Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Realitas Semu Demokrasi
30 Januari 2020 14:25 WIB
Tulisan dari Sigit Alfian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Demokrasi dan kebebasan seringkali diasumsikan sebagai dua hal dalam satu paket. Menerapkan demokrasi pasti mendapatkan pula kebebasan. Di sisi lain, kebebasan pun hanya bisa diperoleh dengan demokrasi. Namun, apakah benar demokrasi dan kebebasan adalah dua hal yang saling kait-berkelindan?
ADVERTISEMENT
Beberapa kalangan akademisi menilai bahwa demokrasi tak selalu menjamin kebebasan. Sebuah rezim teokrasi misalnya, bisa saja berkuasa di sebuah negara karena mereka berhasil memenangi pemilu. Melulu berlandaskan pada dalil ajaran agama, rezim semacam ini pun memerintah dengan membatasi hak-hak dasar warga negara. Demokrasi ternyata menghasilkan ketidakbebasan.
Selalu ada kemungkinan kelompok atau gerakan yang membajak proses demokrasi, seperti pemilu, untuk meraih kemenangan elektoral, lalu membunuh proses demokrasi yang sebelumnya mengantarnya berkuasa. Demokrasi bisa dijadikan sarana untuk membunuh dirinya sendiri.
Fenomena demokrasi semu semacam itu cukup banyak terjadi. Dalam bukunya Fareed, The Future of Freedom, ia memperlihatkan bahwa pemilu justru membantu melanggengkan kediktatoran. Bahkan menurutnya, seandainya pemilu yang merupakan simbol dari proses demokratisasi diadakan di kawasan Arab, kekuasaan barangkali akan dipegang oleh rezim yang intoleran, anti-Barat, dan anti-Yahudi, jauh berbeda dengan karakter kediktatoran yang berkuasa di negara-negara itu sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Berdemokrasi belum tentu mendapatkan kebebasan. Artinya, demokrasi dan kehendak untuk bebas adalah dua prinsip yang berbeda namun saling kait-berkelindan satu sama lain. Agensi dan konstitusi menjadi kunci untuk menerjemahkan demokrasi dalam kerangka kebebasan individu. Sederhananya, demokrasi tetap bertumpu pada agensi dalam sebuah negara. Baik-buruk demokrasi bergantung pada political will agensi untuk menerapkan demokrasi seluas-luasnya atau bahkan mendistorsi makna demokrasi itu sendiri.
Demokrasi Dalam Bayangan
Reformasi menjadi upaya besar untuk melakukan rekonfigurasi terhadap sistem pemerintahan otokrasi agar menjadi terbuka dan demokratis. Terbentuknya masyarakat demokratis adalah suatu realitas sosial dan politik yang bahkan hingga saat ini masih terus berproses dalam bentuk pemahaman maupun praktik.
Namun, sepanjang dua dekade reformasi berlangsung, ruang demokrasi di Indonesia kini tengah mengalami tekanan-tekanan yang ekstrem. Dari meluasnya intoleransi, meruncingnya benturan politik hingga pembatasan ekspresi-ekspresi kebebasan. Kerisauan utama saya terhadap demokrasi di Indonesia adalah bagaimana ia semakin mengambil jarak dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
ADVERTISEMENT
Kita dapat melihat, kebebasan sipil dan pers saat ini seolah merunduk dalam rerumpunan. Indeksnya makin merosot, angkanya pun relatif rendah. Menurut data yang dihimpun Reporters Without Borders, Indonesia berada pada peringkat 124 dari 180 negara dengan skor 36,77 dibawah Malaysia, Ethiopia, Kenya, hingga Israel. Ini menjadi cerminan dari kualitas demokrasi yang ternyata tak lebih baik dari negara-negara yang masuk kategori flawed democracy dan hybrid regime.
Meski indeks demokrasi kita dianggap membaik, ternyata tak pula menjamin kebebasan sipil. Indeks demokrasi kita masih memperlihatkan bahwa skor terhadap kebebasan sipil di Indonesia juga merosot jauh. Kosa kata demokrasi tenggelam dibalik jargon-jargon modernisasi dan pembangunan. Tertib sosial jauh lebih penting ketimbang kompetisi politik terbuka. Kebebasan pers dan sipil dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik-ekonomi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sepanjang tahun 2014-2019 setidaknya telah terjadi 2.522 konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 807.177.613 hektar dan melibatkan 87.568 Kepala Keluarga (KK) di berbagai provinsi di Indonesia. Akibat dari konflik agraria ini, selalu ada korban yang berjatuhan entah karena ditembak, dianiaya, maupun ditahan. Pada kenyataannya, konflik agraria sebagian besar dipicu oleh kebijakan publik yang berdampak luas pada dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Sektor yang paling banyak menyumbang terjadinya konflik agraria yaitu sektor perkebunan. Hal ini dikarenakan adanya praktek pembangunan dan ekspansi perkebunan di Indonesia yang melanggar hak-hak masyarakat atas tanah. Pada kasus ini, demokrasi Indonesia senyatanya belum mampu membangun keterhubungan (linkage) dengan kebebasan masyarakat untuk menikmati hak-haknya. Penerapannya tersandera oleh kepentingan agensi.
ADVERTISEMENT
Demokrasi kita seolah terjerembab ke dalam illiberal democracy atau saya biasa menyebutnya dengan ‘demokrasi kosong’. Situasi dimana sistem pemerintahan tetap melaksanakan pemilu, namun mengekang dan represif terhadap kebebasan sipil, sehingga warga tidak mengetahui aktivitas pemegang kekuasaan yang sesungguhnya.
