Pilkada Serentak dan Pembangunan Daerah

Konten dari Pengguna
25 Februari 2020 17:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigit Alfian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun ini kita kembali menghadapi hiruk-pikuk politik. Indonesia akan menggelar hajatan demokrasi Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020. Euforianya mulai terasa, tensi politik berlangsung dinamis.
ADVERTISEMENT
Wajar saja, belum hilang diingatan kita kontestasi sengit Pemilu 2019, kini dibeberapa daerah akan kembali diperhadapkan dengan kontestasi mikro-politik Pilkada Serentak 2020. Sebanyak 270 daerah (terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota) akan menghelat hajatan demokrasi. Sebagai sebuah konstelasi politik, Pilkada Serentak 2020 tak kalah lebih dinamis dari pada pilkada sebelumnya, sebab kontestasi kali ini merupakan investasi politik Partai untuk tahun 2024 mendatang. Mereka yang terpilih pada Pilkada kali ini, akan menjabat selama lima tahun dan akan bekerja untuk memperkuat infrastruktur politik partainya masing-masing. Apalagi, dari sisi jumlah, Pilkada Serentak 2020 merupakan Pilkada dengan jumlah daerah terbanyak.
Pilkada Serentak 2020 tidak hanya menentukan investasi politik Partai jangka panjang, yang lebih penting sebetulnya, Pilkada Serentak kali ini sangat menentukan jalannya pembangunan dalam lima tahun kedepan. Betapa tidak, transisi politik pemerintahan nasional yang baru saja berlangsung akan membutuhkan legitimasi dan loyalitas politik dari pemerintah daerah, sehingga kebijakan politik-pembangunan nasional dapat berjalan lancar.
ADVERTISEMENT
Namun, terlepas dari euforia politik yang melatarbelakanginya, signifikansi Pilkada Serentak terhadap kemajuan daerah perlu diuji. Alih-alih mengatasi masalah krusial seperti kemiskinan dan pengangguran, di beberapa daerah, pilkada justru menjadi sarana berkembangnya korupsi, dinasti politik dan mengukuhkan dominasi elite atas penguasaan sumber daya daerah.
Biaya politik pemilihan kepala daerah yang tinggi dianggap sebagai penyebab korupsi kepala daerah. Pernyataan itu dianggap benar karena kompensasi atas tingginya biaya itu dicari dari sumber daya publik dan terdapat kenyataan semakin banyak pimpinan daerah dipidana akibat korupsi.
Kajian KPK (2015) menyebut bahwa pendapatan negara yang hilang dari kayu bulat yang berasal dari konversi hutan untuk kebun dan tambang, mencapai 49,8 triliun – Rp 66,6 triliun per tahun selama periode 2003 – 2014. Dalam pelaksanaan GNPSDA-KPK, juga mendapat temuan kekurangan bayar pajak dari pertambangan, perkebunan kelapa sawit, maupun dari sektor kelautan, tahun 2014, sekitar Rp 126 triliun. Nilai uang sebanyak itu berpotensi sebagai dana kampanye dalam pelaksanaan Pilkada.
ADVERTISEMENT
Dalam dua kali penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017 dan tahun 2018 menunjukkan semakin melanggengkan dinasti politik. Langgengnya praktik politik dinasti pada tiap pilkada juga didukung peluang kemenangan lebih tinggi ketimbang pasangan kandidat lainnya. Persentase kemenangan kandidat dari dinasti politik pun relatif besar. Pada Pilkada 2017, kandidat dinastikal yang menang pilkada setidaknya meraih suara 44 persen. Padahal, mereka hanya perlu lebih dari 30 persen untuk menang. Selanjutnya, pada Pilkada 2018, ada lima daerah yang kembali memiliki calon yang berasal dari dinasti politik, yaitu Banten, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat. Ada 11 calon berasal dari politik dinasti dan delapan diantaranya mengikuti pemilihan tingkat provinsi.
