Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Perjalanan 2 Dekade Gerakan Masyarakat Adat
21 Juli 2019 18:54 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Sigit Alfian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun-tahun kebahagiaan yang dinantikan masyarakat adat tak kunjung tiba. Berpuluh tahun negara tak acuh terhadap hak masyarakat adat. Polemik berlangsung tanpa ada itikad baik untuk menyelesaikan.
ADVERTISEMENT
Tantangan demi tantangan justru hadir semakin berat dan terus menggoyahkan posisi masyarakat adat selaku penyandang hak. Pembangunan kian merangsek masuk tanpa izin, merusak ruang hidup mereka. Meskipun harus berhadapan dengan berbagai macam kasus, justru tidak melemahkan semangat untuk mempertahankan hak agar tidak dirampas begitu saja oleh siapapun dan dengan alasan apapun.
Perampasan tanah, pengalihan hutan adat sebagai kawasan produksi, logging, konservasi, mega proyek, dan berbagai macam lagi adalah contoh nyata bagaimana masyarakat adat kehilangan haknya. Dan negara, sebagai pengambil kebijakan, justru tampil sebagai aktor perampasan yang berkongsi dengan korporasi.
Titik tolak kekeliruan mendasar relasi negara dengan masyarakat adat, terletak pada imaji dan konsepsi mengenai negara modern yang menempatkan negara berdiri di atas kepala dan pundak masyarakat.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, terjadi agresi pembangunan dan perampasan atas kehendak negara. Di sini awal mula diskriminasi, eksploitasi, dan penghancuran identitas masyarakat adat terjadi. Mungkin terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa situasi yang dialami oleh masyarakat adat selama ini adalah fase krisis yang besar seperti yang pernah terjadi di masa-masa sebelumnya.
Dekade Penaklukan
Jauh sebelum Indonesia di proklamirkan kemerdekaan, masyarakat adat kian menderita akibat ekspansi kolonialisme. Agresi pembangunan hingga penaklukan menghantui kehidupan mereka. Barbarnya watak kolonial telah meretas hubungan masyarakat adat dengan leluhurnya.
Kolonialisme runtuh, Indonesia merdeka. Masyarakat adat sedikit menghela nafas. Dalam kesempatan rapat perumusan UUD 1945, Muhammad Yamin mengemukakan bahwa persekutuan-persekutuan rakyat telah membuktikan mampu mengurus tata negara dan hak-hak atas tanah.
ADVERTISEMENT
Persekutuan rakyat itu dapat ditemukan dengan nama desa, nagari, marga, dusun, kampong, lembang, wanua dan lain-lain. Mereka telah menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan, berdasarkan pada tertib hukum sendiri dan dipengaruhi kuat oleh pandangan hidup dan nilai-nilai sosial.
Lahirnya UUD 1945 merupakan manifestasi dari pengakuan negara terhadap masyarakat adat yang telah hadir, bahkan sebelum negara ini lahir. UUD 1945 adalah representasi dari cara pandang negara dalam memposisikan masyarakat adat, yakni dengan menghormati dan melindungi kedaulatan yang melekat pada diri masyarakat adat.
Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara majemuk. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” secara filosofis sebetulnya sedang menunjukkan penghormatan terhadap kemajemukan atau keragaman itu. Bukan dipahami sebagai gagasan untuk mempersatukan keragaman dalam satu identitas nasional.
ADVERTISEMENT
Namun seiring perjalanannya, konsep tersebut mengalami distorsi. Salah satu pasal dalam UUD 1945, pasal 33 ayat (3) yang memunculkan konsep Hak Menguasai Negara yang dikhawatirkan dapat digunakan sebagai alat penaklukan masyarakat adat, khususnya menyangkut penguasaan sumber-sumber agraria.
Kekhawatiran itu terbukti, kemerdekaan Indonesia sebagai negara-bangsa senyatanya tidak otomatis membebaskan masyarakat adat dari beragam bentuk penjajahan. Formasi politik kolonial tertinggal dalam dualisme hukum yang memposisikan masyarakat adat sebagai subjek eksploitasi.
