Melacak Makna Demokrasi dari Kampung Suo-Suo, Jambi

Konten dari Pengguna
12 Juli 2019 23:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigit Alfian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
ADVERTISEMENT
Ramai menyoal Pemilu, riaknya menjangkau seluruh negeri. Setelah usai, sekumpulan kelas menengah bermunculan. Dari pegiat pemilu hingga elite partai politik, mereka sibuk melakukan evaluasi sembari merancang pemilu berikutnya. Berdebat sengit, dari rangkaian prosedur, sistem, hingga hukum kepemiluan.
ADVERTISEMENT
Di negeri ini, belumlah sahih ucapan seseorang jika belum menyeru dirinya seorang ‘demokrat’, atau belum fasih bertutur tentang pemilu.
Baiklah, mari kita uji ihwal pemilu yang dirancang dari Jakarta. Banyak kalangan menilai bahwa Pemilu 2019 adalah yang paling berat dan rumit dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Hal itu diukur dari sejumlah kompleksitas yang ada, sebagai akibat dari sistem pemilu yang digelar secara serentak.
Politik uang masih menjadi benalu. Bahkan, semakin marak. Desain pemilu seakan masih membuka ruang bagi tindakan politik uang terjadi. Pemilu sarat dengan modal, hanya elite yang dapat menikmati pemilu. Situasi ini terjadi di setiap penyelenggaraan pemilu. Menunjukkan bahwa pegiat demokrasi memang tidak benar-benar serius menghadirkan pemilu yang legitimate dan partisipatif.
ADVERTISEMENT
Di tengah bobroknya sistem pemilu konvensional, beberapa pihak malah mengkritisi legitimasi sistem noken di Papua. Mereka mempersoalkan pemilihan model noken karena tidak lazim dan bertentangan dengan prinsip one man one vote. Setelah gagal dengan sistem pemilu yang mereka rancang, kini mereka mempersoalkan sistem kolektif yang berkembang bahkan jauh sebelum negara ini hadir.
Merumuskan pemilu tak dapat dilihat hanya dari Jakarta. Realitas demokrasi berkembang dengan kompleks. Penerapan demokrasi yang seragam bahkan cenderung berhadap-hadapan dengan realitas sosio-kultural yang berkembang di tingkat tapak. Ini yang luput kita perbincangkan di tengah rumusan pemilu yang prosedural dan administratif.
Geliat Pemilu di Suo-Suo
Pemilu di Suo-Suo, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.
Saya iseng menghubungi paman di Suo-Suo, Jambi, dengan maksud menanyakan perihal dinamika pemilu. Saya melontarkan satu pertanyaan, “Apakah pemilu mengerikan?” Paman hanya menjawab, “Tidak, biasa saja, kalau sudah selesai, ya kembali lagi biasa saja, kami masih sibuk menghalau gajah dan harimau di kebun. Itu yang lebih mengerikan”. Sebuah jawaban yang di luar prediksi saya.
ADVERTISEMENT
Suo-Suo, sebuah kampung yang dihuni oleh masyarakat adat Talang Mamak. Berada di sekitar kawasan hutan lindung Bukit Tiga Puluh, Jambi. Letaknya memang sulit dijangkau, anda harus melalui belantara hutan Tebo dan menyeberangi sungai tanpa jembatan untuk sampai. Jauh dari keramaian, bahkan jauh dari perdebatan prosedural sistem pemilu.
Ihwal pemilu di Suo-Suo memang selalu berlangsung biasa-biasa saja. Sering kali sebagian dari kami merasa kebingungan. Penyelenggaraannya diperhadapkan dengan persoalan administrasi yang berbelit dan menyulitkan.
Kami terbiasa mengekspresikan demokrasi melalui musyawarah, bukan dengan one man one vote. Memutuskan segala hal, dari persoalan sosial hingga politik. Saat pemilihan tiba, biasanya kami akan membahas kandidat-kandidat yang ada, disaksikan oleh Batin. Jika tidak ada yang layak dipilih, maka kami akan memilih berladang daripada mengikuti pemilu.
ADVERTISEMENT
Hukum adat di Suo-Suo menjelaskan bahwa untuk memutuskan sesuatu harus melalui musyawarah dan mufakat. Setiap keputusan yang menyangkut kepentingan orang banyak dapat diuji kebenarannya, adil, patut atau pantas, sehingga pemimpin tidak kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
Hukum adat diberlakukan sangat ketat dan berlaku tetap (tidak turun, tidak naik). Itulah sebabnya pemilu konvensional yang individual dianggap sebagai sistem yang berbeda dengan ketentuan hukum adat di Suo-Suo, sebagian tak berani mengikuti pemilu karena takut melanggar hukum adat.
Politik uang jarang terjadi, banyak kandidat yang jera menggelontorkan uangnya di Suo-Suo. Betapa tidak, masyarakat menerima uang yang diberikan namun belum tentu memilih kandidat tersebut. Sebab, ada proses musyawarah yang mereka harus lewati sebelum menentukan pilihan. Biasanya, masyarakat akan tunduk pada hasil keputusan musyawarah tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada Pemilu 2019, sempat ada salah satu kandidat yang mendekati dan berusaha mempengaruhi Batin untuk memobilisasi masyarakat melalui musyawarah agar menjatuhkan pilihan pada dirinya. Namun percuma, batin menolak permintaan tersebut.