Fenomena tersebut mempertontonkan bahwa Pilkada sarat dengan politik dinasti dan korupsi. Reformasi dan otonomi daerah justru memunculkan predator kekuasaan yang merongrong proses demokrasi di tingkat lokal. Pilkada Serentak yang terbuka justru mendistorsi pembangunan daerah serta merenggut hak seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi.
ADVERTISEMENT
Keresahan sekaligus menjadi pertanyaan mendasar beberapa kalangan ilmuwan politik di Indonesia saat ini adalah sejauh mana Pilkada Serentak dapat memecah kemelut dinasti politik yang selalu membayangi penyelenggaraan demokrasi lokal? Apakah perlu menguji desain pilkada serentak melalui regulasinya atau hanya cukup mendisiplinkan agensi demokrasi? Beberapa bagian dalam artikel ini akan menjawab pertanyaan tersebut.
Tantangan Pilkada Serentak 2020
Ditengah kemelut dinasti politik dan maraknya korupsi kepala daerah, kita menghadapi sejumlah tantangan untuk merespon perubahan politik yang berlangsung dinamis. Pilkada menjadi instrumen paling penting untuk menyeleksi kandidat-kandidat yang mampu merespon perubahan politik tersebut. Pada intinya, Pilkada Serentak 2020 menjadi proses rotasi kekuasaan yang menentukan keberlangsungan nasib daerah dalam lima tahun mendatang. Ada tiga alasan yang melatarbelakanginya.
ADVERTISEMENT
Pertama, daerah akan menghadapi situasi kian kuatnya terpaan industrialisasi. Dapat kita lihat, muara dari keseluruhan kebijakan prioritas pemerintah yang termanifestasikan di dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN 2020) adalah investasi dan pertumbuhan ekonomi. Ditengah terpaan industrialisasi, kepemimpinan yang kuat hasil dari proses Pilkada adalah kunci untuk menghadirkan investasi yang ramah terhadap hak asasi manusia dan mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Kedua, disrupsi teknologi kian menegasikan asimetri kekuasaan antara penguasa dan rakyat. Koneksi digital yang relatif tanpa batas memperluas akses dan mereduksi ketergantungan warga ke pemerintah dan/atau legislatif.
Konsekuensinya, nilai otoritas dan kemanfaatan pemerintah di mata warga niscaya mengalami perubahan besar. Eksistensi pemerintah daerah yang kesehariannya bersentuhan langsung dengan publik (termasuk swasta) akan merasakan langsung akibat pergeseran itu. Maka, pemimpin daerah mesti mendorong perubahan semua elemen lokal agar mampu mengarungi era revolusi 4.0 yang tantangannya lebih berat dari tiga revolusi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Menurut pengukuran kesiapan produksi di masa depan (World Economic Forum 2018), Indonesia terkategori belum memiliki kesiapan menghadapi revolusi 4.0. Di antara tujuh negara ASEAN yang diukur, Indonesia sejajar dengan Vietnam dan Kamboja. Singapura dan Malaysia masuk dalam kategori siap (leading).
IMD World Competitiveness Center melakukan penilaian hampir sama melalui pengukuran ranking daya saing digital. Pada 2019, Indonesia peringkat 56 dari 63 negara. Capaian itu masuk kuartil terbawah atau mengindikasikan lemahnya daya saing Indonesia dalam transformasi digital.
Selain beratnya tantangan revolusi 4.0, capaian pembangunan di dalam negeri menghadapi persoalan kesenjangan antar daerah. Meski tren capaian pembangunan membaik, tak seluruh daerah dan wilayah menikmati dengan relative setara.
Perkembangan demokrasi mengalami peningkatan sejak 2009 melalui capaian Indek Demokrasi Indonesia (IDI). Keefektifan pembangunan politik sejalan dengan perbaikan indeks pembangunan manusia (IPM), yang naik 4,86 poin dalam kurun 2010 – 2018.
ADVERTISEMENT
Angka kemiskinan berhasil dipangkas 3,67 persen (2010 – 2018). Perbaikan kualitas hidup masyarakat dan penurunan kemiskinan diikuti pula peningkatan kebahagiaan penduduk. Secara nasional, indeks kebahagiaan naik 2,41 poin pada 2014 – 2017.