Formasi politik kolonial tersebut lahir dalam bentuk baru berupa pemaknaan sempit atas hak menguasai negara, dalih ini yang menjadi legitimasi negara merampas hak masyarakat adat.
Pada masa Orde Baru, penindasan terus berlanjut. Masyarakat adat makin terbelenggu. Narasi pembangunan Orde Baru mulai berkembang pada dekade 1960-an dan memiliki dua makna utama. Pertama, rekonstruksi negara-negara yang kalah perang. Kedua, peningkatan kemampuan ekonomi negara-negara dunia ketiga melalui suntikan modal. Pembangunan menjadi sabda yang datang dari penguasa. Barang siapa yang menolak atau menghambat pembangunan versi penguasa, dinilai sebagai pembangkang.
ADVERTISEMENT
Diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa benar-benar menghancurkan self governing community. Keduanya tidak hanya melakukan penyeragaman corak pemerintahan adat sesuai tipe nasional, akan tetapi juga membuat masyarakat adat terpecah belah karena melebur ke unit-unit baru yang tidak memiliki kesamaan adat.
Lembaga-lembaga adat yang sebelumnya berfungsi dalam pengelolaan komunitas ikut tersapu bersih dengan tersingkirnya peran tetua adat, yang digantikan oleh pemilihan kepala desa yang tentu telah melalui proses screening oleh negara.
Tak hanya itu, ragam regulasi dan kebijakan yang lahir justru bertujuan untuk mengambil alih hak masyarakat adat. Undang-undang Penanaman Modal Asing, Penanaman Modal Dalam Negeri, UU Kehutanan dan Pertambangan merupakan pilar legislasi guna melancarkan agresi pembangunan Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Kebangkitan Masyarakat Adat
Narasi perjuangan masyarakat adat bukanlah narasi kekalahan. Berpuluh tahun lamanya masyarakat adat melawan politik penaklukan dan dominasi negara terhadap ruang hidup mereka. Berdirinya sebuah wadah gerakan yang diberi nama Jaringan Pembela Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dipelopori para tokoh adat, akademisi, pendamping hukum dan aktivis gerakan sosial pada tahun 1993 adalah manifestasi dari perjuangan menggugat posisi negara yang diskriminatif terhadap masyarakat adat. Momentum ini sekaligus menjadi penanda kebangkitan gerakan masyarakat adat di Indonesia.
Lahirnya reformasi seakan menjadi agenda yang wajib direspon oleh seluruh elemen masyarakat yang merindukan kebebasan. Masyarakat adat dari seluruh pelosok nusantara, bersama para pejuang hak-hak masyarakat adat berkumpul di Hotel Indonesia, Jakarta untuk memperkuat barisan melalui Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada tahun 1999.
ADVERTISEMENT
Lewat Kongres ini menjadi momentum untuk melakukan koreksi atas perjalanan bangsa yang sudah tidak lagi sesuai dengan cita-cita luhur pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945 serta menegaskan kembali posisi masyarakat adat terhadap negara.
Kongres pun bersepakat membentuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai wadah perjuangan bersama untuk memulihkan kedaulatan dan meraih pengakuan.
“Jika negara tidak mengakui kami, maka kami pun tidak mengakui negara”. Semboyan ini menggema pada kongres pertama. Terang dan tegas bahwa yang melandasi kebangkitan gerakan masyarakat adat adalah pengakuan politik negara bagi eksistensi kedaulatan masyarakat adat yang selama ini digempur oleh gelombang penaklukan rezim.
Tak hanya itu, gerakan masyarakat adat mulai melangkah pada perumusan agenda politik dalam jalur ‘politik formal’, khususnya berkenaan dengan posisi dan eksistensi masyarakat adat sebagai blok politik di parlemen. Meski isunya telah bergulir pada waktu-waktu sebelumnya, agenda ini baru secara resmi disuarakan pada Seminar dan Lokakarya bertajuk “Penataan Politik Nasional menuju Kedaulatan Masyarakat di Era Otonomi Daerah”, yang berlangsung di Liwa, Lampung Barat pada tahun 2002. Rangkaian kegiatan di Liwa kemudian melahirkan sebuah dokumen bertajuk Keharusan Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat.
