Konten dari Pengguna

September Hitam: Catatan Kelam Pelanggaran HAM di Indonesia

Daffa Yazid Fadhlan
Mahasiswa aktif UIN Jakarta dan bagian dari LPM Journo Liberta.
2 Januari 2025 8:26 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Daffa Yazid Fadhlan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Source: Pribadi.
ADVERTISEMENT
Hak Asasi Manusia atau HAM adalah sebuah hak dan kebebasan dasar yang melekat pada diri manusia sejak mereka lahir hingga meninggal dunia. HAM merupakan anugerah Tuhan yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang.
ADVERTISEMENT
Setiap manusia memiliki hak-haknya sendiri, seperti hak kebebasan berpendapat, hak memilih agamanya sendiri, dan lain sebagainya. Kita wajib menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain dan begitu juga sebaliknya.
Akan tetapi, seringkali pelanggaran HAM masih terjadi di dunia ini, baik pelanggaran yang ringan maupun berat. Di Indonesia misalnya. Tercatat beberapa kali pelanggaran HAM terjadi disini, mulai dari tragedi Penembakan Misterius (Petrus) tahun 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989, dan masih banyak yang lainnya.
Salah satu yang juga menjadi catatan kelam pelanggaran HAM di Indonesia adalah "September Hitam". September Hitam adalah rentetan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di bulan September. Mulai dari kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib sampai kasus pembunuhan Pendeta Yeremia yang mati tertembak karena menuntut kedamaian di Papua pada 2020 lalu.
ADVERTISEMENT
Berikut, penulis merangkum beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada bulan September dan rapor merah pemerintah dalam menangani kasus-kasus tersebut.

1. Munir Diracun di Udara - 7 September 2004

Source: @sangpropagandis (Instagram).
Munir Said Thalib atau yang biasa dikenal Munir adalah seorang aktivis pejuang HAM yang gigih berjuang bersama orang-orang yang haknya dirampas dan ditindas. Munir memulai karir aktivismenya di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Surabaya selama 2 tahun sebelum akhirnya diangkat menjadi Wakil Ketua bidang Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Munir sempat mengadvokasi dan menangani beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada masa Orde Baru. Dia juga pernah menjadi penasihat hukum untuk keluarga tiga orang petani yang dibunuh saat tragedi Waduk Nipah tahun 1993 yang dibunuh oleh 4 personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat sengketa tanah tersebut berlangsung. la juga salah satu pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yaitu Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS.
ADVERTISEMENT
Ingin melanjutkan dan memperdalam perjuangannya dalam membela hak-hak asasi masyarakat Indonesia, Munir berencana melanjutkan studi hukum di Universitas Utrecht, Amsterdam, Belanda. Akan tetapi, belum sempat menggapai cita-citanya tersebut, Munir dibunuh dengan cara diracun di udara saat perjalanan menuju Belanda pada 7 September 2004.
Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda yang menerbangkan pesawat tersebut, menjadi tersangka utama pada kasus pembunuhan Munir.
Selain Polly, dua kru Garuda lainnya, yaitu Oedi Irianto dan Yeti Susmiartijuga diterapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan tersebut.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut hukuman penjara seumur hidup terhadap Polly. Akan tetapi, Polly hanya di hukum 8 tahun penjara dan dinyatakan bebas bersyarat pada tahun 2014. Hal ini menuai kontroversi, lantaran hukuman yang diberikan tidak sesuai atas kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.
ADVERTISEMENT