Namun, di balik agregat – agregat keberhasilan itu, terselip disparitas antar provinsi. Hingga 2018, hanya sembilan dari 34 provinsi mencapai IPM di atas rerata nasional. Hampir setengah provinsi penduduknya mengalami kemiskinan lebih tinggi dari rerata nasional (2018). Terdapat 10 provinsi dengan tingkat kebahagiaan penduduk di bawah rerata nasional pada 2017.
Di wilayah Papua dan Maluku, ketimpangan terjadi antara Papua dan provinsi lain dalam IPM, kemiskinan, kebahagiaan. Di Sumatera; angka kemiskinan Aceh, Bengkulu dan Lampung mencolok dibanding provinsi lain. Di Jawa, peringkat IPM DKI dan DIY paling menonjol di antara enam provinsi (2010 – 2018).
ADVERTISEMENT
Ketiga, pembangunan bias pemerintah pusat. Dapat kita lihat pada perdebatan RUU Omnibus Law, kewenangan penguasaan terhadap sumber daya alam dan rencana investasi daerah harus melalui persetujuan pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk menyederhanakan birokrasi daerah dan mencabut peraturan daerah yang dianggap tidak selaras dengan kebijakan nasional. Perdebatan itu menunjukkan bahwa arah kebijakan politik nasional saat ini sedang berusaha mengembalikan sentralisme kekuasaan pada pemerintah pusat. Hal ini tentu mendistorsi semangat reformasi dan otonomi daerah.
Untuk merespons tantangan ini, kandidat yang ditawarkan oleh Partai Politik harus mampu: Pertama, mengkalkulasi disrupsi, baik teknologi, inovasi maupun perubahan radikal cara pandang publik terhadap praktik kepemimpinan politik subnasional. Kandidat bakal calon kepala daerah perlu memiliki paradigma politik sebagai seni segala kemungkinan menjadi seni menemukan solusi non-ortodoks atas efek disrupsi dan menjalankan kepemimpinan disruptif.
ADVERTISEMENT
Kedua, bakal calon kandidat kepala daerah perlu memperhitungkan perubahan konteks dari situasi daerah yang berubah terus-menerus menjadi disrupsi yang memiliki karakter perubahan cepat, luas, dalam, sistemik dan berbeda signifikan dari situasi sebelumnya. Pengambilan keputusan kedepannya bukan saja sebagai upaya akhir menyelesaikan masalah, melainkan proses mengadaptasi perubahan secara cerdas dan cermat.
Ketiga, bakal calon kandidat kepala daerah mesti melakukan perubahan peran sebagai pembuat kebijakan dan peran warga dalam pembuatan kebijakan. Kepala daerah bukan saja bertindak sebagai pemimpin sekaligus penerjemah permintaan dan kebutuhan publik. Mereka juga harus bertransformasi menjadi seorang disruptor, pemungkin dan pengantisipasi resiko.
Dan, keempat, Pilkada harus mampu menjadi instrumen untuk memperkuat otonomi daerah, kandidat-kandidat yang terlibat dalam gelanggang kontestasi harus memiliki pemahaman dan kehendak politik untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, menegakkan supremasi hukum dan menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi.
ADVERTISEMENT
Empat respons itu menitikberatkan perhatian pada pelembagaan Parpol, fungsi Parpol untuk membangun sistem rekrutmen yang efektif dan berkualitas, sebagai watchdog dari penyelenggaraan Demokrasi dan kaderisasi perlu dijalankan sebagai satu kesatuan agenda yang tak terpisahkan dari momentum kontestasi elektoral. Jika Parpolnya bobrok, maka akan berimplikasi pula terhadap kualitas kandidat yang ditawarkan ke dalam gelanggang kontestasi pilkada.
