Konten dari Pengguna

September Hitam: Catatan Kelam Pelanggaran HAM di Indonesia

Daffa Yazid Fadhlan
Mahasiswa aktif UIN Jakarta dan bagian dari LPM Journo Liberta.
24 September 2024 8:46 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daffa Yazid Fadhlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hak Asasi Manusia atau HAM adalah hak dan kebebasan dasar yang melekat pada diri setiap manusia sejak mereka lahir hingga meninggal dunia. HAM merupakan anugerah Tuhan yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang.
ADVERTISEMENT
Setiap manusia memiliki hak-haknya sendiri, seperti hak kebebasan berpendapat, hak memilih agamanya sendiri, dan lain sebagainya. Kita wajib menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain dan begitu juga sebaliknya.
Akan tetapi, pelanggaran HAM masih tejadi di dunia ini, baik pelanggaran yang ringan maupun berat. Di Indonesia misalnya. Tercatat beberapa kali pelanggaran HAM terjadi disini, mulai dari tragedi Penembakan Misterius (Petrus) tahun 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989, dan masih banyak yang lainnya.
Salah satu yang juga menjadi catatan kelam pelanggaran HAM di Indonesia adalah "September Hitam". September Hitam adalah rentetan kasus pelanggaran HAM berat yang semuanya terjadi di bulan September. Mulai dari kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib, sampai kasus pembunuhan Salim Kancil yang terjadi pada tahun 2015 lalu.
ADVERTISEMENT
Berikut penulis telah merangkum beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di bulan September dan rapor merah pemerintah dalam menangani kasus-kasus tersebut.

1. Munir Diracun di Udara - 7 September 2004

Poster bergambar wajah Munir Said Thalib di atas payung hitam. (Dok.Pribadi)
Munir Said Thalib atau yang biasa dikenal Munir adalah seorang aktivis pejuang HAM yang gigih berjuang bersama orang-orang yang haknya dirampas dan ditindas. Munir memulai karir aktivismenya di LBH cabang Surabaya selama 2 tahun sebelum akhirnya diangkat menjadi Wakil Ketua bidang Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Munir sempat mengadvokasi dan menangani beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada masa Orde Baru. Dia juga pernah menjadi penasihat hukum untuk keluarga tiga orang petani yang dibunuh saat tragedi Waduk Nipah pada tahun 1993. Mereka dibunuh oleh 4 personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat sengketa tanah tersebut berlangsung. la juga salah satu pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yaitu Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS.
ADVERTISEMENT
Ingin melanjutkan dan memperdalam perjuangannya dalam membela hak-hak asasi masyarakat Indonesia, Munir berencana melanjutkan studi hukum di Universitas Utrecht, Amsterdam, Belanda. Akan tetapi, belum sempat menggapai cita-citanya tersebut, Munir dibunuh dengan cara diracun "di udara" saat perjalanan menuju Belanda pada 7 September 2004.
Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda yang menerbangkan pesawat tersebut, menjadi tersangka utama pada kasus pembunuhan Munir. Selain Polly, dua kru Garuda lainnya, yaitu Oedi Irianto dan Yeti Susmiarti juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Munir.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman penjara seumur hidup terhadap Polly. Akan tetapi, Polly hanya di hukum 8 tahun penjara dan dinyatakan bebas bersyarat pada tahun 2014. Hal ini menuai kontroversi di kalangan publik, lantaran hukuman yang diberikan tidak sesuai atas kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku.
ADVERTISEMENT

2. Malam Kelam di Tanjung Priok - 12 September 1984

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah bangunan rusak terbakar.
Peristiwa Tanjung Priok bermula ketika Bintara Pembina Desa (Babinsa) menyuruh jamaah Musala As- Sa'adah untuk melepas pamflet di Musala tersebut karena tidak sesuai dengan paham Pancasila, dikarenakan pada saat itu pemerintahan Orde Baru sedang gencar-gencarnya membasmi semua paham yang tidak ber-asaskan Pancasila akibat peristiwa pemberontakan PKI. Akan tetapi, pamflet tersebut tak kunjung dilepas.
Dikarenakan tak kunjung dilepas, selang dua hari kemudian Sersan Hermanu mencopot paksa pamflet tersebut tanpa melepas sepatu di dalam area Musala. Selain tidak melepas sepatu, ia juga menyiram air got ke dinding-dinding Musala. Perilakunya tersebut menimbulkan amarah warga setempat, sehingga mengakibatkan motor yang digunakan oleh Sersan Hermanu dibakar habis oleh warga.
ADVERTISEMENT
Kemudian aparat militer menangkap Syarifuddin, Sofwan, Ahmad, dan Muhammad Nur. Ke-empat orang tersebut diduga sebagai provokator dari kejadian ini. Amir Biki, seorang tokoh masyarakat setempat, meminta kepada Komandan Distrik Militer (Kodim) Jakarta Utara agar membebaskan ke-empat orang yang ditahan. Akan tetapi, Amir Biki tidak mendapat jawaban dan terkesan dipermainkan oleh Kodim Jakarta Utara.
Merespon hal tersebut, Amir Biki mengumpulkan para tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat se-Jakarta untuk menggagas forum umat Islam yang dilakukan pada jam 8 malam. Forum tersebut berlangsung selama 3 jam dan menggerakan sekitar 1.500 orang menuju Polres Jakarta Utara.
Belum sampai ke Polres Jakarta Utara, massa aksi yang sedang menuju Polres dihadang oleh pasukan militer bersenjata lengkap dari dua arah. Sebelumnya, aparat sudah memperingatkan massa aksi, akan tetapi peringatan aparat dibalas takbir oleh massa aksi yang terus bergerak maju menuju arah Polres. Pada akhirnya, timah panas menghujani massa aksi dengan membabi buta. Satu per satu korban berjatuhan, ribuan orang berhamburan dan berlarian berusaha menyelamatkan diri di tengah peluru tajam yang terus menghujani mereka.
ADVERTISEMENT
Berupaya menuntaskan masalah, pemerintah Indonesia mengadakan pengadilan pertama di tahun 2003. Terdapat 12 orang terdakwa yang dinyatakan bersalah dan keluarga korban berhak mendapatkan kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi. Namun, pada tahun 2005, aju banding yang dilakukan oleh para terdakwa dikabulkan oleh pengadilan tertinggi dan mencabut kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dan keluarganya termasuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
Banyak masyarakat Indonesia yang menyesali putusan hakim yang menerima aju banding para terdakwa, dikarenakan hukuman yang diberikan tidak sesuai dengan perbuatan keji yang mereka lakukan kepada para korban.

