Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Stigma Gender dalam Pendidikan SMK
12 Januari 2022 15:47 WIB
Tulisan dari Yayang Andi Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Melihat tentang keadilan gender di masa sekarang, pastinya kita bisa menyimpulkan bahwa kesetaraan gender di negara kita ini sudah sangat membaik jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Banyak sekali sektor yang saat ini tidak hanya mengutamakan laki-laki sebagai salah satu partisipan-nya tetapi juga melibatkan perempuan. Stigma Patriarki yang dulu sangat kental dalam budaya Indonesia kini mulai pudar, ini merupakan sebuah kabar baik bagi masyarakat di Indonesia khususnya perempuan karena mereka kini dapat terlibat di sektor yang dulunya merupakan sektor yang dikhususkan untuk laki-laki. namun, apakah stigma tersebut sudah sepenuhnya hilang di Indonesia?
Kesetaraan gender merupakan sebuah momen dimana tidak ada batasan antar gender sehingga terjadi keadilan dan keseimbangan antara peran perempuan dan laki-laki. Jadi sebenarnya tujuan utama dari kesetaraan gender adalah merobohkan stigma antara gender laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, saat ini masih terjadi ketimpangan gender di dunia pendidikan. Stigma ini masih melekat di dunia pendidikan terutama pada pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan atau yang sering disingkat SMK. Seperti yang kita ketahui bersama, pada pendidikan SMK pasti memiliki jurusan yang dibutuhkan pada dunia Industri, misalnya saja jurusan Mesin, Listrik, Komputer, Tata Boga, Kecantikan dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kasus yang saya lihat sendiri sebagai lulusan SMK, stigma gender pada pendidikan SMK masih melekat hingga saat ini. Contohnya saja, Stigma kalau anak laki-laki harus masuk di jurusan Mesin sementara anak perempuan harus masuk di jurusan Tata Boga. Hal ini merupakan salah satu contoh stigma yang masih berlaku di pendidikan SMK. Kebanyakan dari anak atau siswa yang masuk di jurusan yang tidak sesuai dengan gendernya akan mendapatkan omongan yang menjurus pada pertanyaan yang menjurus pada stigma tersebut. Contoh pertanyaan dari kasus ini misalnya “kenapa masuk jurusan masak? Kan kamu kamu laki-laki” begitu pula anak perempuan yang masuk di jurusan mesin pasti juga akan mendapatkan pertanyaan yang sama. Padahal kenyataannya kita semua sama-sama memiliki bakat dan juga potensi yang pada nantinya akan sama-sama juga berkontribusi di dalam dunia industri.
ADVERTISEMENT
Akibat dari Stigma Gender
Stigma yang masih melekat tentu saja memiliki dampak dunia pendidika karena akan terjadi ketimpangan jumlah lulusan antara siswa perempuan dan laki-laki di terlebih di SMK yang mengkhususkan jurusannya di satu bidang saja sehingga dampaknya akan terjadi ketidakseimbangan gender siswa. Jika dilihat dari sudut pandang siswa, stigma ini juga sangat merugikan.
Akibat dari adanya Stigma Gender ini adalah banyak siswa yang akan terkurung dan tidak dapat mengembangkan bakatnya sesuai dengan minat yang ada. Mereka justru mendapatkan kata-kata yang kurang mengenakan karena memilih jurusan dengan mayoritas siswa dengan gender tertentu ataupun terpaksa memilih jurusan tidak sesuai dengan minatnya demi menghindari stigma buruk dalam lingkungan masyarakat. Kasus ini bertentangan dengan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM Pasal (12) yang mana menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.”
ADVERTISEMENT
Kejadian seperti ini pastinya juga akan berakibat pada dunia pendidikan jika terus menerus dibiarkan terjadi. Akibat dari masalah ini juga tidak sepele, mulai dari maraknya tindakan perundungan yang bernuansa gender pada lingkungan sekolah dan masalah paling buruk adalah makin banyak lulusan yang kurang berkopeten di bidangnya. Kembali lagi seseorang akan berkembang jika ia mengembangkan diri sesuai dengan minatnya dan dengan adanya stigma ini para siswa akan merasa terbebani stigma yang ada sehingga jika mereka tidak memilih jurusan yang sudah diminati akan terjadi lulusan nanggung atau lulusan yang kurang berkopeten, akibat dari masalah ini ialah akan terjadi kekuarangan tenaga kerja akan tetapi disisi lain juga akan banyak lulusan yang menganggur karena mereka merasa tidak ingin melanjutkan pekerjaan sesuai dengan bidangnya dan juga beberapa penolakan kerja akibat kurangnya standar kopentensi siswa.
ADVERTISEMENT
Solusi yang ditawarkan dari sudut pandang sosiologi adalah dengan menggunakan Teori Equilibrium atau Teori Keseimbangan. Teori ini menitikpusatkan keseimbangan atau keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan karena pada dasarnya mereka harus bekerja sama dalam segala bidang kehidupan. Pada dasarnya stigma yang melekat di masyarakat tentang jurusan SMK sudah seharusnya dihilangkan mengingat tak jarang ada calon siswa yang merubah pikirannya dalam memilih jurusan hanya karena ingin menghindari stigma yang sudah ada di masyarakat padahal sangat meminati jurusan yang sudah dipilih sebelumnya.
Masyarakat harus sadar bahwa harus ada keseimbangan antara laki-laki dan perempuan dan tak seharusnya memberikan penilaian negatif kepada siswa atau calon siswa yang memilih jurusan. Seperti yang kita ketahui bersama dunia pendidikan merupakan kunci penting dari kemajuan bangsa jika stigma ini masih tetap berlaku maka tentu saja kemajuan yang selama ini ingin kita tercapai akan terhambat. Stigma gender di dunia pendidikan ini memang seharusnya dihilangkan karena pada dasarnya pendidikan merupakan hak dari setiap warga negara dan kita harus sadar bahwa jurusan bukanlah milik dari salah satu golongan dan juga gender saja.
ADVERTISEMENT