2. Malam Kelam di Tanjung Priok - 12 September 1984

Source: Sidoarjokini.
Rabu, 12 September 1984, menjadi hari yang kelam bagi warga Tanjung Priok. Pasalnya, terjadi pelanggaran HAM berat yang menyebabkan banyak korban jiwa berjatuhan pada hari tersebut. Bentrokan yang melibatkan masyarakat sipil dan aparat bersenjata tersebut memakan korban sekitar 30 orang tewas, 55 orang luka-luka, dan ratusan orang ditangkap akibat tragedi tersebut. Akan tetapi, jumlah korban yang pasti belum diketahui hingga saat ini.
Tragedi Tanjung Priok bermula ketika Bintara Pembina Desa (Babinsa) menyuruh jamaah Musala As-Sa'adah untuk melepas pamflet di Musala tersebut karena tidak sesuai dengan ideologi Pancasila, dikarenakan pada saat itu pemerintah Orde Baru sedang gencar-gencarnya membasmi semua paham yang tida ber-asaskan Pancasila. Akan tetapi, pamflet tersebut tak kunjung dilepas.
ADVERTISEMENT
Dikarenakan tak kunjung dilepas, selang dua hari kemudia Sersan Hermanu mencopot paksa pamflet tanpa membuka alas kaki di dalam area Musala. Selain membuka alas kaki, dia juga menyiram air selokan ke dinding-dinding Musala. Sikapnya tersebut menimbulkan amarah warga setempat hingga mengakibatkan motor yang digunakan Sersan Hermanu dibakar.
Kemudian, aparat militer menangkap Syarifuddin, Sofwan, Ahmad, dan Muhammad Nur. Ke-empat orang tersebut diduga sebagai provokator dari kejadian tersebut. Amir Biki, seorang tokoh masyarakat setempat meminta kepada Komandan Distrik Militer (Kodim) Jakarta Utara agar membebaskan ke-empat orang yang ditahan. Akan tetapi, Amir Biki tidak mendapat jawaban dan terkesan dipermainkan oleh Kodim Jakarta Utara.
Merespon hal tersebut, Amir Biki mengumpulkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat se-Jakarta untuk menggagas forum umat Islam yang dilakukan pada jam 8 malam. Forum tersebut berlangsung selama 3 jam dan berhasil menggerekan sekitar 1.500 orang menuju Polres Jakarta Utara.
ADVERTISEMENT
Belum sampai ke Polres Jakarta Utara, massa aksi yang sedang menuju Polres dihadang oleh pasukan militer bersenjata lengkap dari dua arah. Sebelumnya, aparat sudah mengepung tempat tersebut dan mencoba memperingatkan massa aksi, akan tetapi peringatan aparat dibalas takbir oleh massa aksi yang terus bergerak menuju arah Polres. Timah panas menghujani massa aksi dengan membabi buta sehingga banyak korban berjatuhan.
Satu per satu korban berjatuhan. Ribuan orang berhamburan berusaha menyelamatkan diri di tengah peluru tajam yang terus menghujani mereka. Bahkan, salah seorang massa aksi yang selamat mendengar sebuah percakapan sejumlah aparat yang mengatakan, "Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!.”

PROSES PENGADILAN

Pada pengadilan pertama di tahun 2003, terdapat 12 orang terdakwa yang dinyatakan bersalah dan keluarga korban berhak mendapatkan kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi. Namun, pada tahun 2005, aju banding yang dilakukan oleh para terdakwa dikabulkan oleh pengadilan tertinggi dan mencabut kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dan keluarganya termasuk kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
ADVERTISEMENT
Banyak masyarakat Indonesia yang menyesali putusan hakim yang menerima aju banding para terdakwa, dikarenakan tidak sesuai dengan perbuatan keji yang pelaku lakukan kepada korban.