ADVERTISEMENT
Dalam dokumen itu disebutkan bahwa perluasan partisipasi politik masyarakat adat dilakukan dengan menciptakan, memanfaatkan dan mengembangkan ruang politik yang berada di tingkat komunitas masyarakat adat, kabupaten dan tingkat Nasional sebagai respon atas situasi politik reformasi yang justru kontras dengan agenda demokratisasi dan otonomi.
Seiring perjalanannya, AMAN berhasil survive ditengah segala keterbatasannya, dan juga kritik yang semakin sistematis, seiring dengan pelembagaan gerakan masyarakat adat yang semakin matang. Dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke II (KMAN II) di Tanjung, Lombok Barat pada September 2003, gerakan masyarakat adat mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Upaya penegakan hak-hak masyarakat adat terlihat makin spesifik, dan untuk beberapa hal juga semakin teknis. Ini menunjukkan gerakan masyarakat adat tidak lagi hanya berkutat dengan pendakuan (claiming) dan tuntutan yang bersifat simbolik dan relatif etis, tetapi telah menapak pada langkah-langkah operasional dari pendakuan dan tuntutan itu. Dengan begitu, gerakan masyarakat adat tidak lagi hanya berpusat pada ‘pekerjaan bongkar’, tetapi juga sadar pada keharusan untuk melakukan ‘pekerjaan pasang’.
ADVERTISEMENT
AMAN menyadari betul bahwa ‘pekerjaan pasang’ tak dapat dilakukan jika masyarakat adat masih mengambil posisi berhadapan dengan negara. Meski UUD 1945 mengakui keberadaan masyarakat adat, namun setelahnya tak ada UU yang secara khusus member gagasan dan ide kepada negara soal bagaimana hak kontitusional masyarakat adat dilaksanakan.
Masyarakat adat masih menjadi korban, namun tak berada dalam ruang pengambilan kebijakan. Intervensi hingga ke level pembuat kebijakan adalah langkah strategis. Itulah sebabnya gerakan masyarakat adat perlu direposisi, dari yang awalnya konfrontasi, menjadi terlibat langsung mem
KMAN ke III di Pontianak pada tahun 2007 menjadi saksi sejarah reposisi gerakan masyarakat adat. AMAN memutuskan untuk terjun ke dalam arena politik, bukan dalam pengertian sederhana menjadi Partai Politik, melainkan mengutus dan memperjuangkan kader-kader terbaik dan para sahabat masyarakat adat untuk maju menjadi pemimpin di berbagai institusi negara baik eksekutif maupun legislatif. Kongres menyadari betapa besar tantangan bagi masyarakat adat untuk bisa berdaulat, mandiri dan bermartabat jika tidak merambah ruang-ruang dimana kebijakan itu dibuat.
ADVERTISEMENT
Posisi gerakan inilah yang bertahan hingga KMAN V di Tanjung Gusta, Deli Sedang, Sumatera Utara pada tahun 2017 lalu. Kongres kali ini sekaligus menjawab masalah-masalah dan tantangan masyarakat adat yang sedang mengalami degradasi kebudayaan, serta sedang menghadapi ujian dalam keberagaman. Kongres menjadi momentum untuk memperkuat gerakan masyarakat adat di Indonesia.
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa, gerakan masyarakat adat dalam artian sebagai wacana maupun agenda aksi, mengalami kecenderungan menguat dari waktu ke waktu. Tantangan yang semakin dinamis membuat gerakan masyarakat adat harus semakin terkonsolidasi.
Tak berlebihan pula jika kita beranggapan bahwa sepanjang dua dekade, AMAN menjadi rujukan utama untuk melihat fenomena perkembangan skala gerakan masyarakat adat di Indonesia. AMAN telah berhasil mengkonsolidasikan gerakan masyarakat adat, politik, hukum dan agraria dalam satu visi gerakan nasional.
