Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.3
19 Ramadhan 1446 HRabu, 19 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Mengetahui vs Menggunakan dalam Dunia Kerja di Era AI
19 Maret 2025 12:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Yayan Sopyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Semuanya mengalir dan tidak ada yang tetap sama. "Panta rhei kai uden menei," kata filsuf Heraclitus. Yang tetap tidak berubah adalah perubahan.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan dunia kerja. Dunia kerja berubah dari ekonomi berbasis sumber daya, ke ekonomi berbasis pengetahuan, dan sekarang ke ekonomi berbasis inovasi.
Dalam ekonomi berbasis sumber daya, nilai utama berasal dari eksploitasi bahan mentah seperti pertambangan, pertanian, dan manufaktur. Dalam ekonomi pengetahuan, mereka yang memahami, mengolah, dan menerapkan informasi adalah yang paling berharga. Tetapi di era AI dan otomatisasi, di mana teknologi semakin mengambil alih banyak proses kognitif, apakah pemahaman masih seberarti dulu?
Banyak pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan pemikiran mendalam, sekarang bisa dilakukan cuma dengan satu klik. Analisis data yang dulunya membutuhkan tim ahli statistik, sekarang bisa diotomatisasi oleh algoritma prediktif. Jurnalis yang biasa menggali sumber informasi, sekarang memiliki AI yang bisa menyusun draf berita dalam hitungan detik. Seorang akuntan tidak perlu lagi menghitung dan memeriksa laporan keuangan secara manual, karena perangkat lunak berbasis AI bisa mendeteksi ketidaksesuaian dengan lebih cepat dan akurat.
ADVERTISEMENT
Perubahan ini mengarah pada pertanyaan: apakah kita sedang bergerak menuju era di mana memahami menjadi kurang penting dibandingkan dengan menggunakan?
Mengetahui berarti memahami. Seorang dokter yang membaca hasil laboratorium tidak sekadar melihat angka, tetapi juga memahami konteks di baliknya—bagaimana faktor usia, riwayat medis, dan kondisi pasien bisa memengaruhi diagnosis. Seorang arsitek tidak cuma bisa memakai perangkat lunak desain, tetapi juga memahami prinsip struktural dan estetika yang mendasarinya. Itu dulu, sebelum banyak perangkat berbasis artificial intelligence (AI) dipakai di banyak bidang profesi.
Hari ini, semakin banyak orang yang merasa tidak perlu memahami konsep mendalam selama mereka tahu cara memakai alat yang tersedia. Dalam banyak industri, keterampilan teknis dan pemahaman fundamental semakin tersisih oleh kemampuan untuk mengoperasikan perangkat berbasis AI.
ADVERTISEMENT
Ada pergeseran yang menarik di sini. Validitas pengetahuan dulu ditentukan oleh pakar, akademisi, atau institusi resmi. Seseorang dianggap memahami sesuatu kalau ia bisa menjelaskan, membuktikan, atau mempertahankan argumennya dalam diskusi yang kritis. Itu dulu.
Sekarang, algoritma menentukan validitas. Hasil pencarian Google yang muncul di urutan teratas lebih mudah diterima sebagai kebenaran, bahkan mengungguli riset yang lebih mendalam. Model AI seperti ChatGPT sering dianggap lebih efisien daripada harus membaca jurnal atau berdiskusi dengan ahli.
Kecepatan telah menggantikan kedalaman, dan efisiensi telah menggantikan pemahaman. Kalau AI bisa memberikan jawaban lebih cepat dan tampak masuk akal, apakah kita masih peduli untuk memahami mengapa jawaban itu benar atau salah?
Terutama di tempat-tempat kerja yang sudah banyak melibatkan AI, dunia kerja sedang mengalami pergeseran besar. Sebelumnya, seseorang dinilai berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya, tetapi sekarang, yang lebih dihargai adalah bagaimana ia memanfaatkan alat yang tersedia untuk mencapai hasil. Kemampuan memakai perangkat berbasis AI lebih diutamakan daripada pemahaman mendalam tentang bagaimana perangkat itu bekerja. Akibatnya, ada generasi pekerja baru yang semakin bergantung pada sistem otomatis tanpa benar-benar memahami dasar-dasar di baliknya.
ADVERTISEMENT
Ada tantangan besar di sini. Ketika pemahaman mulai tersisih, kita berisiko mengalami kepercayaan berlebih pada teknologi yang kita pakai.
Sistem AI, meskipun canggih, tetaplah bergantung pada data yang dipakainya. Model yang bias bisa menghasilkan kesimpulan yang bias.
Kita bisa melihat ini, misalnya, dalam sistem rekrutmen berbasis AI yang dipakai oleh beberapa perusahaan besar terbukti lebih sering menolak kandidat perempuan untuk posisi teknis karena data historisnya cenderung merefleksikan dominasi laki-laki dalam industri tersebut. Amazon, contohnya, pernah mengembangkan alat rekrutmen AI yang tanpa disadari memberi peringkat lebih rendah pada kandidat perempuan karena data pelatihan yang digunakan sebagian besar berasal dari lamaran kerja laki-laki.
Kalau kita tidak memahami prinsip kerja AI dan sekadar menerimanya sebagai otoritas baru, bagaimana kita bisa menyadari kesalahan-kesalahan ini? Kalau kita hanya mengandalkan AI tanpa mempertanyakan proses di baliknya, bagaimana kita bisa memastikan bahwa keputusan yang dibuat benar-benar adil dan tepat?
ADVERTISEMENT
AI akan terus berkembang, dan manusia harus beradaptasi. Tapi apakah kita rela membiarkan AI berpikir untuk kita? Atau justru sebaliknya, kita harus lebih kritis, memastikan bahwa di balik setiap kemudahan yang ditawarkan AI, masih ada manusia yang memahami bagaimana dan mengapa sesuatu bekerja?
Dalam ekonomi inovasi, kecepatan dan efisiensi adalah segalanya. Tapi tanpa pemahaman, kita hanya akan menjadi generasi yang sekadar memakai tanpa benar-benar mengerti. Padahal dalam dunia yang semakin dikendalikan AI, justru pemahamanlah yang membuat kita tetap relevan.