3. Tragedi "Berdarah" Semanggi II - 24 September 1999

Source: Dokumentasi Pribadi.
24 September 1999, terjadi salah satu peristiwa pelanggaran HAM berat dalam sejarah Indonesia. Pasalnya, terdapat 11 warga sipil tewas dan 217 lainnya luka-luka dalam tragedi yang bernama "Tragedi Semanggi II."
Peristiwa ini bermula ketika mahasiwa menuntut pembatalan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan pencabutan dwi fungsi ABRI/TNI. RUU PKB dinilai memberikan kekuasaan yang besar kepada pemerintah dalam menangani situasi darurat, seperti memberikan wewenang penuh kepada Presiden untuk menetapkan keadaan darurat (seperti dalam aksi demonstrasi) dan memberikan kekuasaan kepada aparat untuk melakukan tindakan-tindakan yang mereka anggap perlu dalam mengatasi situasi darurat, Sedangkan dwi fungsi ABRI/TNI berdampak pada berkurangnya jatah warga sipil di bidang pemerintahan karena banyaknya anggota ABRI yang mendominasi pemerintahan. Hal ini juga menjadikan tidak transparannya sistem pemerintahan di Indonesia pada masa itu. ABRI yang memegang pemerintahan juga seringkali melakukan pelanggaran HAM dan seringkali terjadi kerusuhan.
ADVERTISEMENT
Beberapa jam setelah disahkannya RUU tersebut, mahasiswa, buruh, aktivis, lembaga non-pemerintah dan profesi diseluruh Indonesia serentak menuju ke gedung DPR. Mereka menuntut agar UU tersebut dibatalkan oleh DPR. Tingginya tekanan gelombang demonstran membuat tragedi kelam tersebut terjadi.
Hap Yun Hap, mahasiswa Teknik Elektro Universitas Indonesia (UI) menjadi salah satu korban dari tragedi yang tak seharusnya pernah terjadi. la meninggal karena peluru tajam yang aparat tembakan menembus otot kanan sebelah depan badannya.
Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat seolah tak pernah berkaca dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Mulai dari Tragedi Semanggi I hingga Tragedi Semanggi II menandakan bahwa para aparatur negara seolah tak pernah belajar dari kejadian yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya.
Hingga kini kasus tersebut tak kunjung menemui titik terang.
ADVERTISEMENT

4. Salim Kancil, Tumbang Karena Menolak Tambang - 26 September 2015

Source: WALHI Jawa Timur.
9 tahun yang lalu, tepatnya pada 26 September 2015, seorang petani yang peduli terhadap linkungan disekitarnya terbunuh dengan cara tragis. Petani tersebut bernama Salim Kancil. Salim Kancil merupakan aktivis lingkungan hidup yang dengan lantang menolak tambang pasir yang ada di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Peristiwa ini bermula dikarenakan warga desa mengeluhkan tambang pasir yang ada di desa tersebut perlahan mulai merusak lingkungan sekitar. Mulai dari saluran irigasi persawahan yang rusak, hingga padi tak bisa ditanam akibat air laut menggenangi area persawahan setelah pasir yang ada di pesisir terus dikeruk hingga tak bersisa. Salim dan beberapa rekan- rekannya aktif bersuara menentang adanya tambang yang ada di desa tersebut.
ADVERTISEMENT
Hariyono, kepala desa Selok Awar-Awar mulai resah dengan keberadaan Salim yang terus menentang tambang pasir tersebut. la menyuruh 40 orang preman untuk mengeroyok Salim. Dengan menggunakan batu dan parang, para preman terus menerus mengeroyok Salim hingga ia meninggal secara tragis. Melihat kejadian nahas tersebut, Komnas HAM menilai, bahwa keamanan dan perlindungan pembela kemanusiaan yang ada di negeri ini masih sangat rendah.
Dua dalang pelaku pembunuhan Salim Kancil, Hariyono dan Mat Dasir, hanya dihukum 20 tahun peniara. Hukuman yang diberikan kepada keduanya dinilai lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu menuntut penjara seumur hidup. Masyarakat setempat menilai, bahwa vonis tersebut tidak sebanding dengan perlakuan pelaku kepada korban.

PENUTUP

Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, yang lebih mengecewakan adalah bagaiman cara pemerintah Indonesia dalam menuntaskan kasus-kasus tersebut. Ketidakadilan dan kurangnya transparasi pada kasus-kasus tersebut membuat mayoritas masyarakat Indonesia percaya, bahwa pemerintah Indonesia kurang serius dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT