waktu agak lama untuk menyalurkan hak suaranya. Hal ini menyebabkan pemilih asal mencoblos, tidak menilai terlebih dahulu berdasarkan hati dan nurani mereka.
Tak hanya itu, Pilpres mendominasi Pileg. Pileg overshadow dari Pilpres. Dengan kompleksitas surat suara Pemilu 2019, banyak pemilih hanya mencoblos surat suara Pilpres dan mengabaikan surat suara Pileg.
Aksesibilitas surat suara juga bermasalah, tak memberikan kemudahan seluruh pemilih menyalurkan hak suaranya. Bagi pemilih penyandang tuna aksara misalnya, desain surat suara DPR RI hingga DPRD Kabupaten/Kota hanya menampilkan nama calon, tak menampilkan foto. Sementara regulasi kepemiluan kita masih alfa dalam mengakomodir dan menjamin pemilih tuna aksara dapat didampingi saat hendak menyalurkan hak suaranya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan temuan Pemantau AMAN, lebih dari 589 Masyarakat Adat penyandang tuna aksara yang tersebar di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan kesulitan menyalurkan hak suaranya karena tak dapat mengajukan pendampingan memilih saat hari pemungutan suara.
Masa Kampanye Panjang, Eskalasi Konflik Meningkat
Selain banyak menghabiskan cost politic dan semakin membuka ruang politik uang, masa kampanye yang panjang juga berimplikasi terhadap meningkatnya eskalasi konflik pemilu.
Pemilu Serentak hanya menghadirkan dua calon presiden dan wakil presiden. Hal ini membuat masyarakat terbelah menjadi dua poros kekuatan politik. Masa kampanye yang panjang membuat kekuatan politik dua poros tersebut semakin rentan bersinggungan, apalagi wajah politik di Indonesia kerap menggunakan politik identitas sebagai strategi memengaruhi preferensi pemilih. Tak jarang, persinggungan yang panjang antar dua poros berujung pada tindak kekerasan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, banyak petugas pengawas pemilu menerima tindak kekerasan dan intimidasi dalam berbagai bentuk. Umumnya, petugas mengalami kekerasan saat menjalankan tugas pengawasan. Bawaslu RI mencatat, ada 66 tindak kekerasan yang terjadi pada pengawas dan pemantau pemilu. Ada sembilan kasus kekerasan terhadap penyelenggara dan Pemantau Pemilu di Sulawesi Tengah, delapan kasus di Papua Barat, enam kasus di Kalimantan Selatan. Sementara di Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur masing-masing ada empat kejadian. Ada pula kasus di Maluku Utara, Kalimantan Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat masing-masing dua kejadian.
Idealnya, masa kampanye seharusnya berlangsung selama tiga bulan, sehingga tidak banyak menghabiskan waktu dan dapat mengefektifkan kerja pemerintahan. Masa kampanye yang terlalu lama akan membuat masa kerja calon yang terpilih nantinya akan berkurang. Masa kerja mereka akan dihabiskan oleh aktivitas-aktivitas politik praktis semata. Sehingga turut mengganggu stabilitas birokrasi nantinya.
ADVERTISEMENT
Pemilu Serentak, Beban Anggaran Meningkat
Jika penyelenggaraan Pemilu Serentak dimaksudkan untuk menekan anggaran Pemilu, bisa dipastikan itu hanya alibi belaka. Alokasi anggaran untuk menyelenggarakan Pemilu Serentak 2019 sebesar Rp. 24,8 Triliun. Anggaran ini naik 31 persen dari alokasi anggaran Pemilu 2014 sebesar Rp. 18,9 Triliun.
Beban Kerja Penyelenggara Pemilu
Petugas KPPS terus berjatuhan. Hal ini disinyalir akibat beban kerja yang dipikul begitu berat. Pemilu Serentak dengan ragam kompleksitasnya perlu mereka urai dan selesaikan, agar memudahkan pemilih menyalurkan hak suaranya.
