Konten dari Pengguna

Bursa Karbon: Yay or Nay?

Yefita Lahagu
Adalah seorang manusia biasa yang senang memahami setiap perubahan. Mahasiswa tingkat akhir magister Akuntansi di FEB Universitas Pamulang. Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili institusi, organisasi dan lembaga manapun.
29 September 2023 13:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yefita Lahagu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi emisi gas rumah kaca. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi emisi gas rumah kaca. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Bursa karbon telah diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 26 September 2023 di Main Hall PT Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai bagian dari komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon nasional dan juga dunia.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data, Indonesia bertengger di urutan ke-7 negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia dengan volume emisi sebesar 1,24 MtCO2. Namun, carbon trading yang diresmikan baru-baru ini menimbulkan polemik dan asumsi liar di masyarakat mulai dari mekanisme dan proses bisnisnya hingga potensi greenwashing perusahaan.
POJK Nomor 14 Tahun 2023 merupakan amanat dari UU No. 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.
Mekanisme perdagangan karbon singkatnya adalah jual-beli kuota emisi karbon yang diperbolehkan (allowance) antar perusahaan penghasil emisi. Sehingga diharapkan memberikan nilai ekonomi atas setiap unit karbon yang dikurangi ataupun yang dihasilkan.
ADVERTISEMENT
Bahkan dalam catatan Presiden Joko Widodo potensi ekonomi dari perdagangan karbon ini berkisar Rp 3.000 triliun yang diukur atas potensi kredit karbon sebesar 1 giga ton CO2. Sungguh angka yang sangat besar dan hampir setara dengan jumlah APBN tahun 2023.
Sebagai salah satu negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia, kebijakan dan terobosan baru ini patut diapresiasi. Selain turut serta berkontribusi langsung terhadap upaya melawan krisis perubahan iklim, sekaligus juga menciptakan pasar ekonomi baru yang lebih ramah lingkungan dan sejalan dengan transformasi atau transisi energi dan ekonomi hijau di dunia.
Menariknya bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara yang 60 persen pemenuhan pengurangan emisi GRK-nya berasal dari alam (nature base solution). Namun perlu dicatat bahwa, setiap kebijakan dan terobosan memiliki dua sisi yang bertolak-belakang sebagaimana penulis rangkum berikut ini.
ADVERTISEMENT

Potensi Greenwashing

Emisi karbon di Jakarta. Foto: Aly Song
Diluncurkannya efek perdagangan karbon tentunya menciptakan sebuah tempat khusus pada perusahaan yang kegiatan operasional bisnisnya menghasilkan emisi sehingga dengan tempat khusus tersebut semakin menguatkan argumen perusahaan untuk mencitrakan dirinya ramah lingkungan. Bahkan ikut serta memperbaiki ekologi serta berhak mendapatkan konsesi atas kebaikan tersebut.
Lalu, siapa yang bisa menjamin atau bagaimana ukurannya hal tersebut sudah benar dilakukan oleh perusahaan dan tepat sasaran? Apakah tidak mungkin perusahaan yang memiliki sumber daya besar membuat framing dan media eksposur untuk mencitrakan dirinya ramah lingkungan?
Tentu hal ini perlu dikaji lebih dalam bagaimana mekanisme dan alat ukurnya sehingga nilai ekonomi dari setiap pengurangan dan penambahan unit emisi ini benar-benar tepat sasaran dan jauh dari greenwashing.
ADVERTISEMENT

Komoditas Hutan dan Hak Masyarakat Adat

Ilustrasi hutan lebat. Foto: Shutterstock
Beberapa kajian menyebutkan bahwa perdagangan karbon di Kongo berdampak pada penyingkiran jutaan masyarakat karena perusahaan diberi konsesi untuk menjaga dan mengurus kawasan hutan. Apakah hal ini tidak mungkin terjadi nantinya di Indonesia yang memiliki 125,76 juta hektare hutan dengan jumlah masyarakat adatnya sebanyak 70 juta jiwa atau setara 25 persen populasi Indonesia pada tahun 2022?
Hal ini mendukung kondisi bahwa pemenuhan pengurangan emisi Indonesia 60 persen berbasis nature base solution. Bahkan baru-baru ini Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyampaikan kritik keras terhadap kebijakan perdagangan karbon yang menurutnya sebagai jalan sesat dan hanya bermanfaat besar terhadap praktik ekstraktivisme.

Bisnis Baru

Sebagai sebuah kebijakan yang baru tentunya menarik minat pelaku bisnis yang perusahaannya menghasilkan emisi untuk mendapatkan izin total kredit karbon. Namun perlu diperhatikan bahwa krisis perubahan iklim ini juga merupakan kontribusi dari akumulasi atau residu atas pelepasan emisi fosil yang dilakukan berpuluh-puluh tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Sistem perdagangan karbon yang berbasis efek dan tidak berbasis komoditas seperti di Eropa dan Amerika juga menjadi pertanyaan besar karena sejatinya dunia sudah mengakui bahwa perdagangan emisi karbon sebagai intangible commodity. Selain itu, perdagangan karbon yang berbasis efek tentunya memunculkan istilah “delisting”, apakah ini sesuatu yang masuk akal?
Namun besar harapan bahwa tarik-menarik pada harga kredit karbon yang ditawarkan nantinya tidak serta merta mengabaikan fokus utama yang bertujuan untuk menurunkan emisi dan menyelamatkan kehidupan.
Sebagai penutup, penyelamatan dan perbaikan ekologi yang telah telanjur rusak akibat eksploitasi manusia sejatinya adalah panggilan nurani setiap insan. Setiap kebijakan memiliki dampak ganda, apakah negatif atau positif. Tetapi saya meyakini bahwa kebijakan yang diambil pemerintah sudah melalui kajian yang sangat mendalam.
ADVERTISEMENT
Salam keberlanjutan!