Konten dari Pengguna

Eksistensi Medic Paternalism dan Patient Autonomy dalam Undang-undang Kesehatan

yedithsyalom
Mahasiswa Hukum Universitas Sumatera Utara
10 Oktober 2024 9:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari yedithsyalom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sampai saat ini, masih banyak masyarakat yang belum memiliki pemahaman yang baik mengenai penyakit ataupun permasalahan kesehatan yang terjadi. Bahkan hingga saat ini, masih terdapat pemahaman yang mengatakan bahwa dokter adalah sang penyembuh terhadap sakit yang diderita pasien. Hubungan dalam pandangan tersebut merupakan hubungan sui generis. Padahal, yang seharusnya dipahami adalah Doker melakukan pelayanan Kesehatan, bukan menjamin kesembuhan pasien. Memang jika kita melihat Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia, disebutkan bahwa sejak awal sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan, yaitu pengobat dan penderita. Hal inilah yang disebut dengan inspanningsverbintenis, yaitu sebuah perikatan berdasarkan daya upaya, ikhtiar atau usaha maksimal dokter dalam menyembuhkan pasiennya.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaan upaya kesehatan. Jika kita sadari, permasalahan tersebut menjurus kepada dua poin pembahasan, yaitu adanya kemungkinan pasien menyerahkan sepenuhnya dirinya kepada Dokter sebagai tenaga medis dan pasien tidak semata-mata menerima tindakan medis yang dilakukan oleh Dokter. Kedua hal ini merupakan dua pola persetujuan tindakan (informed consent).
PENGERTIAN
Pola Paternalistik adalah pola hubungan antara ayah (dalam hal ini dokter) dan anak (dalam hal ini pasien), dimana dokter sebagai "father know the best", pasien kedudukannya dibawah dokter (vertikal). Dalam hal ini pasien harus memberikan kepercayaan (trust) kepada Dokter, bahwa Dokter akan memberikan pelayanan profesionalnya secara bermartabat. Dalam hal ini terdapat hubungan yang bersifat asimetris antara Dokter dan Pasien atau hubungan yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini terjadi karena Dokter memiliki kompetensi, sedangkan Pasien merupakan orang yang awam akan tindakan medis. Salah satu hal yang mengakibatkan terjadinya pola paternalistik ini adalah karena sukarnya komunikasi antara Dokter dengan Pasien. Pasien memiliki situasi yang berat, dimana Pasien sedang mengalami situasi emosional yaitu sakit, bingung, depresi, bahkan tidak bisa berkomunikasi karena sudah dalam keadaan tidak sadar.
ADVERTISEMENT
Pola Konsumeristik atau Patient Autonomy menempatkan pasien pada the "patient knows the best", pasien sederajat kedudukannya dengan dokter (horizontal). Pada pola ini, hubungan antara Dokter dan Pasien dianggap sebagai pemberi dan penerima jasa, dimana masing-masing pihak dianggap sebagai subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. Pola ini merupakan situasi yang terjadi ketika pasien sudah memiliki pemahaman mengenai hak-haknya dalam hubungan dengan dokter, selain itu pasien juga sudah memiliki tingkat kecerdasan mengenai Kesehatan yang lebih baik. Pola konsumeristik ini merupakan pemakanaan dari hak otonomi pasien untuk menentukan tindakan medis terhadap dirinya. Pola konsumerisme atau Patient Otonomy ini memberikan gambaran bahwa pasien ikut menentukan keputusan mengenai upaya penyembuhan dirinya.
PERBEDAAN PRINSIP
ADVERTISEMENT
Pola paternalisme medis ini sering jadi di negara berkembang, salah satu faktor penyebabnya adalah perkembangan pendidikan yang lambat. Faktor lainnya adalah negara tersebut cenderung lebih memperhatikan eksploitasi sumber daya alam dibanding pengembangan sumber daya manusia. Sehingga berdampak pada minimnya budaya kritis terhadap tindakan medis oleh Dokter. Pada konteks ini, Dokter cenderung melakukan tindakan medis terlebih dahulu, lalu memberitahukan persetujuan tindakan kepada pasien. Sementara pada pola konsumerisme atau patient autonomy, komunikasi dilakukan terlebih dahulu kepada pasien,sehingga pasien pun berpikir kritis dengan salah satu orientasi berpikirnya adalah mempertimbangkan efek samping dari tindakan medis yang akan dilakukan kepadanya.
PENGATURAN DALAM UNDANG-UNDANG KESEHATAN
Sumber: Dokumen pribadi
Undang-undang Kesehatan sudah menggambarkan self otonomy, namun masih terdapat dua konsep pelaksanaan (dualism). Regulasi ini bisa memberikan hak kepada pasien, dan orientasinya pasien yang berhak menenetukan apa yang dilakukan pada dirinya (berhak untuk memilih). Hal ini diatur dalam pasal 276 Undang-undang Kesehatan, yang mengatur tentang Hak pasien, yaitu:
ADVERTISEMENT
Pasien mempunyai hak:
a. mendapatkan informasi mengenai Kesehatan dirinya;
b. mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai Pelayanan Kesehatan yang diterimanya;
c. mendapatkan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, standar profesi, dan pelayanan yang bermutu;
d. menolak atau menyetqiui tindakan medis, kecuali untuk tindakan medis yang diperlukan dalam rangka pencegahan penyakit menular dan penanggulangan KLB atau Wabah;
e. mendapatkan akses terhadap informasi yang terdapat di dalam rekam medis;
f. meminta pendapat Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan lain; dan
g. mendapatkan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Namun, Undang-undang Kesehatan juga memberikan konsep pelaksanaan pola paternalism medis, namun spesialisasinya terdapat dalam pengaturan dengan ranah psaien dalam kondisi darurat.
Pasal 293 ayat (9) dijelaskan bahwa dalam hal keadaan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak cakap dan memerlukan tindakan Gawat Darurat, tetapi tidak ada pihak yang dapat dimintai persetujuan, tidak diperlukan persetujuan tindakan.
ADVERTISEMENT
Namun, jika kita pahami secara seksama, pasal 293 ayat (9) ini merupakan bentuk konsumerisme atau Autonomy patient yang dilakukan oleh Dokter, meskipun sebenarnya jika kasat mata dapat dimaknai sebagai paternalisme medis. Artinya, meskipun dilakukan terlebih dahulu tindakan medis terhadap pasien, namun pada akhirnya Dokter tetap memintakan informed consent dari pasien, dikarenakan adanya kedaruratan medis. Sehingga, norma ini tetap harus ada, karena hal berkaitan dengan diskresi Kesehatan oleh dokter. Pada dasarnya, Dokter sama dengan Hakim yang mengadili suatu perkara di pengadilan, karena dokter tidak boleh menolak pasien yang datang. Karena hal ini akan menjadi sangat bertentangan dengan asas Aegroti Salus Lex Suprema, yang artinya keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.
ADVERTISEMENT