Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Apakah Aku Sudah Siap untuk Kehilangan?
22 Desember 2021 22:04 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Yena Lutpiah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Yena Lutpiah

Apakah kamu pernah mengalami duka cita? Ditinggalkan orang tersayang dalam hidup? Apa yang mungkin dirasakan oleh orang yang sedang berduka? Tentunya perasaan sedih yang amat mendalam dan rasa kehilangan yang menyakitkan. Kita tentu tidak akan mengharapkan kejadian buruk untuk menimpa seseorang yang kita sayangi, bukan? Kemungkinan terburuk yang mungkin menimpa seseorang adalah kematian. Walaupun tanpa bisa kita pungkiri kematian adalah hal yang pasti terjadi kepada semua makhluk yang hidup di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi bagaimana dengan orang-orang yang telah ditinggalkan oleh orang yang mereka sayangi, misalnya ditinggalkan orang tua atau keluarga dekat? Apa yang akan terjadi pada mereka? Secara psikologis, Kubler-Ross (dalam Kimberly, 2018) menjelaskan bahwasanya ada 5 tahapan orang dalam berduka, yaitu denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance.
1. Denial (penyangkalan)
Penyangkalan adalah hal yang wajar saat seseorang sedang berduka. Perasaan seperti tidak percaya dengan takdir dan enggan menerima kenyataan. Kabar duka itu diibaratkan seperti sepotong besar roti yang perlu diiris-iris menjadi bagian kecil untuk dapat dicerna. Tahapan penyangkalan membuat kita memiliki waktu untuk sedikit demi sedikit memproses perasaan sedih.
2. Anger (Kemarahan)
Kemarahan bisa juga keluar dalam bentuk kebencian. Perasaan campur aduk yang ditimbulkan oleh kabar duka tadi pada tahap ini diartikan oleh tubuh kita sebagai kemarahan atau kebencian yang tertuju pada orang lain. Bisa jadi teman, saudara, atau apa pun yang ada di sekitar kita.
ADVERTISEMENT
3. Bargaining (Tawar menawar)
Kita akan mulai membangun kenyataan palsu dalam otak kita. Berharap seandainya kita bisa kembali ke masa saat masih bersama orang yang telah meninggalkan kita. Atau berharap seandainya semua ini tidak nyata dan kita akan segera terbangun dari mimpi buruk ini.
4. Depression (depresi)
Perasaan kosong yang mendalam serta kenyataan bahwa kita telah ditinggalkan untuk selamanya membuat kita merasa sangat hampa. Perasaan ingin menarik diri dari kehidupan, perasaan ingin mati, merasa hidup di jalan buntu, perasaan sakit yang terasa seperti tidak akan pernah sembuh untuk selamanya adalah siklus depresi yang dialami orang berduka. Namun, jika kita merasa terjebak di sini atau sepertinya tidak bisa melewati tahap kesedihan ini, kita bisa temui psikolog atau terapis untuk membantu dalam hal ini.
ADVERTISEMENT
5. Acceptance (Penerimaan)
Pada tahapan ini bukan berarti kita telah kembali baik-baik saja seperti sedia kala. Kehilangan itu tetaplah menyakitkan hanya saja kita sudah menerima kenyataan baru yang mana sudah tidak ada lagi orang yang kita cintai di dalamnya. Kita telah mengalami perubahan besar dalam hidup kita, dan bisa jadi telah mengubah cara pandang kita terhadap dunia.
Setelah mengetahui tentang tahapan kesedihan aku ingin mengajak kalian untuk merenungkan tentang kehilangan itu sendiri. Sebagai seorang manusia tentu kita sesungguhnya tahu bahwa kita tidak akan hidup di dunia ini selamanya. Walaupun begitu, bahasan tentang kematian agaknya terdengar sedikit menyeramkan di telinga orang-orang tertentu.
