Konten dari Pengguna

Respon Hukum Terhadap Fenomena Child Grooming

yedithsyalom
Mahasiswa Hukum Universitas Sumatera Utara
7 Oktober 2024 17:39 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari yedithsyalom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebuah topik pembicaraan yang hadir belakangan ini atau “viral” di media sosial mengenai skandal seorang guru yang melakukan persetubuhan dengan muridnya semakin menuai banyak komentar dari masyarakat. Pihak kepolisian mendapatkan sebuah fakta bahwa ternyata terdapat hubungan asmara antara guru dan murid tersebut. Banyak sekali berita simpang siur membahas tentang motif dari guru maupun si anak yang berujung pada dugaan bahkan berita yang tidak benar. Namun lewat tulisan ini, mari kita membahas permasalahan tersebut beradasarkan landasan yuridis yang jelas dengan orientasi anak sebagai korban yang dewasa ini dikenal dengan istilah Child Grooming.
ADVERTISEMENT
ANTARA FAKTA DAN RESPON HUKUM
Selama ini, ketika terdapat permasalahan yang menyangkut anak sebagai korban dalam suatu permasalahan hukum terutama kasus yang menyangkut kesusilaan, pada umumnya orang akan berkaca pada Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubagan atas undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Undang- Undang Perlindungan Anak).
Pasal 76E Jo. Pasal 82 ayat (1) menyatakan bahwa:
“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan membiarkan dilakukan perbuatan cabul.” Ketentuan pidana dari pasal tersebut adalah pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). “
ADVERTISEMENT
Jika kita kembali menilik kasus guru dan murid tersebut, dalam Undang-undang Perlindungan Anak juga telah dijelaskan dalam pasal 82 ayat (2) bahwa jika tindak pidana perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada pasal 76E apabila dilakukan oleh seorang pendidik atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari 15 tahun penjara, yaitu 20 (dua puluh) tahun pidana penjara.
Namun pandangan Hukum Positif di Indonesia terkait tindak pidana yang berkaitan dengan perbuatan cabul ini tidak berhenti sampai disini saja, terdapat ketentuan yang lebih modern yaitu Undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Undang-undang TPKS). Undang-undang ini merupakan sebuah peraturan yang memiliki ketentuan yang berlandaskan arah politik hukum yang berorientasi pada korban. Hal yang harus dipahami dalam Undang-undang TPKS ini adalah bahwasannya tindakan kekerasan seksual dibedakan atas pelecehan seksual nonfisik dan pelecehan seksual fisik.
ADVERTISEMENT
Namun, disisi lain terdapat unsur yang tergolong asing untuk didengar oleh kebanyakan masyarakat yang awam hukum didalam pasal yang mengatur tentang kekerasan seksual pada Undang-Undang ini. Oleh karena itu, mari kita berfokus pada salah satu tipologi pelecehan seksual fisik dan unsurnya yang belum banyak diketahui oleh masyarakat awam yang menjadi pembahasan kita dalam tulisan ini.
KUALIFIKASI UNSUR: KERUMITAN DAN KESEDERHANAAN
Ketentuan yang memiliki pendekatan erat dengan kasus guru dan murid di Gorontalo dapat kita lihat dalam pasal 6 huruf c Undang-undang TPKS. Ketentuan pasal tersebut mengatur sebagai berikut:
”Setiap Orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, terdapat pemberatan pidana yang diatur dalam pasal 15 ayat (1) huruf b, huruf e, dan huruf g, yaitu jika tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana pada pasal 6 tersebut dilakukan oleh tenaga pendidik, dilakukan terhadap anak dan dilakukan lebih dari satu kali. Pidana tambahan tersebut adalah ditambah 1/3 (sepertiga) dari 12 tahun pidana penjara, yaitu dengan total 16 tahun pidana penjara.
Jika kita melihat ketentuan pidana antara Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-undang TPKS, memang ketentuan pidana pada Undang-undang Perlindungan Anak lebih tinggi. Tentunya mengenai pengenaan pasal ini terhadap pelaku kembali lagi kepada Jaksa Penuntut Umum yang nantinya melakukan proses penuntutan, dengan kata lain hal ini bergantung dari bagaimana Penuntut Umum menentukan jenis dakwaannya.
ADVERTISEMENT
Mari kita membahas unsur yang asing didengar oleh masyarakat yang telah penulis mention sedari tadi, yaitu unsur “Perbawa”. Menurut KBBI terdapat tiga arti dari kata Perbawa, yaitu:
1. Daya yang terpancar dari sifat luhur; keluhuran
2. Pengaruh
3. Pengaruh yang memancar dari dalam diri; kewibawaan.
Dari pengertian tersebut Perbawa dapat dikatakan sebagai kata yang mencerminkan relasi kuasa. Bahkan jika gen-alpha menggunakan kata “rizz” untuk menjelaskan karisma seseorang, maka perbawa juga mempunyai pengertian yang demikian. Dalam Undang-udang TPKS ini, pelaku kekerasan seksual menyalahgunakan perbawa yang dimilikinya. Perbawa tersebut dapat ditimbulkan dari hubungan keadaan, kerentanan dan ketidaksetaraan.
