Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Beyond Stereotypes: Mengungkap Realitas Pelecehan Seksual terhadap Laki-laki
13 Juni 2023 8:51 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Yemima Nathaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pelecehan seksual terhadap laki-laki bukanlah fenomena yang jarang atau tidak signifikan. Namun, dalam masyarakat kita hal seperti ini masih dianggap tabu, mengapa?
ADVERTISEMENT
Hal tersebut terjadi karena stigma dan stereotip gender berperan besar dalam peristiwa seperti ini. Didukung dengan banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dan mayoritas pelaku adalah laki-laki. Akan tetapi fakta tersebut tidak dapat menampik bahwa laki-laki khususnya anak laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual.
Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID Tahun 2020 ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.
Berdasarkan survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, di mana ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
Data-data tersebut sudah sangat cukup membuktikan bahwa fenomena ini benar adanya. Bahkan, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2017, untuk kelompok umur 13-17 tahun prevalensi kekerasan seksual terlihat lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebesar 8,3% atau dua kali lipat dari prevalensi kekerasan seksual pada perempuan yang mencapai 4,1%.
ADVERTISEMENT
Tantangan terbesar dalam fenomena ini adalah stereotip gender yang ada di masyarakat. Anggapan bahwa laki-laki tidak bisa menjadi korban pelecehan seksual atau bahkan mereka seharusnya "senang" ketika mengalami pelecehan seksual membawa kita pada alasan mengapa korban akhirnya memilih bungkam dan tidak melaporkannya.
Dalam jurnal “Perceptions of male victims in depicted sexual assaults: A review of the literatur” yang ditulis Michelle Davies dan Paul Rogers pada 2006, selama ini ada anggapan bahwa “seorang perempuan tidak dapat memaksa seorang pria untuk melakukan hubungan seks”.
Perempuan dipandang sebagai makhluk yang lemah dan pasif secara seksual, sedangkan laki-laki adalah makhluk yang lebih agresif, menjadi inisiator dalam hubungan seksual. Sehingga, sulit untuk membayangkan ‘perempuan yang submisif’ memaksa seorang pria yang secara terang menolak untuk berhubungan seks, atau adanya laki-laki yang menolak kesempatan untuk berhubungan seks.
Belum lagi pada kasus korban perkosaan sesama jenis, adanya asumsi masyarakat yang menggeneralisir perilaku tersebut sebagai bentuk penyimpangan seksual. Seringkali korban dikaitkan dengan 'praktik homoseksualitas' yang dianggap tabu dan tidak normal.
ADVERTISEMENT
Minimnya perlindungan hukum juga menjadi tantangan yang sulit bagi korban laki-laki. Berdasarkan paper “Into The Mainstream: Addressing Sexual Violence against Men and Boys in Conflict” dari Plan Internasional tahun 2014 fakta ini didukung berdasarkan hasil survei terhadap 189 negara di mana dua puluh satu negara di antaranya belum memberikan perlindungan hukum yang komprehensif bagi korban laki-laki.
Problematika yang serupa juga terjadi di Negara Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang belum mengenal istilah “kekerasan seksual”, memberikan penafsiran yang sempit terhadap laki-laki korban perkosaan.
Pasal 285 KUHP "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun", pasal ini sudah sangat menjelaskan betapa pembuat aturan menganggap tabu fenomena ini.
Dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, R. Soesilo menjelaskan bahwa pembuat aturan memandang pemaksaan persetubuhan terhadap laki-laki, tidak akan mengakibatkan sesuatu yang buruk atau merugikan bagi laki-laki, seperti halnya seorang perempuan yang dirugikan (hamil) atau melahirkan anak karena perbuatan itu.
ADVERTISEMENT
Hal ini menyebabkan aparat penegak hukum ketika menghadapi kasus perkosaan terhadap laki-laki dewasa hanya dapat menggunakan Pasal 289 KUHP hingga Pasal 296 KUHP (‘perbuatan cabul’).
Pasal-pasal tersebut dianggap lebih responsif gender sebab tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan ataupun sebaliknya. Unsur 'seseorang' dalam pasal ini berlaku untuk siapa saja.
Pada akhirnya, penting bagi kita untuk mengakui realitas ini, sehingga pelecehan seksual terhadap laki-laki tidak lagi dianggap tabu dan diabaikan.
Dalam melawan pelecehan seksual secara keseluruhan, penting bagi kita untuk memperluas wawasan dan mengatasi stereotip gender yang menyebabkan laki-laki seringkali dilupakan sebagai korban.
Hanya dengan menghadapi realitas ini dan mendorong perubahan sosial yang inklusif, kita dapat menghapuskan pelecehan seksual beserta semua bentuknya dan menciptakan masyarakat yang aman dan adil bagi semua individu.
ADVERTISEMENT