Tak hanya itu, beban kerja yang berat juga membuat penyelenggara pemilu lalai menegakkan prosedur dan hukum pemilu. Banyak temuan, penyelenggara Pemilu justru melanggar ketentuan teknis dan regulasi yang mereka buat sendiri.
ADVERTISEMENT
Dari pelanggaran teknis pemilu yang dihimpun oleh laporan Pemantau AMAN, kami menemukan bahwa dominan terjadi pelanggaran teknis kepemiluan seperti logistik pemilu yang tidak lengkap dan keterlambatan TPS dibuka pada 17 April 2019 lalu. Tidak lengkapnya beberapa logistik berdampak pada terlambatnya proses pemungutan suara. Poster daftar calon legislatif juga tidak ditempel di lokasi TPS sehingga menyulitkan pemilih untuk melihat siapa caleg yang akan dipilih. Keterlambatan TPS dibuka tentu mengurangi durasi waktu memilih bagi pemilih yang ingin menyalurkan hak pilihnya.
Selain itu, beban penyelenggara pemilu yang meningkat juga membuat Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu tak efektif dalam menindak laporan dari masyarakat dan lembaga pemantau pemilu. Padahal, menurut ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2018 menyatakan bahwa Bawaslu wajib menindaklanjuti laporan warga atau lembaga pemantau pemilu paling lama tiga hari sampai lima hari pasca laporan tersebut disampaikan kepada Bawaslu.
ADVERTISEMENT
Pemilu Serentak Nasional dan Daerah
“Indak ado hubungan Pemilu, dengan bareh den di dapur (tidak ada hubungan Pemilu, dengan beras saya di dapur)” ungkap Mama Yovit, sontak membuat saya terkejut. Wajar saja, Mama Yovit cukup dibuat jengah dengan kompleksitas Pemilu Serentak.
Di kampungnya, antusias warga cukup tinggi mengikuti Pemilu. Bahkan, menurut Mama Yovit para ibu-ibu sudah ramai memperbincangkan keinginannya mengikuti Pemilu di pasar tradisional atau di toko-toko sayur jauh sebelum pemungutan suara diselenggarakan. Namun, setelah menyalurkan hak suaranya, banyak pula yang mengeluh dan kecewa. Salah satu warga ada yang gemetar saat membuka surat suara yang begitu besar dan banyak. Kerumitan Pemilu Serentak cukup memengaruhi psikologis pemilih.
Dengan kompleksitas dan kerumitan Pemilu 2019, seyogyanya dapat menjadi dasar penyelenggara negara berbenah. Harus ada evaluasi menyeluruh dari penyelenggaraannya.
ADVERTISEMENT
Perlu membedakan sistem keserentakan pemilu yakni menjadi serentak nasional dan daerah. Serentak nasional dengan menggabungkan Pilpres serta Pileg DPR dan DPD. Sementara itu serentak daerah ialah menggabungkan Pilkada dengan Pileg DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pemisahan ini dapat memberikan kemudahan dan mendorong rasionalitas pemilih. Karena dengan otomatis jumlah calon akan berkurang dan mereduksi kompleksitas penyelenggaraan Pemilu. Pemilih juga dapat mengontrol kinerja partai politik dan calon terpilih karena hasil pemilu nasional akan dikoreksi dengan pemilu daerah, pun demikian sebaliknya. Selain itu, pemisahan pemilu serentak nasional dan daerah juga dapat menghemat pengeluaran negara secara signifikan. Hal ini juga sekaligus mengefektifkan kerja-kerja penyelenggara pemilu.
ADVERTISEMENT
“Harapan den, ikut Pemilu biso gampang. Dan indak mambuek bingung, litak den (harapan saya, ikut Pemilu bisa mudah. Dan tidak membuat bingung, capek saya)” tutup Mama Yovit.