Di Suo-Suo, sistem nilai bertumpu kepada adat dan resam (tradisi). Adat dilindungi oleh lembaga adat yang dipimpin oleh Batin. Adat yang sudah diwariskan secara turun temurun ini terdiri dari norma dan sanksi serta dilaksanakan dengan asas “Berjenjang naik bertangga turun”. Maksudnya, tiap persoalan harus lebih dulu diselesaikan di lapisan kekuasaan yang paling rendah. Jika tidak selesai, maka dilanjutkan ke jenjang di atasnya.
Dari proses yang terjadi, setidaknya kami bisa mengklaim bahwa Suo-Suo lebih demokratis daripada Indonesia. Demokrasi seakan kembali kepada makna aslinya, menghormati demos (rakyat). Segala keputusan lahir dari kehendak masyarakat, tanpa dibayang-bayangi intervensi elite.
ADVERTISEMENT
Memaknai Ulang Demokrasi
Ilustrasi demokrasi. Foto: Unsplash
Kita melihat kisah malang menimpa demokrasi, semakin jauh dari esensi. Demokrasi mudah jatuh dalam pengertian yang dangkal. Sebagai sebuah makna, demokrasi sebagai sistem politik seakan direduksi sekadar pengambilan keputusan berdasarkan voting. Dan jika secara inheren voting mengandung cacat sebagai mekanisme pengambilan keputusan, maka demokrasi pun juga cacat sebagai sistem politik.
Petaka bagi demokrasi adalah ketika ia gagal setia pada makna asli. Lebih mengkhawatirkan lagi jika demokrasi yang telah direduksi ini dianggap sebagai satu-satunya pilihan yang ada, hanya karena bercermin pada partisipasi dalam pemilihan umum yang dianggap mewakili mayoritas.
ADVERTISEMENT
Selama periode pasca-reformasi, kajian tentang demokrasi dan demokratisasi di Indonesia memang mengedepankan prinsip individualistis. Tak hanya itu, demokrasi juga diperhadapkan dengan norma-norma dan aspek prosedural yang harus dipatuhi.
Oleh karenanya, dalam bayangan negara dan pegiat demokrasi di Jakarta, yang diperlukan untuk berdemokrasi adalah adanya kepatuhan pada serangkaian standar itu, entah seperti apa implementasinya.
Tersedia indeks dan reputasi sebuah negara dalam berdemokrasi dicerminkan oleh tinggi/rendahnya angka indeks yang ditetapkan secara global. Dari cara berpikir ini, maka kita berdemokrasi demi mematuhi standar global, bukan demi penghormatan terhadap rakyat.
Perdebatan demokrasi seyogyanya melampaui batas-batas prosedural, agar demokrasi tidak terjebak pada pemahaman yang statis. Karenanya kita perlu memikirkan definisi demokrasi secara lain akibat kedangkalan dan pemburukan makna.
ADVERTISEMENT
Tidak selarasnya pemilu konvensional dengan nilai-nilai kolektif yang berkembang di tatanan lokal seperti di Suo-Suo harusnya dapat menjadi pelajaran penting, bahwa ada hal yang berkembang di luar logika prosedural demokrasi yang mengedepankan prinsip individualistis.
Memaknai ulang demokrasi bukan mencoba untuk menyingkirkan sistem one man one vote, melainkan menawarkan gagasan kolektivisme dalam pengambilan keputusan dapat berjalan beriringan dengan sistem one man one vote. Konsep ini hanya ingin membuat penerapan demokrasi di Indonesia dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang noken dapat menjadi panduan untuk mengonversi gagasan ini ke dalam undang-undang, tanpa menegasikan prinsip one man one vote. Putusan MK yang mengakomodir noken adalah bentuk tindakan diskresi negara. Sebuah putusan yang mencerminkan kontekstualisasi demokrasi.
ADVERTISEMENT
Jelas dan terang, Mahkamah Konstitusi telah melakukan suatu terobosan baru dalam hal tata cara pemungutan suara dalam pemilihan umum dan secara tidak langsung melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan hukum adat yang masih hidup di masyarakat. Putusan tersebut mengolaborasikan antara hukum adat dengan sistem pemilu yang berlaku.
Dengan demikian upaya menghadirkan demokrasi di Suo-Suo tidak akan dianggap sebagai upaya memasukkan suatu ide yang tidak sesuai dengan kondisi objektif masyarakat Suo-Suo, melainkan sesuatu yang dapat dioperasionalkan karena di dalamnya terdapat pengakuan dan penghormatan pada konteks lokal yang ada dalam masyarakat adat. Di sini letak esensi dari berdemokrasi.
ADVERTISEMENT
Melampaui semua perdebatan yang ada, Suo-Suo berhasil mengartikulasikan demokrasi menjadi lebih luas dan bermakna.