Hubungan keadaan memiliki cakupan yang luas, misalnya adanya hubungan keluarga, pertemanan, pekerjaan, bahkan Pendidikan. Selanjutnya, kerentanan dapat mencakup kondisi sosial, fisik, psikis, lingkungan dan sebagainya. Sementara Ketidaksetaraan adalah posisi yang timpang antara pelaku dan korban, dalam hal ini misalnya terdapat ketidaksetaraan usia, ketidaksetaraan derajat sosial dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Dari kasus Guru dan Siswa di Gorontalo, kitab bisa melihat bahwa Pelaku memiliki Perbawa atau pengaruh sebagai seorang Guru. Pengaruh tersebut ia dapatkan dari banyak aspek, yaitu adanya hubungan asmara antara Guru dan murid tersebut, lalu adanya kerentanan korban yang masih tergolong seorang anak dengan kondisi psikis yang tidak stabil, dan juga adanya ketidaksetaraan usia antara Guru dan murid tersebut. Dalam hal ini Pelaku menyadari bahwa Ia memiliki perbawa tersebut, dan Ia menyalahgunakan perbawanya supaya bisa melakukan hubungan seksual dengan murid atau korban.
Dengan kata lain, uraian pasal 6 huruf c yang sangat kompleks ini dapat diterjemahkan kedalam Bahasa yang sederhana, yaitu “manipulasi”. Dalam hal ini pelaku memanipulasi korban dengan berbagai upaya agar targetnya mau untuk melakukan hubungan seksual dengannya.
ADVERTISEMENT
KERENTANAN ANAK SEBAGAI TARGET GROOMER
Maka tibalah kita melihat respon hukum terhadap fenomena Child Grooming ini, Lembaga Perlindungan anak di Inggris, NSPCC mengartikan grooming sebagai situasi ketika seseorang anak tanpa sadar membentuk sebuah hubungan dengan pelaku yang menimbukan rasa percaya dan koneksi secara emosional dengan seorang anak dan/atau remaja sehingga pelaku dengan mudah melakukan tindakan manipulasi, eksploitasi bahkan melakukan kekerasan atau berujung pelecehan seksual kepada anak.
Dalam melakukan Child Grooming, berdasarkan Teori psikologis dari Olson yaitu Olson’s theory of luring communication (LCT), terdapat tiga tahapan agar child groomer mendapatkan akses pada anak, yaitu dimulai dari tahap pertama dengan membangun hubungan kepercayaan (Deceptive Trust Development), berlanjut ke tahapan grooming, dimana pelaku pelaku mengundang keingintahuan seksual dari korban dengan melibatkan istilah-istilah seksual sehingga menjebak anak pada perilaku seksual, dan tahap terakhir adalah tahap pendekatan fisik (physically approach).
ADVERTISEMENT
Keberadaan Anak yang menjadi target dalam Child Grooming tentu memiliki beberapa alasan. Seorang yang dewasa bisa memikirkan bagaimana cara memanipulasi anak tersebut, sementara anak tersebut belum memiliki pemahaman yang matang akan bujuk rayu, bahkan jika dalam situasi anak tersebut mendapatkan kasih sayang berlebih dari pelaku yang Ia tidak dapatkan dari sekitarnya (keluarga, saudara, dan sahabat).
Tahapan ini merupakan keseluruhan tindakan manipulatif yang dilakukan oleh pelaku, yang jika kita sandingkan dengan pasal 6 huruf c Undang-undang TPKS memiliki konstruksi yang sama. Dalam hal ini terdapat upaya manipulasi yang dilakukan pelaku (perbawa), hingga timbul kepercayaan dari korban untuk melakukan hubungan seksual.
Akhir kata, tentu respon hukum terhadap kasus Child Grooming adalah dengan memberikan jaminan bagi korban. Baik dalam Undang-undang Perlindungan Anak maupun Undang-undang TPKS masing-masing telah mengatur terkait dengan hak korban untuk mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan. Pembaruan hukum yang telah diberikan lewat Undang-undang TPKS merupakan salah satu respon hukum untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, melindungi dan memulihkan hak korban, menegakkan hukum, dan merehabilitasi pelaku.
ADVERTISEMENT
Selain itu Respon hukum juga dapat dilihan dari ketentuan norma dalam Undang-undang TPKS yang mengakomodir setiap motif pelaku kekerasan seksual dengan unsur yang memiliki kesan yang rumit, namun memiliki output yang sederhana. Undang-undang TPKS juga memberikan jawaban dengan adanya aturan komprehensif yang mengatur tata urutan penegakan hukum, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Tentunya harapan kita bersama kedepannya agar tercipta lingkungan yang sehat dan bebas dari kekerasan seksual, karena kemerdekaan haruslah menyeluruh hidup dalam masyarakat, tidak terkecuali bagi perempuan dan Anak.