Martin Heidegger, seorang filsuf abad ke-20 asal Jerman berbicara tentang eksistensi manusia di dunia. Sebagai seorang manusia ia akan memiliki kecemasan akan menjadi tidak ada yang mana puncaknya menjadi tidak ada adalah kematian. Dalam bereksistensi manusia akan memiliki kecemasan semacam itu.
ADVERTISEMENT
Tanpa dapat dipungkiri kematian menjadikan ada menjadi otentik, mengadanya seseorang menjadi hal yang special ketika kita menerima adanya kematian sehingga menjadi “ada-menuju-kematian”. Dengan memahami akan adanya kematian seseorang akan kembali menjadi dirinya sendiri dan melepaskan pengaruh orang lain dalam dirinya, ia akan mendengarkan hati nuraninya untuk menjadi otentik kembali.
Merenungkan kematian sendiri dapat memiliki efek yang positif kuat. Steve Taylor, Dosen Senior Psikologi Leeds Beckett University, dalam artikelnya yang berjudul “Why contemplating death can help you live a happier life” menjelaskan bahwa sebagai seorang psikolog ia telah menemukan dalam penelitiannya yaitu orang yang selamat dari kecelakaan, memiliki penyakit serius, dan luka berat lainnya yang dekat dengan kematian melihat dunia dengan sudut pandang baru. Mereka tidak memandang hidup dan orang yang hidup dengan biasa saja.
ADVERTISEMENT
Mereka memiliki kemampuan untuk hidup di masa sekarang dengan menghargai hal-hal kecil dan sederhana, seperti berada di alam terbuka, memandang langit yang penuh bintang, dan bersama dengan keluarga tercinta. Mereka juga memiliki pemahaman yang lebih luas tentang kehidupan, sehingga kekhawatiran akan kematian tidak lagi penting. Dan mereka jadi kurang materialistis dan lebih altruistik.
Sebagai contoh, Claire Wineland, seorang gadis penderita cystic fibrosis, penyakit kronis paru-paru yang mematikan. Ia telah hidup dengan penyakit itu sepanjang hidupnya. Ia menghabiskan hidupnya di kamar rumah sakit, tetapi hal itu tidak membuat ia patah semangat, bahkan ia mengubah dunia dengan pandangannya tentang kehidupan. Dibandingkan siapapun Claire lebih mengerti tentang kematian yang bisa menimpanya kapan saja, tetapi karena hal itu ia menjalani hidup terbaiknya setiap hari. Ia terus mencoba menciptakan momen berharga setiap hari dalam hidupnya. Menghargai setiap detik yang ia miliki bersama orang di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
"Hidup bukan hanya tentang menjadi bahagia. ... Ini bukan tentang bagaimana perasaanmu dari detik ke detik," katanya. "Ini tentang apa yang kamu buat dalam hidupmu dan apakah kamu dapat menemukan kebanggaan mendalam tentang siapa dirimu dan apa yang telah kamu berikan."
Sumber:
Nurriyana A.L. & Savira S.I (2021). Mengatasi Kehilangan Akibat Kematian Orang Tua: Studi Fenomenologi Self-Healing Pada Remaja. Character: Jurnal Penelitian Psikologi. Vol.8 No.3. Hal 58.
Holland, Kimberly. 2018. What You Should Know About the Stages of Grief, https://www.healthline.com/health/stages-of-grief, diakses pada 22 Desember 2021 pukul 16.34.
Taylor, Steve. 2020. Why contemplating death can help you live a happier life, https://theconversation.com/why-contemplating-death-can-help-you-live-a-happier-life-146504, diakses pada 22 Desember 2021 pukul 16.34.
Ravitz, Jessica. 2018. Claire Wineland, inspirational speaker and social media star, dies one week after lung transplant, https://edition.cnn.com/2018/09/03/health/claire-wineland-obit/index.html, diakses pada 22 Desember 2021 pukul 16.34.
ADVERTISEMENT
Abidin, Zainal. 2014. Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.