Konten dari Pengguna

Memorialisasi Penculikan Dua Aktivis UNAIR Lewat Film "Yang (Tak Pernah) Hilang"

Daffa Yazid Fadhlan
Mahasiswa aktif UIN Jakarta dan bagian dari LPM Journo Liberta.
21 Agustus 2024 8:41 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daffa Yazid Fadhlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Dokumentasi : Pribadi) Nonton bareng film dokumenter "Yang (Tak Pernah) Hilang" di gedung LBH Jakarta.
zoom-in-whitePerbesar
(Dokumentasi : Pribadi) Nonton bareng film dokumenter "Yang (Tak Pernah) Hilang" di gedung LBH Jakarta.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Memorialisasi adalah sebuah upaya merawat ingatan publik dalam bentuk fisik dan lainnya atas peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu dan sebagai bentuk penghormatan atas martabat korban. Memorialisasi juga merupakan sebagian pemenuhan hak korban atas pemulihan, membangun ruang ingatan kolektif untuk mengenang berbagai peristiwa kelam pelanggaran HAM dan menjadi pembelajaran penting agar peristiwa serupa tidak berulang di masa depan.
ADVERTISEMENT
Berupaya me-memorialisikan dua orang hilang yang diculik pada masa rezim Orde Baru, komunitas #KawanHermanBimo mengadakan nonton bersama film dokumenter berjudul "Yang (Tak Pernah) Hilang" di gedung LBH Jakarta pada Sabtu, 3 Agustus 2024.
Pembuat film, Ikatan Keluarga Orang Hilang Jawa Timur atau IKOHI Jawa Timur berusaha merawat, mengingat, dan menjaga ingatan publik, terutama generasi muda, terhadap kasus penghilangan paksa dan penculikan terhadap dua aktivis mahasiswa Universitas Airlangga (UNAIR) yang dilakukan oleh Tim Mawar pada masa pengujung rezim Orde Baru.

Sinopsis "Yang (Tak Pernah) Hilang"

Film "Yang (Tak Pernah) Hilang" bercerita tentang jejak langkah dua aktivis mahasiswa UNAIR yang hilang diculik pada masa rezim Orde Baru yang otoriter pada tahun 1998. Herman Hendrawan (Herman) dan Bima Petrus Anugrah (Bimo atau Bimpet) menjadi sorotan pada film dokumenter "Yang (Tak Pernah) Hilang." Pada film ini ditunjukkan lingkungan sosial tempat Herman dan Bimo tumbuh yang membentuk mereka sejak kecil. Teman-teman kampus mengenal mereka berdua sebagai sosok yang cerdas, kritis, gaul, dan gemar membaca buku. Dari kampus ini mereka mulai bersikap kritis atas situasi bangsa dan marginalisasi rakyat atas nama pembangunan. Lalu keduanya mulai mengorganisir mahasiswa dan melakukan advokasi isu pemburuhan yang menuntut demokrasi dan keadilan bagi rakyat kecil.
ADVERTISEMENT
Keduanya terlibat dalam pembentukan Kelompok Belajar Mentari (KBM) dan terlibat aktif dalam Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), dan Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP).
Film ini juga merangkai rekam jejak keduanya, mulai dari sejak kecil hingga keduanya menghilang pada Maret tahun 1998. Sebanyak 35 narasumber diwawancarai, mulai dari keluarga, saudara, kawan sekolah, teman organisasi, dosen, hingga aktivis partai politik yang pernah menjalin hubungan dengan keduanya.

Tentang Herman dan Bimo: Aktif Sejak Remaja, Melawan, Lalu Hilang

Herman Hendrawan

Herman Hendrawan adalah pemuda kelahiran Pangkal Pinang, 29 Mei 1971. Tumbuh dan berkembang di lingkungan terdidik membuat Herman aktif berorganisasi sejak remaja. Sejak SMA Herman aktif berorganisasi dengan mengikuti OSIS di sekolahnya, sebuah kelompok ilmiah remaja yang gemar berdiskusi seputar lingkungan sekolahnya. Aktivitasnya semasa remaja dan sosok Soekarno yang ia kagumi mendorong Herman untuk mengambil jurusan politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Airlangga.
ADVERTISEMENT
Herman tercatat sebagai mahasiswa jurusan politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 1990. Pada tahun 1993 Herman, Bimo Pertrus, Anom Astika, dkk mendirikan Kelompok Belajar Mentari (KBM). Kemudian KBM bertransformasi menjadi Komite Solidaritas Mahasiswa Universitas Airlangga (KSM-Unair). Seiring dengan deklarasi dari Solidaritas Mahasiswa untuk Indonesia (SMID) diberbagai kampus, KSM-Unair dan beberapa pergerakan kampus di Surabaya bertrasnformasi menjadi SMID cabang Surabaya pada tahun 1994. Kemudian Herman dkk menjadi pelopor perngorganisiran buruh disekitar kawasan industri Surabaya.
Pada tahun 1994 dibentuk Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PBBI) sebagai serikat buruh independen. Herman diangkat menjadi ketua PBBI cabang Surabaya pada tahun 1996. Pada 25 Maret 1996, PBBI dan SMID mengadakan aksi gabungan dari tiga pabrik di kantor Depnaker Surabaya. Pada 8 Juli 1996 Herman dan yang lainnya memimpin aksi gabungan ribuan buruh dari 10 pabrik di kawasan industri Tandes menuju kantor DPW PDI Megawati dan ke DPRD tingkat I Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Herman juga aktif dalam Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) dan duduk sebagai anggota Dewan Presidium. Tujuan dibentuknya KIPP adalah mendelegtimasi kekuasaan Orba Soeharto dikarenakan pemilu 5 tahunan yang curang dan penuh rekayasa.
Pada 27 Juli 1996 aparat militer menyerbu kantor PDI pimpinan Megawati di jl Diponegoro, Jakarta. PRD dan ormas-ormasnya dituduh sebagai dalang kerusuhan. Herman dkk PRD lalu bergerak di bawah tanah. Pada 14 April 1997, di kantor Yayasan Lembaga Banntuan Hukum Indonesia (YLBHI), dideklarasikan Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD). Herman ditunjuk sebagai Ketua Departemen Kerjasama untuk menggalang kekuatan oposisi seluas mungkin dengan mendeklarasikan Dewan Penyelamat Kedaulatan Rakyat (DPKR).
Pada akhirnya, semua pekerjaan gerakan konsolidasi Herman melawan Orde Baru tercium oleh aparatur negara Orba. Pada 12 Maret 1998 selepas acara jumpa pers KNPD di kantor YLBHI Herman menghilang, doculik dalam operasi militer Tim Mawar yang dibentuk Kopassus dibawah pimpinan Prabowo.
ADVERTISEMENT

