Mengakhiri Rasisme di Indonesia

Konten dari Pengguna
23 Agustus 2019 17:29 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigit Alfian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Massa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Papua se-Jawa-Bali melakukan aksi unjuk rasa damai di Depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Senin (19/8/2019). Foto: ANTARA FOTO/Novrian Arbi.
zoom-in-whitePerbesar
Massa yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Papua se-Jawa-Bali melakukan aksi unjuk rasa damai di Depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Senin (19/8/2019). Foto: ANTARA FOTO/Novrian Arbi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Untuk kesekian kalinya, kita kembali menyaksikan bagaimana rasisme berlangsung secara telanjang di ujung hidung kita. Rasisme itu kembali menimpa sekelompok mahasiswa Papua di Surabaya. Teriakan dan umpatan seperti 'monyet' terlontar bertalu-talu.
ADVERTISEMENT
Apa yang dialami oleh Papua juga umum dialami oleh masyarakat adat. Sebut saja, umpatan 'monyet di seberang gunung' terlontar oleh rezim kolonial, untuk menyebut Orang Seko di Sulawesi Selatan, penamaan suku anak dalam (SAD) yang diberikan oleh peneliti Belanda kepada Orang Rimba di Jambi, narasi orang gunung dan liar yang dilontarkan oleh antropolog Belanda untuk menggambarkan kehidupan orang Toraja, serta stigma yang dibangun untuk masyarakat adat Tobelo Dalam (Togutil) sebagai manusia primitif, sebenarnya juga berlaku rasis terhadap mereka.
Stereotip 'liar', bodoh, dan tidak berpendidikan, yang disematkan pada masyarakat adat, menjadi dalih bagi rezim untuk hadir dan menertibkan masyarakat adat. Dengan begitu mereka dengan gampang menjajaki wilayah adat.
Rasisme itu berlangsung dari rezim ke rezim, sehingga mengkristal menjadi habit (pembiasaan). Tanpa disadari, alam bawah sadar kita sebetulnya sedang terjebak pada cara pandang yang rasis dalam menilai orang Papua dan masyarakat adat secara umum. Singkatnya, cara pandang rasisme dan diskriminatif masih menjadi tumpuan sekian pihak, hingga akhirnya mempengaruhi tingkat penerimaan kita terhadapnya.
ADVERTISEMENT
Kita pun harus mengakui bahwa pembentukan negara-bangsa dalam sejarahnya, memang selalu melibatkan proses kekerasan. Proyek Bhinneka Tunggal Ika mengalami pasang surut akibat rasisme yang meracuni cara pandang kita dalam bernegara.
Bahkan rasisme itu telah merembes jauh ke dalam sistem politik Indonesia pasca-kemerdekaan. Stereotip masyarakat terasing, komunitas adat terpencil, masyarakat tradisional, dan pribumi, masih kita temukan dalam ragam regulasi. Narasi ini dibangun oleh pemerintah untuk membedakan masyarakat adat dengan masyarakat secara umum.
Masyarakat adat dianggap terasing, tertinggal, dan 'liar', sehingga layak untuk diberdayakan. Hal ini sekaligus menjadi dalih pemerintah untuk menertibkan masyarakat adat melalui program pembangunan, yang sebetulnya sedang berusaha merampas kekayaan sumber daya alam mereka.
Karena itu, untuk melawan rasisme kita mesti mengetahui apa akar penyebab dari ideologi rasis itu. Dengan mengetahui akar penyebabnya, maka kita bisa mengerti mengapa ideologi dan praktik rasisme harus dilawan sekuat-kuatnya dan sehormat-hormatnya.
ADVERTISEMENT

Memahami Rasisme

“Tidak jarang diskriminasi rasial terjadi karena dukungan Pemerintah melalui berbagai kebijakan pemisahan dan pengucilan, dalam bentuk penyebaran doktrin-doktrin supremasi ras, warna kulit, keturunan, asal-usul kebangsaan, atau etnis,". Demikian kutipan kalimat pembuka dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD/International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination).
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi ini melalui UU Nomor 29 Tahun 1999, tentang pengesahan international convention on the elimination of all forms of racial discrimination 1965.
Bila kita lihat, konvensi ini betul-betul mengutuk keras diskriminasi rasial yang diwujudkan dengan pembedaan, pengucilan, pembatasan, atau bahkan preferensi yang didasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, asal-usul kebangsaan, atau etnis, kepada siapapun dengan dalih apapun, baik terhadap warga negara maupun bukan warga negara. Konvensi pun menyadari bahwa tidak jarang diskriminasi rasial tersebut, terjadi karena dukungan pemerintah melalui berbagai kebijakan.
ADVERTISEMENT
Rasisme dipahami tidak sebatas mengucilkan salah satu ras maupun etnis, melainkan lebih luas daripada itu. Rasisme harus dipahami sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dari diskriminasi berdasarkan pemisahan (segregasi) rasial dan tidak terjaminnya kesempatan salah satu kelompok masyarakat untuk menikmati hak-haknya.
Dan, negara yang telah meratifikasi hasil konvensi tersebut wajib mengutuk segregasi rasial dan bertindak untuk mencegah, melarang, dan menghapus seluruh praktik diskriminasi rasial di wilayah hukumnya.
Jika pemerintah melakukan pembiaran terhadap diskriminasi rasial yang berulang tanpa tindakan pencegahan, tak salah jika kita menganggap bahwa pemerintah adalah dalang di balik masalah rasisme selama ini.

Tindakan Tegas

Memperhatikan diskriminasi rasial yang terjadi pada Papua atau bahkan pada masyarakat adat secara umum, saya berkesimpulan bahwa pemaknaan terhadap bangsa lebih tepat ditafsirkan sebagai ajaran yang 'dirancang' daripada pengertian bangsa sebagai komunitas etnis yang telah mapan dan turun temurun.
ADVERTISEMENT
Nasionalisme seolah mewujud dalam pernyataannya: right or wrong is my country, bukan right is right dan wrong is wrong. Dengan kata lain, yang penting kesatuan harga mati meskipun itu dilakukan dengan cara yang tak manusiawi. Setidaknya dapat kita lihat pada sejarah pembentukan negara-bangsa sebagaimana terjelaskan di atas.
Stereotip masyarakat terasing, komunitas adat terpencil, masyarakat tradisional, dan pribumi yang mengucilkan salah satu kelompok masyarakat, seakan dibiarkan oleh pemerintah untuk berkembang. Bahkan, narasi ini kerap digunakan pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan regulasinya sampai sekarang. Parahnya, stereotip itu kerap diiringi dengan agenda dekulturisasi dan perampasan hak berkedok pembangunan.
Tak heran jika rakyat Papua menuntut haknya untuk merdeka, bebas dalam menentukan nasibnya sendiri. Tapi yang perlu kita pahami, bahwa referendum Papua tidak semata mengakhiri diskriminasi rasial yang telah menjadi habit di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara yang menjalankan proyek Bhinneka Tunggal Ika, seyogyanya pemerintah tidak sekadar meminta maaf, lalu menganggap persoalan rasisme telah selesai. Permintaan maaf harus diiringi tindakan tegas dengan mengusut aktor-aktor yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tak berhenti di situ, negara pun harus mengoreksi setiap ketentuan regulasi dan kebijakan yang mengucilkan salah satu kelompok dan memastikan semua orang dapat menikmati haknya tanpa terkecuali.