ADVERTISEMENT
Reposisi atau Mempertegas?
Dua puluh tahun umur AMAN, demikian usianya genap tahun ini. Gerakan menegakkan kedaulatan masyarakat adat, begitulah intinya bila kita mau menyederhanakan penjelasan. Usia yang tidak sedikit, bahkan setara dengan usia pemuda-pemudi yang sudah berhak memiliki kartu tanda penduduk. Usia di mana mereka menjadi warga negara penuh, setidaknya secara administratif, lengkap dengan segala konsekuensinya.
Hanya saja asosiasi kita dengan gerakan masyarakat adat kini kental dengan sesuatu yang telah jauh tertinggal, sesuatu yang sekadar nostalgia.
Kenangan tentang pergolakan sosial dan segala harapannya kini terbentur karang kekecewaan. Kekuasaan yang terbentang berpuluh tahun ini ternyata menciptakan keterasingan dan perasaan kehilangan yang menyakitkan. Kini yang dulu muda telah berangsur menjadi manusia paruh baya. Segelintir dari mereka telah terserap dalam jaringan kekuasaan beragam pemerintahan yang silih berganti paska Suharto lengser.
ADVERTISEMENT
Bila bicara tentang agenda gerakan masyarakat adat, meski mengalami perkembangan penting dalam dua dekade terakhir, patut pula kita akui bahwa capaian gerakan ternyata tidak serta merta menjamin perlindungan masyarakat adat. Pembaruan gerakan yang dicapai kemudian bersentuhan dengan watak pemerintah yang belum sepenuhnya berubah.
Pengakuan dan pemenuhan hak masyarakat adat masih terkesan lamban. Lambannya kebijakan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat lebih disebabkan karena dua hal. Pertama, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD 1945 belum dapat direalisasikan secara maksimal.
Implementasi dari pengakuan tersebut seharusnya dapat diterjemahkan melalui undang-undang khusus yang menjadi instrumen dalam mengakui dan melindungi masyarakat adat. Kedua, ketidakjelasan kedudukan hukum masyarakat adat tersebut berakibat pada ketidakadilan hukum.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, gerakan masyarakat adat hari ini dipahami hanya sebagai gerakan agraria, padahal tidak sesederhana itu. Kerapkali pula gerakan masyarakat adat terlena dengan hal-hal teknis yang terkadang membuat buram agenda prioritas yang seharusnya dapat dikerjakan secara serius.
Bila kita telisik dokumen kesejarahan gerakan masyarakat adat, yang melandasi kemunculan gerakan masyarakat adat di Indonesia adalah gerakan memulihkan kedaulatan. Jelas dan terang diserukan pada Kongres pertama kali pada tahun 1999 bahwa negara harus mengembalikan kedaulatan persekutuan politik masyarakat adat untuk mengatur kehidupan sosial-ekonomi dan budaya atau yang kita kenal sebagai konsep otonomi asli dalam UUD 1945.
Kedaulatan yang dimaksud bukan dipahami sebagai gerakan untuk memisahkan diri dari Indonesia, melainkan memposisikan masyarakat adat sebagai subjek yang memiliki hak otonomi untuk mengurus dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Landasan ini seyogyanya menjadi “lampu penerang” bagi gerakan masyarakat adat agar tidak tersesat pada hal-hal yang justru mendistorsi semangat dan cita-cita gerakan selama ini.
Dua puluh tahun AMAN, usia muda tapi juga tak lagi kanak-kanak. Dipersimpangan jalan menuju masa yang baru. Dalam fase ini, adalah tidak mungkin terhindar dari perdebatan yang mewarnai perjalanannya, proses yang wajar menuju kematangan gerakan.
Perayaan kebangkitan masyarakat adat nusantara dan hari internasional masyarakat adat sedunia harus melampaui hal-hal yang bersifat nostalgia dan sekedar refleksi semata. Harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk melakukan reposisi gerakan atau mempertegas jalan perjuangan di masa depan.