3. Tragedi "Berdarah" Semanggi II - 24 September 1999

24 September 1999, terjadi salah satu peristiwa pelanggaran HAM berat dalam sejarah Indonesia. Pasalnya, terdapat 11 warga sipil tewas dan 217 lainnya luka-luka dalam "Tragedi Semanggi II."
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini bermula ketika mahasiwa menuntut pembatalan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan pencabutan dwi fungsi ABRI/TNI. RUU PKB dinilai memberikan kekuasaan yang berlebih kepada pemerintah dalam menangani situasi darurat, seperti memberikan wewenang penuh kepada Presiden untuk menetapkan keadaan darurat (aksi demonstrasi dan semacamnya) dan memberikan kekuasaan penuh kepada aparat untuk melakukan tindakan-tindakan represif dalam mengatasi situasi darurat. Sedangkan dwi fungsi ABRI/TNI adalah berkurangnya jatah warga sipil di bidang pemerintahan dikarenakan banyaknya anggota ABRI/TNI yang mendominasi kursi-kursi pemerintah. Hal ini juga menjadikan tidak transparannya sistem pemerintahan di Indonesia pada masa itu. Pelanggaran HAM dan kerusuhan juga seringkali terjadi ketika ABRI/TNI memegang pemerintahan.
Beberapa jam setelah disahkannya RUU PKB, gelombang mahasiswa, buruh, aktivis, lembaga non-pemerintah dan profesi diseluruh Indonesia serentak menuju ke gedung DPR. Mereka menuntut agar UU tersebut dibatalkan oleh DPR. Tingginya tekanan gelombang demonstran membuat tragedi kelam tersebut terjadi. Salah satu korbannya adalah Hap Yun Hap.
ADVERTISEMENT
Hap Yun Hap, mahasiswa Teknik Elektro Universitas Indonesia (UI) menjadi salah satu korban dari tragedi yang seharusnya tak pernah terjadi. Ia meninggal karena peluru tajam yang aparat tembakan menembus otot kanan badannya.
Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat seolah tak pernah berkaca dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Mulai dari Tragedi Semanggi I hingga Tragedi Semanggi II menandakan bahwa aparat seolah tak pernah belajar dari kejadian yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya.
Hingga kini kasus tersebut tak kunjung menemui titik terang sekaligus menambah rapor merah pemerintah Indonesia dalam menangani kasus pelanggaran HAM.

4. Salim Kancil, Tumbang Karena Menolak Tambang - 26 September 2015

9 tahun yang lalu, tepatnya pada 26 September 2015, seorang petani yang peduli terhadap lingkungan dibunuh dengan cara tragis. Petani tersebut bernama Salim Kancil. Salim Kancil merupakan aktivis lingkungan hidup yang dengan lantang menolak tambang pasir yang ada di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini bermula ketika warga desa mengeluhkan tambang pasir yang ada di desa tersebut perlahan mulai merusak lingkungan sekitar. Mulai dari saluran irigasi persawahan yang rusak, hingga padi tak bisa ditanam akibat air laut yang menggenangi area persawahan setelah pasir yang ada di pesisir terus-menerus dikeruk hingga tak bersisa. Salim dan beberapa rekan-rekannya membuat gerakan yang bertujuan untuk menolak adanya tambang di desa tersebut.
Hariyono, kepala desa Selok Awar-Awar mulai resah dengan aktivitas Salim dan rekan-rekannya yang terus menentang tambang pasir tersebut. la bersama Mat Dasir (rekannya), menyuruh 40 orang preman untuk melakukan pengeroyokan terhadap Salim. Dengan menggunakan batu dan parang, para preman terus-menerus mengeroyok Salim hingga ia meninggal secara tragis. Melihat kejadian nahas tersebut, Komnas HAM menilai bahwa keamanan dan perlindungan pembela kemanusiaan yang ada di negeri ini masih sangat rendah.
ADVERTISEMENT
Dua dalang di balik peristiwa pembunuhan Salim, Hariyono dan Mat Dasir, hanya dihukum 20 tahun penjara. Hukuman yang diberikan kepada para pelaku dinilai lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut penjara seumur hidup. Masyarakat setempat menilai bahwa vonis yang para pelaku dapatkan tidak sesuai dengan perbuatan yang telah mereka lakukan terhadap Salim Kancil.