Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Gudik, Simbol Santri Milenial
16 November 2021 11:09 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Yasid Abdul Qohar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pesantren memiliki enigma dan mitos yang sangat kuat, yaitu penyakit kulit yang biasa disebut gudik atau lebih masyhurnya gudiken. Bahkan ada suatu slogan “ketika belum kena gudik, berarti belum sah disebut santri kafah”, ujar Kang Santri senior.
ADVERTISEMENT
Jadi gudik di sini memiliki peranan penting sebagai alat legitimasi seseorang itu santri abal-abal atau santri tulen. Bisa dikatakan satu-satunya makhluk di seluruh muka bumi yang selalu menemani santri dalam kegiatan apa pun, makhluk biadab yang tak berperi kemanusiaan itulah si biang kerok yang menyebabkan penyakit gatal dikulit dalam kondisi parah, hingga membuat kulit melepuh bernanah.
Makhluk ini resmi terdaftar di capil setempat dan sesuai akta kelahirannya bernama Sarcoptes scabie, nama masyhur dalam bahasa medisnya yaitu Scabies, kutu berbentuk bulat pipih kira-kira berukuran 500-an miu yang memiliki hobi menggali lapisan epidermis kulit manusia, bisa dikatakan kutu ini memiliki karakter penjajah yang mana kutu ini menggali kulit pada manusia sebagai tanda kemenangannya dan mengekspansi tanah baru. Kutu ini memliki jangka hidup cukup lama sekitar 48 jam jika tidak bermukim dikulit manusia.tapi ketika sudah mendapatkan tanah jajahan mereka bisa hidup berbulan-bulan tanpa bayar sewa kontrak, benar-benar seperti teman kos yang nebeng hidup aja. Sangat pantas disebut era kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Scabies dikenal oleh manusia sudah semenjak zaman dahulu. Catatan Arlian dan Burgess menyebut bukti arkeologi dan gambar hieroglif dari zaman mesir kuno menunjukkan scabies telah menyebabkan iritasi pada kulit manusia sejak 2.500 tahun silam. Pada abad pertengahan di Eropa, (Yunani dan Romawi) , scabies identik dengan gatal-gatal yang terjadi pada orang di lingkungan yang kumuh dan miskin (Griana, 2013:38).
Gudik sebenarnya bukan penyakit yang lahir dari lingkungan pesantren. Sebab, gudik sudah ada dan terjadi ribuan tahun silam. Gudik merupakan masalah mendunia yang tidak hanya ada di lingkungan santri, namun juga penghuni Kos-kosan ,Wisma, hingga di berbagai Hotel, karena penularannya terjadi secara kontak langsung maupun tidak langsung. Misalnya kontak secara langsung seperti melalui handuk, pakaian, tempat tidur dan lain-lain. Dan scabies dapat berkembang pada higien perorangan yang jelek, lingkungan yang kurang bersih, demografi status perilaku individu. Riset Putri (2016;xii) menyebut WHO mengidentifikasi scabies sebagai salah satu penyakit yang harus mendapatkan perhatian lebih, karena merupakan kontributor substansial bagi morbiditas dan mortalitas global. Jadi cara mengatasi ini lumayan susah, dilihat dari tingkat kepadatan penyakit ini muncul.
ADVERTISEMENT
Menurut saya , hidup di pesantren penuh dengan cobaan berat. Selain tugas kuliah, ro’an, ta’zir, dan lain-lain. Dan menurut saya bahwa Pesantren ialah Penjara suci di Dunia. Ketika seorang santri mampu melewati cobaan itu semua sampai boyong, maka ia sudah kafah menjadi santri, meskipun santri tidak ada kata pensiun untuk ngaji. Pola hidup kebersamaan di pesantren menjadikan santri lupa dengan mengurus kebersihan diri, walaupun itu tidak semua. Sebab, kepentingan umum sangat diutamakan dari pada kepentingan pribadi. Wujud egaliter inilah yang menjadikan kehidupan santri setelah boyong menjadi berkah, karena tidak individualis dan mengutamakan kebersamaan.
Lebih uniknya, banyak santri yang merasa betah dan bahkan keturunan konglomerat pun ketika menjadi santri selalu rindu akan kehidupan pesantren. Dan anehnya, ketika santri hidup di pesantren terkena gudik, namun ketika pulang ke rumah, sembuh. Kemudian ketika pulang ke pesantren, kumat lagi. Meski demikian, tidak semua santri pernah gudik-an dan meski pernah, itupun hanya sekali, dua kali. Sebab, gudiken banyak faktornya apalagi pesantren sangat berbeda dengan teori-teori ilmiah yang dikaji pada peneliti kesehatan. Lantaran menjadi adigium sakral, maka gudik seolah-olah menyugesti santri untuk gudiken. Padahal secara rasional, tidak semua kyai menyarankan demikian. Pasalnya gudik merupakan penyakit alamiah, pemberian Allah, bukan buatan kiai dan santri.
ADVERTISEMENT
Secara kesimpulan, setiap seseorang ingin menggapai cita-cita pasti akan menjumpai sesuatu cobaan, seperti yang disyairkan dalam kitab Nadhom Alala, “walaisaktisaabulmaali duuna masyaqqotin, takhammaluha faal’ilmu kaifa yakuunu” (Adakah mencari harta yang tanpa kesusahan? Demikian halnya dengan ilmu, bagaimana bisa tanpa kesusahan) artinya, segala sesuatu itu harus bersusah payah dahulu, dengan melewati berbagai cobaan ataupun ujian dan di masa depan kita bisa memetik buah hasilnya.