Konten dari Pengguna

Mahasiswa Tak Lagi Wajib Skripsi: Gak Bahaya Ta?

Yefita Lahagu
Adalah seorang manusia biasa yang senang memahami setiap perubahan. Mahasiswa tingkat akhir magister Akuntansi di FEB Universitas Pamulang. Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili institusi, organisasi dan lembaga manapun.
1 September 2023 10:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yefita Lahagu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi skripsi. Foto: Aewphoto/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi skripsi. Foto: Aewphoto/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Skripsi tidak lagi wajib! Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menggemparkan dunia pendidikan di akhir bulan kemerdekaan RI dengan Permendikbudristek nomor 53 tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
ADVERTISEMENT
Kebijakan terbaru tersebut tidak mewajibkan skripsi sebagai syarat kelulusan di tingkat sarjana dan sarjana terapan. Akan tetapi, lebih memberi pilihan pembuatan proyek prototipe sebagai pilihan lain.
Skripsi tidak wajib lagi sebagai syarat kelulusan mahasiswa ini merupakan kebijakan paling berani dan paling radikal dalam meruntuhkan pola lama di bidang pendidikan. Critical question-nya dalam bahasa tren sekarang adalah: gak bahaya ta?
Mari kita lihat ke belakang secara umum, bagaimana kurikulum pendidikan kita bongkar-pasang mencari kecocokan seiring dengan pergantian Menteri Pendidikan.
Di tingkat perguruan tinggi juga mengalami kutukan yang sama di mana mahasiswa sebagai agent of change menurut saya menjadi perpustakaan berjalan yang tidak ubahnya seperti harddisk penyimpanan file hidup.
ADVERTISEMENT
Kompetensi yang diterapkan masih sebatas hal-hal normatif, banyak yang tidak inovatif, sangat teoritis dan tidak relevan dengan dunia kerja atau industri. Ada begitu banyak SKS (satuan kredit semester) yang harus diselesaikan oleh mahasiswa, tetapi berapa persen dari beban kredit semester tersebut yang dibutuhkan dan relevan dengan kebutuhan industri?
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
Pernah suatu waktu, sebuah akun di media sosial Twitter mencuitkan tentang irrelevansi kompetensi pendidikan di perguruan tinggi dengan dunia kerja atau industri di mana akun tersebut menantang lulusan universitas untuk beradu skill administrasi dengan karyawan minimarket yang lulusan SLTA. Akun tersebut memastikan bahwa lulusan universitas akan kalah dengan karyawan minimarket.
Meskipun hanya sekadar sarkas belaka tetapi hal ini seakan terkonfirmasi dengan pernyataan Mendikbud Ristek, Nadiem Makarim, yang mengatakan 80 persen mahasiswa Indonesia tidak bekerja sesuai dengan jurusannya. Artinya, gap antara skill yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dengan kebutuhan industri sangat besar.
ADVERTISEMENT
Tugas akhir skripsi di level sarjana dan sarjana terapan sering sekali menjadi beban yang menguras tenaga, waktu, uang, dan mental mahasiswa. Bahkan, tidak jarang terjadi kasus bunuh diri/depresi seperti kasus mahasiswa Universitas Jambi yang bunuh diri karena tugas akhir baru-baru ini.
Malahan ada yang lebih ekstrem lagi. Pada tahun 2016, seorang mahasiswa UMSU Medan sampai membunuh dosen dengan motif karena dipersulit tugas akhir.
Keluhan tentang dosen pembimbing killer bukan hanya stigma baru dan menjadi lingkaran setan yang terus-menerus berlanjut. Bahkan, curhat mahasiswa tentang dosen killer ini menjadi bahan perbincangan serius di media sosial Twitter.
Ilustrasi menulis skripsi. Foto: justplay1412/Shutterstock
Jika dianalisa lebih dalam, kebanyakan yang menjadi masalah adalah hal-hal personal yang tidak berkorelasi pada pengembangan karya ilmiah. Misalnya, cara komunikasi mahasiswa, kesediaan waktu dosen untuk membimbing dan perbedaan pendapat dosen pembimbing I dengan dosen pembimbing II.
ADVERTISEMENT
Beban penulisan karya ilmiah ini pada akhirnya secara tidak langsung menciptakan industri “perjokian skripsi” yang tentunya tidak lagi berfokus pada kualitas dan tujuan untuk mengembangkan cara berpikir secara ilmiah.
Dunia berubah dengan cepat, kompleksitas dan ketidakpastiannya semakin tajam. Ilmu pengetahuan semakin maju dan artificial intelegent (AI) mampu menggantikan hal-hal teknis yang biasa dikerjakan oleh manusia dengan presisi bahkan dengan biaya murah.
Kalau perguruan tinggi tidak berbenah dan menyesuaikan kompetensinya pada perubahan dunia, maka bisa dipastikan bahwa menempuh pendidikan tinggi (kuliah) tidak lagi menjadi primadona generasi muda.
Dengan kondisi Indonesia sekarang ini yang akan menghadapi bonus demografi sekitar tujuh tahun lagi yaitu di tahun 2030-an, fenomena ini memberikan kesempatan besar kepada platform pelatihan swasta untuk mengambil alih pasar dan menjadi primadona utama karena produk pelatihan yang ditawarkan lebih menjawab kebutuhan industri tanpa harus investasi waktu bertahun-tahun.
Ilustrasi wisuda. Foto: Shutter Stock
Perusahaan swasta ini menyediakan bootcamp sesuai dengan skill yang diinginkan, dibimbing oleh mentor yang ekspert di bidangnya selama beberapa bulan dan tugas akhirnya adalah mengerjakan proyek. Bahkan beberapa lembaga guarantee siswa yang lulus pada proyek akhir disalurkan pada industri besar yang membutuhkan.
ADVERTISEMENT
Lantas universitas masih mempertahankan cara dan pola lama untuk menyambut perubahan yang super kompleks dan penuh ketidakpastian ini dengan belajar normatif, teoritis, hafalan, dan kompetensi yang tidak relevan?
Jelas Mendikbud Ristek kita sebagai orang yang paham teknologi tidak menginginkan hal ini terjadi. Dunia pendidikan harus terus dibangun mengikuti tantangan zamannya karena perubahan itu tidak berperasaan dan akan menggilas setiap generasi yang tidak bisa menaklukannya.
Oleh karena itu, kebijakan yang tertuang di Permendikbudristek nomor 53 tahun 2023 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang salah satunya tidak mewajibkan skripsi kepada mahasiswa dan memberi pilihan dengan projek berbasis kompetensi, menurut saya adalah hal yang sangat tepat untuk menjawab perubahan dan kompleksitas dunia saat ini.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Menteri Pendidikan juga paham betul bahwa institusi pendidikan harus diberi kemerdekaan dalam bentuk otonomi untuk melakukan manajemen yang lebih baik pada institusinya tanpa mengabaikan standar mutu pendidikan.
Terima kasih, Mas Menteri!