Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Orang Seko, Pembangunan dan Kekerasan Infrastruktur
6 Februari 2018 12:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Sigit Alfian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketersediaan atas wilayah adalah ihwal bagaimana pemerintah mewujudkan angan-angan kemajuan suatu bangsa di segala lini kehidupan. Hal ini memantik sederet persoalan sosial dan kultural dalam kehidupan masyarakat. Dengan sejarah invasi pembangunan yang terjadi sejak Orde Baru, membuat banyak masyarakat terjerumus dalam kondisi ketergantungan, kerentanan, dan ketersingkiran.
ADVERTISEMENT
Ambisi pemerintah membangun area khusus industri dan perdagangan bebas mutlak memerlukan ketersediaan infrastruktur bagi para penanam modal. Misalnya membangun kawasan industri untuk mendirikan pabrik, pembangkit listrik sampai klaster-klaster permukiman ekspatriat. Itu semua menunjukkan bahwa upaya pemerintah dan infrastrukturnya untuk melayani para pemodal global.
Sejumlah konsekuensi negatif dari pembangunan inilah yang disebut sebagai kekerasan infrastruktur (infrastructural violence), kondisi dimana infrastruktur pemerintah sengaja mengabaikan suatu wilayah atas ketertinggalan, ketimpangan dan ketergantungan agar dapat menyingkirkan masyarakat dari wilayahnya. Kesengajaan penyingkiran, menutup akses dan fasilitas dari Negara merupakan pola ekonomi-politik yang menghendaki penguasaan penuh atas potensi sumber daya alam yang terkandung di wilayah tersebut demi menjamin ketersediaan sumber daya alam untuk kepentingan investasi.
ADVERTISEMENT
Ini merupakan gagasan tentang kekuasaan yang bertujuan menata, mengatur, menertibkan, dan mengendalikan individu-individu dalam masyarakat dan sumber daya di sekitarnya yang sesuai dengan kehendak penguasa. Tindakan domestifikasi (penundukan), penyingkiran bahkan pemusnahan bisa saja dilakukan oleh infrastruktur Negara demi melancarkan kepentingan penguasaan. Pola ini merupakan konsekuensi pembangunan di negara modern.
Pola yang disebutkan diatas, telah terjadi di Indonesia dalam beberapa dekade ini. Diferensiasi sosial yang dibangun oleh infrastruktur Negara antara masyarakat pegunungan , masyarakat dataran rendah, masyarakat pedalaman, dan perkotaan. Diferensiasi tersebut adalah bentuk stereotype pembangunan untuk menggambarkan pembedaan yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu contoh dari diferensiasi sosial tersebut adalah kerapkali infrastruktur pemerintah menunjukkan bahwa masyarakat pegunungan dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam ketertinggalan dan ketimpangan, sementara masyarakat dataran rendah sengaja digambarkan sebagai masyarakat yang sejahtera, dekat dengan fasilitas dan akses terhadap negara serta maju dalam pembangunan.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh lain adalah daerah pedalaman Indonesia telah terbentuk sebagai wilayah yang tersisih melalui perjalanan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran yang rendah yang telah lama dan terus berlangsung. Asumsi bahwa masyarakat pedalaman adalah bodoh dan terisolasi dipegang oleh agen pembangunan yang pada akhirnya mempengaruhi kebijakan pembangunan yang diterapkan di daerah pedalaman. Dinamisme, produktivitas, pengetahuan serta kreativitas masyarakat pedalaman sering diabaikan dalam program pembangunan pemerintah. Daerah pedalaman menjadi obyek pembangunan atas nama “modernisasi”.
Studi kasus atas anggapan tersebut dapat kita lihat pada pola pembangunan rezim Jokowi saat ini. Dalam Perpres No 58/2017, terdapat 245 proyek pembangunan yang menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN). Dari keseluruhan proyek tersebut, semuanya diperuntukkan untuk program kelistrikan dan membangun konektivitas antara wilayah. Bagi pemerintah proyek infrastruktur merupakan salah satu penentu keberhasilan pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
Semakin banyak rencana proyek infrasturktur, semakin banyak pula membutuhkan ruang seperti tanah dan sumber daya alam lainnya. Segala upaya dilakukan pemerintah guna menjaga ketersediaan ruang untuk kepentingan investasi. Seringkali pula kondisi itu memunculkan konflik dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mencatat sepanjang tahun 2017 telah terjadi sebanyak 659 konflik agraria, 14% diantaranya adalah konflik pembangunan infrastruktur di daerah pedalaman. Mereka dipaksa dengan berbagai cara untuk meninggalkan wilayahnya demi kepentingan izin-izin tambang dan pembangunan.
