Konten dari Pengguna

Quo Vadis Keindonesiaan

6 Agustus 2017 19:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigit Alfian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Quo Vadis Keindonesiaan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Endapan diskursus akademik telah menjadi suatu bangsa, tepatnya setelah jiwa-jiwa mudanya mengucap diktum satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Berlaksa bangsa yang sebelumnya terberai oleh ideologi primordialitas seperti kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan bisa bersatu.
ADVERTISEMENT
Kelompok nasionalis berlatar belakang sekuler, kalangan agamis dan kelompok komunis melakukan konsolidasi di bawah payung ideologis bernama keindonesiaan. Namun konsolidasi itu berakhir pada dominasi gairah primordial.
Selama beberapa tahun belakangan, disintegrasi tertoreh begitu dalam. Konflik suku, agama, ras, dan antar golongan serta separatisme bagai ombak yang serentak terjadi dan menghujam di berbagai wilayah di Nusantara. Dendam rakyat yang bergolak di bawah permukaan mencuat membabi buta.
Melihat hal ini, tak pelak entitas keindonesiaan yang dikonstruksi melalui manipulasi politik ini membenarkan tesis komunitas imajiner Ben Anderson yang menganggap bahwa nasionalisme dan konsep negara-bangsa di Indonesia hanyalah ilusi-ilusi modal dan kekuasaan, sesuatu yang hanya dirasakan dan dibayangkan namun gagal dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Bangsa ini sekarang hanya sedang memenuhi syarat ontologis yang dibutuhkan Indonesia untuk menjadi sebuah negara-bangsa dan mencoba membuktikan kepada dunia internasional bahwa Negara ini berhasil menjaga stabilitas meski multikultur. Itu kenapa persatuan dan konsepsi negara-bangsa hanya sekedar jargon, namun gagal dalam memenuhi syarat aksiologis.
Sebagai sebuah negara-bangsa (nation state) Indonesia terjebak dalam dialektik yang imajiner. Kita hanya sedang membayangkan kehadiran negara-bangsa dalam tiap ruang publik. Konsep negara-bangsa pun mempengaruhi setiap komunitas masyarakat dalam entitas tindakan yang imajiner pula. Faktanya, sepanjang hayat kita bernegara, kebangsaan dimanipulasi sebagai instrumen stabilisator kaum penguasa.
Pancasila ditafsirkan secara sepihak oleh kaum penguasa dalam wujud P4 dan menjadi wacana ideologis untuk mengisi relung-relung kegamangan rakyat terhadap penguasa yang otoriter.
ADVERTISEMENT
Nasionalisme menjadi ideologi statis yang menutup mata kita dari litani tragedi kemanusiaan, dari ketimpangan demokrasi dan nilai-nilai keadilan yang transenden hingga perlawanan separatis gerakan kelompok Islam kelas menengah yang baru-baru ini terjadi di Jakarta.
Retak-Patah Rasa Persatuan
Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tau dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Nasionalisme hanya dipahami sebagai rekayasa persatuan bangsa di mana mereka sebenarnya hanya mengenal Indonesia dari stasiun tv dan media lainnya.
Tesis Benedict Anderson ini menjadi dasar sebab kegagalan Indonesia mengelola kebangsaan di tengah multikultur, akibatnya potensi primordial identitas dan gerakan separatis menjadi wajah persatuan imajiner di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Reformasi ditandai dengan gelombang demokratisasi dan kebebasan berekspresi menyibak rapuhnya rasa keindonesiaan kita. Lahir kelompok-kelompok yang mendeklarasikan diri dengan identitas primordialnya. Ruang publik menjadi tempat ajang kontestasi kekuatan primordial – tempat pemilik kekuatan sipil mayoritas memiliki otoritas sebagai produsen kebenaran dalam suatu masyarakat.
Kelahiran kelompok kelas menengah Islam yang radikal, menandai era di mana nasionalisme dan konsep negara-bangsa (nation-state) telah semakin terkikis seiring menguatnya rasa primordial identitas.
Saat ini rata-rata masyarakat Indonesia menempatkan identitas kebangsaan dan kemanusiaannya pada urutan ketiga dan keempat, ketimbang identitas keagamaan dan kesukuan yang digalangnya sebagai identitas utama. Tak pelak ini menyebabkan beberapa kelompok berlomba-lomba menciptakan identitas tunggal di dalam negara multikultur.
Kelahiran kelompok Islam yang mengancam disintegrasi bangsa, menyebabkan pemerintah kebingungan lalu menggunakan jargon negara bangsa (nation-state) dan rasa persatuan sebagai alat meredam potensi separatis. Problem hari ini, rasa persatuan dan konsep negara-bangsa hanya sebagai alat politis sekaligus sebagai candu yang telah menjadi dogma di tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Negara-bangsa hanya direpresentasikan oleh Indonesia sebagai elemen konstitutif modernitas kapitalis. Didasarkan pada asumsi bahwa nasionalisme dan rasa persatuan adalah unit homogen serta alami yang harus diikuti oleh masyarakat banyak. Tanpa mencoba menumbuhkan rasa satu nusa, satu bangsa dalam ikatan emosional atas dasar perjuangan yang sama.
