Konten dari Pengguna

Memahami Budaya Patriarki Pemicu Terjadinya KDRT

Ilham Yazid Ibnu Abdillah
Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23 November 2021 21:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Yazid Ibnu Abdillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.canva.com/design/DAEwgguSL08/Bl9AQMjRBvbMbfmoisEgRg/view?utm_content=DAEwgguSL08&utm_campaign=designshare&utm_medium=link&utm_source=sharebutton
zoom-in-whitePerbesar
https://www.canva.com/design/DAEwgguSL08/Bl9AQMjRBvbMbfmoisEgRg/view?utm_content=DAEwgguSL08&utm_campaign=designshare&utm_medium=link&utm_source=sharebutton
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya perkawinan bertujuan untuk membuat keluarga bahagia. Anggota keluarga sebagai peran dalam rumah tangga yang menjadi tempat agar anggota keluarga tetap merasa aman dan terlindungi. Namun bagaimana jika rumah tangga yang sedang dibangun terdapat kekerasan di dalamnya? Dalam Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwasanya suami dan istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup di dalam masyarakat serta berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
ADVERTISEMENT
Salah satu faktor penyebab terjadinya KDRT ialah karena adanya ideologi gender dan budaya patriarki. Patriarki adalah sebuah system sosial di mana laki-laki memiliki kontrol wewenang dan kekuasaan yang lebih tinggi dibanding dengan perempuan. Akibat budaya dan ideologi tersebut berpengaruh juga dalam ketentuan di dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 31 yang menimbulkan pandangan dalam masyarakat seolah-olah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar sehingga dapat memaksakan semua kehendaknya, termasuk melalui kekerasan.
KDRT yang seharusnya menjadi pelanggaran terhadap hak-hak perempuan namun terjadi dalam lingkup keluarga yang privat pada akhirnya hanya disepelekan dan berdalih permasalahan atau urusan keluarga sehingga tidak tersorot dan menjadi tanggung jawab yang berwenang.
Indonesia menjadi urutan ke-8 dalam dimensi tingginya jarak antara kekuatan laki-laki dan perempuan. Hal ini berarti menunjukkan Indonesia menempati 10 besar Negara yang mempunyai budaya patriarki yang tinggi, menurut penelitian yang dilakukan oleh Hofstede terhadap budaya 50 negara di dunia. Dapat dijelaskan secara singkat kondisi masyarakat patriarki di Indonesia: Perempuan dididik untuk pasrah, diam, dan membaktikan hidup untuk kesejahteraan keluarga. Dalam keluarga, perempuan dilatih sebagai pengasuh dan lebih mengutamakan tugas di dalam rumah dan perempuan dipuji Ketika bersikap nrimo, yaitu menerima apa pun itu takdir mereka.
ADVERTISEMENT
Paradigma ini tidak berubah banyak sejak Indonesia memasuki era reformasi Pada tahun 1998 walaupun upaya mendobrak pandangan ini terus dilakukan. Kementerian pemberdayaan perempuan berusaha mengubah beberapa peraturan yang substansinya dianggap mempunyai bias patriarki termasuk dalam lingkup hukum keluarga. Standar patriarki juga mempengaruhi pemerintahan di Indonesia yang mana jabatan tinggi didominasi oleh pihak laki-laki saja dan banyak dari perempuan Indonesia yang tidak menyadari ketidakadilan hak-hak mereka yang disebabkan oleh faktor latar belakang sosial serta budaya yang kurang menguntungkan di satu pihak. Serta ketidak kepedulian sesama atas pentingnya keterlibatan perempuan dalam pembuatan kebijakan. Namun kuatnya budaya patriarki juga tidak seluruhnya disebabkan oleh laki-laki saja. Budaya ini sebenarnya tidak dapat hidup dan bekerja tanpa bantuan dari perempuan. Contoh kerja sama itu terjadi dalam berbagai cara, yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Ideologisasi mengenai gender.
2. Pembatasan pendidikan untuk perempuan.
3. Pencegahan sampai penolakan untuk memberi pengetahuan kepada perempuan tentang sejarah dan peran mereka.
4. Terdapat pemisahan kelompok antar sesama perempuan dan pembentukan satu sama lain.
5. Diskriminasi terhadap perempuan di bidang politik dan sumber daya ekonomi.
6. Memberikan penghargaan kepada perempuan yang telah mendukung budaya patriarki.
Tanpa disadari manusia, budaya patriarki telah merusak tatanan hubungan gender yang harmonis dan setara serta memorakporandakan banyak rumah tangga di dunia. Perempuan yang tidak memiliki kapabilitas rela menjadi orang kedua dan ketiga dari laki-laki yang sudah beristri hanya untuk kesenangan materi dan kemudahan hidup. Tidak pernah tercatat ada laki-laki yang mau menjadi kedua dan ketiga setelah laki-laki lain. Namun herannya, fakta juga mencatat perempuan yang memiliki kapabilitas rela ‘memelihara’ laki-laki yang disenanginya. Dalam alam bawah sadarnya kaum perempuan yang ‘super’ ini masih merindukan kemajuan dunia, budaya patriarki yang memuja dan menopang kehidupan kaum perempuan tanpa perlu berlelah-lelah karena sudah kaya namun faktanya mencatat Apabila terjadi Over The Line, kaum perempuan ‘super’ ini dapat menjadi pelaku kekerasan pada laki-laki karena merasa dirinya dieksploitasi laki-laki dan Mencoba membalas dengan kekuatan materi dan sumber daya yang dimilikinya begitupun sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan yang dapat kita ambil bahwasanya dalam budaya ini memberikan kedudukan laki-laki di atas kedudukan perempuan yang pada dasarnya dapat menyulitkan perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Budaya ini membuat seolah-olah apa yang dilakukan laki-laki atau suami adalah hak dan sebuah kebenaran walaupun perbuatan itu berupa kekerasan dan di pihak perempuan ataupun istri hanya bisa patuh kepada laki-laki karena perempuan menilai perbuatan itu adalah akibat atas kesalahannya. Sehingga dari kepatuhan tersebut perempuan tidak menyadari bahwasanya laki-laki itu sudah melakukan kekerasan. Untuk itu, beberapa langkah perlu dilakukan untuk mencegah adanya dampak negatif dari budaya patriarki, yaitu:
• Mengubah paradigma keluarga sebagai unit masyarakat terkecil sejak dini.
• Pemberian materi pendidikan yang berwawasan gender di setiap level lembaga akademik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
• Penyuluhan dan sosialisasi terus-menerus melalui berbagai media mengenai keseimbangan hak kedudukan suami istri. hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat dan ulama yang berwawasan gender.