Apa yang dibahas diatas, dapat kita lihat pada kondisi Seko hari ini. Pemerintah abai terhadap kondisi Seko baik dalam pemerataan pembangunan, akses dan fasilitas dari Negara. Bahkan kerapkali mereka di stereotype-kan sebagai masyarakat tertinggal dan bodoh. Anggapan tersebut sengaja disematkan kepada masyarakat Seko, dibalik itu pada dasarnya adalah kepentingan agen pembangunan dalam negara yang mencoba mengusir masyarakat Seko dari wilayahnya. Sebab, wilayah Seko dikenal sebagai wilayah yang kaya raya akan sumber daya alam baik hasil hutan, mineral, ternak, hasil-hasil pertanian dan perkebunan lainnya. Terbukti bahwa, saat ini ada banyak izin tambang dan HGU yang antri untuk masuk dan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di Seko.
ADVERTISEMENT
Seko Dalam Kepungan Investasi
Seko berada di dataran tinggi pegunungan “Tokalekaju” yang diapit oleh pegunungan Quarles dan Verbeek. Sarana transportasi untuk mencapai Seko dari kecamatan terdekat, Masamba, dapat dilakukan melalui jalur udara dengan pesawat perintis, atau jalur darat menggunakan ojek. Jalur darat yang dilalui masih berupa jalan tanah yang memiliki banyak rintangan seperti lebar jalan yang sempit dan kondisi tanah basah sehigga cenderung sulit dilalui kendaraan biasa. Perjalanan menggunakan ojek dapat menghabiskan waktu 2-3 hari. Kesulitan untuk menuju Seko menyebabkan ongkos transportasi menggunakan ojek mencapai Rp 1 juta per orang. Agaknya pemerintah sengaja membuat Seko sulit untuk diakses banyak orang, agar kawasan ini dapat dengan gampang dijadikan kawasan industri dengan ragam investasi yang mencoba masuk dan mengokupasi wilayah Seko.
ADVERTISEMENT
Seko terdiri dari tiga wilayah besar, yakni Seko Padang, Seko Tengah, dan Seko Lemo, kini berada dalam kepungan investasi (ekspansi kapitalisme). Seko padang yang terdiri dari 6 desa sejak tahun 1996 telah dikuasai secara administratif oleh PT. Seko Fajar, yang HGU-nya baru akan berakhir pada tahun 2020 mendatang. Sementara Seko Tengah dan Seko Lemo, saat ini sebagian besar wilayahnya telah dialokasikan untuk peruntukan rencana pembangunan PLTA oleh PT. Seko Power Prima (Seko I untuk Seko Tengah) dan PT. Seko Power Prada (Seko II untuk Seko Lemo).
Tidak hanya itu, saat ini juga ada beberapa perusahaan Tambang emas dan biji besi yang telah mengantongi izin untuk masuk ke wilayah Seko, yang titik pusatnya tersebar di tiga wilayah besar Seko, yakni Seko Padang, Seko Tengah, dan Seko Lemo.
ADVERTISEMENT
Kasus pencaplokan wilayah adat Seko untuk dijadikan areal perkebunan teh oleh PT. Seko Fajar, areal pertambangan emas dan biji besi, serta areal pembangunan PLTA oleh PT. Seko Power Prima dan PT. Seko Power Prada tidak hanya mengangkani kedaulatan Masyarakat Adat Seko sebagai pemangku hak, tetapi juga mengangkangi konstitusi. Alih-alih obral izin tambang dan HGU yang antri untuk masuk ke Seko, pasalnya sudah ditolak mentah-mentah melalui Mokobo satu forum musyawarah Masyarakat Adat Seko. Namun, PLTA dan perusahaan tambang dibantu oleh infrastruktur negara terus berupaya menekan masyarakat dan bahkan melakukan tindak kekerasan terhadap Masyarakat Adat Seko.