Bima Petrus Anugrah

Bima Petrus Anugrah lahir di Malang, 24 September 1973. Bimo adalah anak kedua dari empat bersaudara.
Tahun 1993 menjadi mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga. Kemudian dia bergabung ke dalam Kelompok Belajar Mentari yang rutin mendiskusikan teori progresif dan situasi politik di Indonesia. Dosen-dosen di Unair mengakui Bimo sebagai mahasiswa yang kritis dan cerdas, bahkan ia beberapa kali menulis opini di koran dan pernah dimuat di harian nasional Kompas.
Tahun 1994, ketika KSM-Unair melebur menjadi SMID cabang Surabaya, Bimo terpilih sebagai Koordinator Pendidikan dan Propaganda (DPP) yang bertugas mengadakan pendidikan politik dan menerbitkan buletin 'Jembatan Merah'. Desember 1995, Bimo ditangkap dalam aksi buruh PT Sritex di Solo. Kemudian pada Juli 1996, Bimo kembali ditangkap dalam aksi buruh di Tandes Surabaya. Pada pertengahan tahun 1996, Bimo ditarik ke Jakarta untuk menduduki posisi sebagai Kordinator Departemen Pendidikan dan Propaganda di Pengurus Pusat SMID.
ADVERTISEMENT
Selain melakukan perelawan lewat pergerakan, Bimo juga mendirikan kelompok musik protes sosial bernama LONTAR bersama David, Wisnu, dan Kristanto. Lirik-lirik lagu LONTAR menyuarakan tentang ketimpangan sosial, kritik terhadap rezim Orba yang otoriter, dan lainnya.
Pasca kerusuhan 27 Juli 1996, Bimo tetap bergerak di bawah tanah bersama kawan-kawan PRD lainnya. Bimo menjadi koordinator kurir pengatur pertemuan para pengurus PRD. Jelang pemilu 1997, Bimo terlibat dalam aksi Mega-Bintang-Rakyat yang menolak kediktaktoran Soeharto, karena hal ini pula ia ditangkap pada Maret 1997 bersama Henry Suwalang dan Ilhamsyah karena membawa lembaran poster Mega-Bintang-Rakyat. Pada akhirnya mereka dibebaskan dengan jaminan dari Cak Munir selaku pengacara LBH Jakarta.
Gelombang krisis ekonomi menghantam Indonesia pada tahun 1997. Kehidupan rakyat makin sengsara. Mahasiswa mulai turun kejalan menuntut reformasi. Sejak 1998 akselerasi aksi mahasiswa kian melebar. Tim Mawar Kopasus dibentuk guna menghentikan aksi-aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa sekaligus melakukan penculikan pada aktivis mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya Bimo dinyatakan hilang pada 1 April 1998 dan tak kunjung kembali, hingga saat ini.

Sikap Penulis

Hak Asasi Manusia atau HAM seringkali disepelekan dan diabaikan oleh pemerintah Indonesia. Mulai dari Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998, Penembak Misterius 1982-1985, dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya sebagian besar belum dituntaskan hingga saat ini. Juga kasus penculikan aktivis 1997/1998 yang kebanyakan korbannya adalah aktivis mahasiswa tidak pernah dituntaskan oleh negara hingga saat ini. Tercatat hingga hari ini, sebanyak 13 aktivis yang masih dinyatakan hilang dan tak kunjung kembali hingga saat ini.
Akibatnya, beberapa pertanyaan sontak terlintas dikepalaku.
ADVERTISEMENT
Rasanya, jika aku hanya terus bertanya dan bertanya, diriku tidak akan menemukan jawabannya.
Berharap pada pemerintah pun rasanya hanya fatamorgana belaka. Seperti berharap kepada Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo. Pada tahun 2019 diperiode ke-2 ia menjabat, secara tidak disangka ia memberikan jabatan Mentri Pertahanan kepada Prabowo Subianto yang menjadi aktor utama sekaligus yang bertanggung jawab atas penculikan dan penghilangan paksa para aktivis mahasiswa pada tahun 1997/1998.