Akhirnya akibat tidak ada ikatan emosional atas dasar perjuangan yang sama, nasionalisme dan rasa persatuan sering didera kebingungan, kalau tidak bisa dikatakan kegusaran karena ia harus menghadapi arus modern yang mengarahkan pemikiran masyarakat luas untuk meninggalkan unsur kolektivisme sebagai sebuah bangsa, dan lebih mendahulukan identitas natural seperti agama yang selalu bersentuhan atas dirinya dalam kegiatan sehari-hari dari pada rasa persatuan dan nasionalisme yang hanya masyarakat dengar di stasiun televisi.
ADVERTISEMENT
Bila sudah begini, masihkah keindonesiaan dapat dipertahankan? Sulit memang, karena menurut Will Kymclica (2000), sebuah bangsa adalah historical community (komunitas sejarawi) dan pengalaman bersama dalam sejarah merupakan pengikat emosionalnya agar rasa satu nusa, satu bangsa tak sekedar hanya jargon. Jika sudah terikat dalam emosional dan rasa perjuangan yang sama, maka prahara primordial identitas akan dapat terhindarkan.
Sebab rasa kebangsaan dan persatuan tidak praktis dapat tumbuh dengan hanya melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah atau bahkan menggunakan ormas untuk memproklamirkan Pancasila dan nasionalisme yang hanya sebatas jargon imajiner untuk menciptakan stabilitas pemerintahan. Namun gagal diwujudkan dalam bingkai aksiologi maupun sebagai alat perjuangan mewujudkan persatuan secara bersama-sama.
Indonesia, Riwayatmu Kini
Anomali nasionalisme dan kebangsaan dalam ruang dialektik hanya menyebabkan bangsa ini terjebak dalam ruang penafsiran-penafsiran yang menyesuaikan kebutuhan dan kepentingan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Penafsiran nasionalisme pemerintah itu begitu mengakar dalam masyarakat dan dengan gampang bisa ditangkap ketika mendengar atau membaca bagaimana seorang begitu mudahnya mempersandingkan bangsa dan negara seperti dalam ungkapan “demi kehidupan berbangsa dan bernegara” atau “menjalankan rasa tanggung-jawab terhadap bangsa dan negara” sebagaimana hampir setiap hari muncul dalam percakapan biasa atau percakapan resmi.
“Bangsa” dan “Negara” bersanding seolah-olah tidak dan tidak pernah ada soal antara keduanya. Bila kita meninjau sejarah maka akan tampak bahwa “bangsa”, “kebangsaan” baik dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan negara menimbulkan keruwetan yang luar biasa besarnya. Pada saat tertentu dirasakan bahwa dobrakan modal internasional sebegitu rupa sehingga berbicara sekali lagi tentang nasionalisme hanya membuang waktu.
Indonesia sebagai satu bangsa di era modern adalah suatu proyek politik. Dalam perkempangan internasional, doktrin persatuan dalam konsepsi nation-state berkepentingan menciptakan keamanan negara.
ADVERTISEMENT
Pemerintah selalu menyadari hal ini dan selalu mengutamakan itu ketimbang rasa persatuan yang terbentuk secara sejarah dan terwujud dalam aksiologi sebagai alat perjuangan bersama.
Negara sebagai misi global menggunakan jargon persatuan dan pancasila untuk menciptakan stabilisasi guna mengundang dan meningkatkan investasi masuk dan berkembang. Sambil memberi pembuktian pada negara lain bahwa Indonesia adalah negara multi-etnis yang aman dan ramah bagi para investor.
Tak heran, nasionalisme dan pancasila selalu ditafsirkan menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan pemerintah. Ia digunakan sebagai dalih menjinakkan kelompok separatis dan membungkam perlawanan kelompok Islam radikal yang mengganggu stabilitas negara.
Jika Indonesia terus mempertahankan status quo dalam mengelola kebangsaan dan tidak mendorong perwujudan nasionalisme dan pancasila secara aksiologi. Maka kita akan mengulangi sejarah kegagalan mengelola bangsa seperti beberapa tahun lalu, saat Timor Leste lepas dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Seharusnya sejarah itu menjadi pelajaran berharga, bahwa persatuan dan nasionalisme tidak hanya soal jargon yang terus disosialisasikan. Melainkan sebagai wujud integrasi daerah-daerah yang berbeda identitas dan kebudayaan atas dasar kesadaran ekspresi persatuan memperjuangkan bangsa secara bersama-sama.
Sebagai negeri yang plural, kita tidak memiiliki rekam sejarah yang tunggal. Dengan demikian, bila kita mengikuti perspektif historis Kymlica, gejolak separatisme dan primordialisme yang mencuat di Indonesia dapat dimengerti sebagai fenomena kegagalan membangun kebersamaan di tapal sejarah bangsa.
Sebab, selama kita hidup bernegara, rezim pemerintah yang berkuasa terjebak pada autisme hasrat menyabet kekuasaan dan hasrat mewujudkan stabilitas negara.
Jejak rekam kebersamaan yang belum sampai seabad ini banyak terdistorsi oleh politik ekuilibrium Orde Lama dan Orde Baru, yang menyebabkan rasa, kebangsaan yang sejati mati suri sebelum bertumbuh.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, sejarah kebersamaan yang baru harus dijejaki dengan penuh kesadaran. Dalam hal ini, negara berkewajiban mengawal masyarakat sipil dengan konsep keadilan yang transenden agar toleransi dan kesanggrahan itu terpatri dalam perjalanan bangsa menyusuri hamparan masa mendatang.