Konten dari Pengguna

Aksi Kamisan dan Harapan Dalam Mencari Kebenaran

Daffa Yazid Fadhlan
Mahasiswa aktif UIN Jakarta dan bagian dari LPM Journo Liberta.
2 Januari 2025 9:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daffa Yazid Fadhlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: Dokumentasi Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Source: Dokumentasi Pribadi.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sudah sering terjadi dari masa Orde Lama, hingga masa sekarang. Kurang kompetennya pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM, membuat beberapa elemen masyarakat menciptakan sebuah gerakan dan aksi guna mencari keadilan. Salah satunya adalah Aksi Kamisan.
ADVERTISEMENT
Aksi Kamisan adalah sebuah gerakan kolektif yang dilakukan setiap hari Kamis di seberang Istana Merdeka. Sebuah aksi yang menuntut pemerintah agar memberikan keadilan kepada para keluarga korban dan mengungkap semua kebenarannya. Mulai dari Tragedi Rumoh Geudong 1989-1998, Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998, Tragedi Trisakti (12 Mei 1998), Tragedi Semanggi I (13 November 1998), Tragedi Semanggi II (24 September 1999), Peristiwa Tanjung Priok (12 September 1984), Pembunuhan Munir (7 September 2004), dan masih banyak kasus-kasus lain yang tidak jelas penyelesainnya.
Gerakan ini terinspirasi oleh gerakan para ibu di Argentina yang mencari anak-anak mereka yang hilang akibat perang yang terjadi antara tahun 1976 hingga 1983 di bawah rezim militer Argentina. Mereka mengadakan demonstrasi dengan membawa kain yang memuat nama-nama anggota keluarga yang hilang di Plaza de Mayo, yang terletak di depan Casa Rosada, Istana Presiden, di kota Buenos Aires, Argentina.
ADVERTISEMENT
Aksi tersebut kemudian membuahkan hasil dengan dibentuknya Commision Nacional para la Desaparacion de Personas (Komisi Nasional Penghilangan Paksa) dan menerbitkan laporan pengungkapan orang hilang yang terjadi selama rezim militer berkuasa di Argentina yang berjudul Nunca Mas (Jangan Terulang Lagi).

PERMULAAN

Pada awalnya, para keluarga korban pelanggaran HAM merasa gelisah dan tidak puas kepada pemerintah Indonesia dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lampau. Beberapa keluarga korban yang merasa tidak puas adalah Maria Catarina Sumarsih/Ibu Sumarsih, Suciawati, dan Bedjo Untung. Ibu Sumarsih adalah Ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan (salah satu korban Tragedi Semanggi I), Suciawati adalah Istri dari mendiang Munir Said Thalib (seorang pegiat HAM yang meninggal dunia setelah diracun di pesawat), dan Bedjo Untung adalah perwakilan dari keluarga korban pembunuhan, pembantaian dan pengurungan tanpa prosedur hukum pada tahun 1965-1966. Mereka ber-3 tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dan menggandeng Komunitas untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) yang juga berfokus pada isu-isu pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya, mereka semua sepakat akan mengadakan aksi damai di seberang Istana Merdeka pada hari Kamis, 18 Januari 2007, dengan harapan agar keadilan dapat ditegakkan bagi para korban dan menuntut pemerintah agar bersikap adil juga mengungkap kebenaran dibalik kasus-kasus pelanggaran HAM.
Sampai saat ini, aksi tersebut dikenal sebagai Aksi Kamisan dan menjadi sebuah gerakan kolektif yang membesar hingga ke luar Jakarta, seperti Padang, Bandung, Semarang, Malang, dan kota-kota lainnya. Selain itu, Aksi Kamisan juga mendapat simpatis dari kalangan muda, terutama para mahasiwa yang harus selalu kritis kepada pemerintah.

PRESIDEN SILIH BERGANTI, AKSI KAMISAN TETAP BERDIRI

Aksi Kamisan telah berdiri selama 17 tahun lamanya. Ratusan Kamis sore telah terlewati, dan Presiden pun silih berganti. Akan tetapi, aksi Kamisan tetap berdiri, yang menandakan bahwa keadilan bagi para korban tak kunjung ditegakkan.
ADVERTISEMENT