Upaya tersebut jelas melanggar konstitusi, sebab SK Bupati Luwu Utara No. 300 Tahun 2004 telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat Seko, juga membuat tentang konsep perlindungan yang mengedepankan peran Masyarakat Adat Seko dalam menentukan pembangunan wilayahnya. Izin perusahaan apapun yang keluar, dan diperuntukkan untuk wilayah adat Seko, juga harus mendapat persetujuan dari masyarakat terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Pemaksaan investasi dan pembangunan infrastruktur ini tanpa adanya sosialisasi dan dialog yang jelas. Masyarakat secara umum tidak pernah mendapatkan informasi yang detil dan transparan akan dampak yang akan ditimbulkan jika perusahaan tambang tersebut beroperasi. Bahkan sebelum memperoleh izin eksplorasi, masyarakat sampai saat ini belum pernah mendapatkan pemberitahuan atau dimintai persetujuannya terkait izin eksplorasi tersebut. Warga baru mengetahuinya setelah pihak perusahaan memasang papan pengumuman penyusunan AMDAL. Dengan demikian, memaksakan pembangunan PLTA Seko adalah merupakan tindak pidana, pemerintah bahkan mengingkari norma yang ia buat sendiri.
Penguasaan wilayah yang masuk konsesi/HGU perusahaan tambang dan rencana pembangunan PLTA tersebut secara otomatis akan menghilangkan hak atas wilayah kelola Masyarakat Adat Seko yang notabene sudah mendapat pengakuan secara hukum. Penguasaan tersebut tidak hanya berdampak terhadap hilangnya hak Masyarakat Adat Seko, melainkan juga akan terjadi perubahan tatanan sosial dalam masyarakat dari masyarakat yang mengutamakan kebersamaan dan kegotongroyongan menjadi individualis dan materialistik. Bahkan lebih jauh ditakutkan bisa terjadi konflik sosial antar masyarakat karena adanya pro-kontra terhadap keberadaan beragam investasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Yang terjadi sekarang ini sangat kontraproduktif karena masyarakat Seko telah menyatakan penolakan dan diabaikan oleh pemerintah. Ini adalah sebuah upaya penghancuran sumber kehidupan, dan berarti penghancuran bagi kehidupan masyarakat Seko itu sendiri.
Agenda Pengusiran Masyarakat Adat Seko
Praktek pengusiran Masyarakat Adat Seko dari wilayanya ini masih berlanjut, dimana negara secara terstruktur dan sistematis, atas nama pembangunan melakukan pengabaian atas hak warga negara dan menimbulkan banyak korban-korban pembangunan.
Hal ini dapat kita lihat dari perbandingan data BPS kependudukan Kabupaten Luwu Utara. Tahun 2009, populasi penduduk Seko berjumlah 14.061 dan jumlah itu menurun cukup signifikan sekitar 1000 penduduk pada tahun 2017 yakni menjadi 13.073. Sebagian penduduk memilih untuk pindah ke Masamba sebagai daerah pusat administratif di dataran rendah. Alasan utama yang mendasari mereka meninggalkan wilayahnya adalah mencari keamanan dan memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
ADVERTISEMENT
Seko sengaja dijauhkan dari akses terhadap Negara, dimiskinkan, diabaikan, dikriminalisasi dan bahkan dibumi-hanguskan agar dapat meninggalkan wilayah mereka. Sebagian pindah ke wilayah dataran rendah, dengan harapan bahwa dengan hidup di dataran rendah kebutuhan ekonomi mereka dapat terpenuhi dan akses terhadap fasilitas negara mampu mereka raih. Sebagian memilih tetap tinggal guna mempertahankan kedaulatan wilayah adat mereka. Yang memilih untuk tinggal, hari demi hari selalu menerima represifitas dan intimidasi yang dilakukan oleh infrastruktur Negara beserta agen-agen pembangunannya.
Penutup
Dehumanisasi karena pembangunan tersebut telah mengalienasi rakyat dari tanah kelahiran mereka. Nilai historis – dari tanah moyang rakyat – inilah yang diabaikan infrastruktur pemerintah dalam setiap proyek pembangunan yang mereka canangkan.
Kembali pada substansi konflik Seko. Konflik tersebut merupakan cerminan dari wajah kapitalisme kontemporer. Dimana infrastruktur pemerintah memposisikan dirinya sebagai fasilitator yang berupaya melancarkan proses akumulasi kapital guna mempermudah jalannya transaksi bisnis kaum kapitalis, baik itu level nasional maupun Internasional. Inilah yang dikatakan oleh Tania Murray Li sebagai infrastructural violence (kekerasan infrastruktur). Dimana banalitas pembangunan menjadi pola yang dimainkan oleh agen-agen pemerintah.
ADVERTISEMENT