Memperkuat Kandidasi Parpol
Konsep pembangunan politik dapat dijadikan pijakan dalam memperkuat penghubung antara politik dan kontribusinya terhadap pembangunan daerah. Pembangunan politik dapat diartikan sebagai sinergi antara kemajuan infrastruktur politik (Partai Politik) dan norma-norma sosial pendukungnya. Samuel P Hutington mengingatkan, negara-negara berkembang rentan fenomena political decay atau kerusakan politik. Artinya, pembangunan politik dapat mengarah pada kekacauan akibat pesatnya modernisasi sistem politik, jika tanpa diimbangi oleh pembangunan kelembagaan Partai Politik.
ADVERTISEMENT
Meski perangkat demokrasi telah canggih, namun cara kerja partai politik tetap dijalankan dengan pola tradisional seperti patrimonialisme dan klientilisme. Ujung-ujungnya pasti akan korup karena berupaya menjaga keterkaitan antara penguasaan sumber daya, kekuasaan, dan ikatan-ikatan primordial. Hal ini yang menjadi cikal-bakal lahirnya dinasti politik baru yang justru mendistorsi semangat demokrasi .
Sistem politik yang baik harus memaksa partai politik untuk mengedepankan etika politik, membangun konsensus bersama dalam bentuk desain rekrutmen elite yang selektif dan konsolidasi kepentingan yang intensif pada proses Pilkada. Sebab, partai politik menjadi hulu dari setiap rangkaian proses kontestasi politik. Kualitas elite yang dihadirkan di dalam Pilkada Serentak mendatang sangat ditentukan oleh bagaimana Partai Politik melakukan kandidasi yang efektif.
ADVERTISEMENT
Namun, partai politik masih memiliki problematika mendasar dalam menyelenggarakan kandidasi. Terdapat ruang gelap dalam proses kandidasi yang memungkinkan bekerjanya oligarkhi dan politik transaksional. Perlu kita akui memang, partai politik menghadapi dilema politik jika membuka ruang partisipasi dan transparan dalam menentukan kandidat. Pertama, dengan mempertimbangkan tingkat pelembagaan Parpol yang belum matang, partisipasi yang tinggi cenderung memicu instabilitas politik dalam internal Parpol. Kedua, pertanyaan besar yang menggantung di benak Parpol adalah apakah ada jaminan bahwa proses kandidasi yang demokratis akan menghasilkan kemenangan bagi partai politik dalam pemilu. Pertanyaan ini mengemuka karena secara riil sebuah partai politik memiliki kewajiban untuk memenangkan pemilu.
Agar dilema tersebut dapat diretas, saya berusaha merancang model kandidasi yang partisipatif namun dapat meredam potensi instabilitas politik dalam internal Parpol. Sebelum mengikuti Pilkada, Parpol perlu melakukan pemilihan bakal kandidat di internal terlebih dahulu. Sebagai ilustrasi, Parpol perlu menyelenggarakan konvensi di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota jika konteksnya adalah kontestasi Pilkada. Peserta konvensi adalah perwakilan dari para pengurus partai di tingkat provinsi hingga ranting dan organisasi sayap otonom Parpol.
ADVERTISEMENT
Dalam konvensi ini ditetapkan siapa yang bakal dicalonkan menjadi kepala daerah oleh partai politik yang diuji berdasarkan kriteria latar belakang bakal kandidat, modal sosial dan politik hingga program yang ditawarkan. Penetapan calon didasarkan pada daftar bakal calon yang dikumpulkan dari parpol di tingkat kecamatan dan kabupaten. Sedangkan Parpol di tingkat pusat tidak memiliki hak veto sehingga tidak dapat mengubah keputusan yang telah dibuat oleh forum konvensi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tersebut.
Hanya dengan konvensi partai politik dapat menjangkau kepentingan publik yang lebih luas, memastikan kualitas kandidat sambil memastikan kemenangan diraih. Selain konvensi menjadi instrumen untuk mendemokratiskan partai politik, cara ini sangat efektif untuk memastikan kandidat yang berintegritas sehingga dapat memperkuat demokrasi lokal dan menjauhkan daerah dari ancaman kerusakan politik (political decay).
ADVERTISEMENT