Terpilihnya Jokowi sebagai Presiden membawa semangat keterwakilan masyarakat sipil di Indonesia. Simbol politik yang ia tampilkan sebagai sosok calon pemimpin dari rakyat dan tidak memiliki keterkaitan dengan oligarki politik berhasil merenggut simpatik banyak kalangan. Ia kemudian hadir dengan program-program demokratisnya melalui Nawacita yang menjamin kebebasan sipil, pers, pemenuhan hak asasi, pemberantasan korupsi dan reformasi kelembagaan menjadi nilai lebih yang berhasil mengantarkan ia terpilih melalui Pemilu.
Namun, realitas politik berbanding terbalik. Terpilihnya Jokowi justru menandakan berlangsungnya suasana perampasan hak, anti-politik, anti-pikiran, dan anti-intelektual. Kritikan terhadap pemerintah harus hati-hati. Sebab, pengkritik berpotensi terjerat UU ITE. Sedangkan di sisi lain, pemerintah dan DPR bersekongkol untuk merevisi UU KPK yang dinilai justru melemahkan KPK ditengah maraknya kasus korupsi yang terjadi. Pemerintah justru melanggengkan tindakan untuk menyandera demokrasi. Pembatasan, sensor yang berlebihan dan kekerasan yang terjadi menunjukkan betapa sempitnya ruang kebebasan dan rendahnya penghormatan terhadap HAM. Pelarangan-pelarangan tersebut adalah strategi pengaturan untuk mengendalikan masyarakat, entah demi dalih ketertiban atau kesalehan. Hal ini yang melatarbelakangi asumsi bahwa demokrasi bisa mati bukan di tangan jenderal, melainkan di tangan pemimpin terpilih.
ADVERTISEMENT
Berkembangnya illiberal democracy menandai sebuah episode khusus perkembangan demokrasi di Indonesia. Di balik itu saya melihat adanya semacam dislokasi politik (political dislocations), atau terlepasnya muatan-muatan substansi politik demokratis dari bekerjanya kelembagaan politik, atau tak terkendalinya aktor-aktor politik dari kelembagaan politik demokrasi. Baik dalam gejala dislokasi ini, sesungguhnya berlangsung semacam kesenjangan politik (political gaps) di masyarakat, yaitu antara cita-cita ideal demokrasi dihadapkan dengan realitas politik yang berkembang.
Kesenjangan politik bisa terjadi karena beberapa sebab. Bisa jadi karena terlalu melambungnya idealisme atau cita-cita politik demokrasi yang hendak digapai. Bisa juga karena begitu besarnya masalah politik yang dihadapi sehingga demokratisasi sedang berkembang tidak atau belum mampu mengatasinya. Atau, karena lemahnya kapasitas kelembagaan demokrasi merealisasikan idealisme politik demokrasi atau dalam memecahkan masalah-masalah politik yang dihadapi. Situasi ini yang membentuk pseudo-democracy atau biasa kita sebut dengan demokrasi semu.
ADVERTISEMENT
Reaktualisasi Demokrasi
Berbagai kemungkinan itu penting mendapatkan pemecahan dari demokratisasi yang sedang berkembang. Reaktualisasi politik demokrasi diperlukan dalam konteks ini untuk menjawab berbagai permasalahan ini, baik dalam tingkat subjek-subjek politik maupun dalam tingkat bekerjanya kelembagaan politik.
Di 100 hari Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, reaktivasi subjek politik (agensi) dalam menjalankan kelembagaan demokrasi dalam hal ini sangat diperlukan. Bukan hanya untuk meningkatkan kesadaran, komitmen atau kehendak politik (political will) subjek-subjek politik untuk mendorong berkembangnya demokrasi, tetapi juga memperbaharui bekerjanya kelembagaan politik demokrasi.
Saya menekankan pembaharuan kelembagaan politik bukan berarti bahwa pelembagaan politik tidak dilakukan selama ini. Hal itu telah banyak dilakukan, namun terlalu ambisius dengan meminjam model kelembagaan ekonomi-politik liberal atau neo-liberal, dengan disana-sini masih diwarnai teknokratisme atau pembangunanisme ala Orde Baru, rasionalisme birokrasi dan proseduralisme politik dan hukum mengikuti model kontrak sosial atau kontrak politik berbasiskan subjek-subjek politik individual mengejar kepentingan ekonomi, namun abai terhadap perkembangan demokrasi, menekankan bekerjanya logika perbedaan dan kesetaraan dalam praktek demokrasi, atau kebebasan dan kesetaraan bagi semua, disertai pembentukan agensi-agensi politik dan pengorganisasian politik merepresentasikan kepentingan publik atau konstituen.
ADVERTISEMENT
Kongkretnya, demokrasi lebih diarahkan pada peningkatan kapasitas kelembagaan demokrasi merepresentasikan kepentingan publik dan konstituen. Hal itu penting dilakukan bukan hanya untuk memperkuat kedudukan agensi-agensi politik mewakili kepentingan konstituen atau publik duduk di lembaga-lembaga demokrasi baik di tubuh partai politik, legislatif, maupun eksekutif. Tetapi, juga bagi terbentuknya subjek-subjek politik sebagai agensi politik merepresentasikan kepentingan publik dan konstituen untuk memperbaiki kualitas politik representasi atau memperbaiki bekerjanya kualitas kelembagaan politik demokrasi yang dimulai dari penyelenggaraan pemilu, pengorganisasian politik kepartaian dan praktek politik penentu kebijakan.